Mohon tunggu...
Gitskai
Gitskai Mohon Tunggu... -

suka cerita apa saja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Laurenciel Avantia

26 April 2010   16:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:34 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya  tidak ikut tertular virus menulis yang kejut dan pendek. Tulisan ini kurang lebih dua ribu tujuh ratus kata. Tulisan ini juga masih bersaudara dengan beberapa karya saya yang lain, antara lain Jek, Cerita Ayi, Kebencian Mak dan Hitungan Mundur Ayi. Lalu di akhir cerita ini, ada soundtracknya. Lagu yang menginspirasi cerita ini. LIriknya bisa lihat di sini. Hehehe. Selamat Membaca ya.

*****

Sore ini, seperti biasa Bimo bermeditasi di warung babeh.  Warung babeh kecil, letaknya di pojokan jalan dan menunya monoton. Cuma ada nasi goreng, mi goreng, mi rebus dan roti-rotian. Jam-jam segini, warung babeh biasanya cuma jadi punya Bimo seorang, tapi hari ini terpaksa harus dibagi dua dengan seorang mahasiswa yang sering Bimo lihat tampangnya entah di mana.

Dan inilah mereka duduk berhadap-hadapan. Bimo minumi kopi, si mahasiswa minum teh saja. Bimo menghisap rokok, si mahasiswa mengibas-ngibaskan tangan ke udara. Ok, rokok dimatikan. Si mahasiswa tersenyum. Manis juga, jadi Bimo balas senyum. Matanya bengkak, seperti habis menangis. Bimo jadi teringet Nana, pacarnya. Terakhir bertemu, mereka bertengkar hebat dan Nana pulang sambil menangis.

"Katolik ya?" Bimo refleks bertanya waktu melihat nama yang ada di diktat kuliah yang diletakkan di atas meja. Ditulis tebal dan besar. Laurenciel Avantia.

"Eh, kok tau?"

"Itu, Laurenciel, nama baptis kan? Laurensius? "

"Iya Katolik, tapi laurenciel bukan nama Baptis."

"Apa dong?"

"Itu si mamah katanya di jalan ke rumah sakit pas mau melahirkan ngeliat pelangi. Bahasa prancisnya kan l'arc en ciel. Dibablasin jadi laurenciel" katanya sambil mengambil ballpoint dari saku celananya dan menulis asal usul namanya di atas koran Top Skor yang ada di atas meja. "Panggil Ayi aja " katanya sambil menyodorkan tangan.

"Bimo." Bimo berjabat tangan dengan Ayi.

"Katolik juga?"

"Tergantung mood"

"Hahaha.."

"Anak mana?"

"Matematik. Kakak geologi 2004 kan?"

"Kok tahu?"

"Kakak pacarnya Nana kan? Saya kan sekosan sama Nana."

"Ooh.." Pantas Bimo familiar dengan tampangnya walau sebenarnya Bimo jarang main ke kosan Nana.  Bimo menghirup kopinya sambil menyelidik Ayi.

"Hmm, sudah selesai kak skripsinya?" Ayi berusaha memecah kebisuan. Seingat dia, Bimo pacarnya Nana ini skripsinya mandeg. Terakhir cerita, Nana sampai menangis karena pacarnya si Bimo ini seperti tidak punya itikad baik untuk segera menyelesaikan studi. Nana sendiri akan wisuda bulan depan. Hubungan bermasa depan suram kata Nana.

"Hahaha.. sedang dikerjain kok.." Bimo menjawab dengan tidak pasti,  seolah sedang berkata pada diri sendiri. Perihal skripsi inilah yang jadi penyebab pertengkaran hebat dia dan Nana tempo hari. Nana ingin Bimo lebih fokus ke skripsinya daripada sibuk manggung tiap malam bersama bandnya. Wajar. Nana ingin punya pacar sukses, lulus tepat waktu, kerja di perusahaan bonafit, seperti bapaknya. Bapaknya Nana pun memasang standard yang sama untuk calon menantunya. Bimo tidak mau menjadi seperti bapaknya Nana. Bimo bukan calon menantu idaman bapaknya Nana. Nana tahu dan akhirnya pulang menangis. Nana mencintai Bimo, tapi Nana masih lebih lebih mencintai bapaknya.

"Lo.. habis nangis ya?"  Bimo berbasa-basi, namun kemudian segera sadar pilihan pertanyaannya terlalu mengintervensi ruang pribadi. Tapi sudah terlanjur.

"Hahaha.. kelihatan ya.. Padahal udah dikompres nih.." Ayi menjawab sambil mengeluarkan plastik bening berisi kapas putih yang agak basah. Setelah itu Ayi meneguk teh dan memanggil babeh memesan mi gorang dobel pakai telor.

Ayi sendiri sedang kacau. Di dalam tasnya masih ada sebatang karton tebal kecil terbungkus rapih. Di salah satu ujungnya ada dua buah garis merah. Positif. Baru Ayi cek tadi pagi, subuh-subuh.

Bimo bisa melihat ada beban di wajah Ayi. Bimo juga bisa melihat bahwa Ayi sepertinya butuh teman bicara. Gerak-geriknya seperti Nana kalau ingin menceritakan sesuatu tapi ragu-ragu.

"Kalau mau cerita, cerita aja. Daripada nangis terus, kasian matanya."

"Hahaha.. Habis udah ga tahu musti ngapain.."

Ayi menimbang-nimbang dalam hati. Ayi sempat berpikir untuk bercerita saja ke Bimo. Tapi setelah ingat bahwa Nana itu pacar Bimo, Ayi mengurungkan niatnya.

"Kalau mau cerita, gw ga akan bilang ke Nana kok."

"Hahaha... Tetep ya.." Ayi tertawa sambil mengagumi kemampuan Bimo membaca pikirannya.

"Muka lo muka pingin curhat.."

"Hahaha.. Ampas.. "

Ayi menimbang-nimbang lagi. Kepalanya sungguh penat dan mungkin lebih baik dimuntahkan sekarang saja. Tapi tentunya harus dimuntahkan ke orang yang tepat. Ayi memberanikan diri bertanya.

"Lo  ke gereja?"

"Hahaha.. jarang. Kenapa gitu?"

"Identifikasi derajat moral.."

"Buat?"

"Ya, hahaha. Memastikan apakah lo orang tepat buat curhat.."

"Jadi lolos..?"

"Tunggu dulu. Hmm.. Apa ya... Lo percaya karma?"

"Hmmm. Basicly I'm a free thinker.."

"Hahaha.. Ya, ya, tipe-tipe cowok yang bikin Nana meleleh.. Hahaha.."

"Gitu ya."

"Hehehe..."

Tiba-tiba Bimo teringat di mana dia pernah bertemu dengan Ayi sebelumnya.

"Eh, gw baru inget.. Lo itu pacarnya Wawan kan??"

Wawan, kawan SMA Bimo. Satu kampus beda fakultas, beda jurusan, beda pergaulan. Wawan kawan SMA-nya ini sedikit agak bermasalah. Datang dari keluarga broken home, perilakunya seringkali agak liar, terutama kalau sama perempuan. Pantas wajah Ayi benar-benar familiar. Bimo sering melihat foto Ayi di kamar Wawan dulu tanpa tahu siapa namanya. Memang sudah lama Bimo tidak main lagi ke tempat Wawan.  Bimo tiba-tiba merasa ada yang tidak enak.

"He.. Dulu iya, tapi sekarang udah enggak. Kok tahu?" Ayi menjawab malas-malasan. Tidak menduga nama Wawan muncul sore itu.

"Kayaknya gw pernah liat foto lo di kamar kosannya Wawan sih. Gw ama Wawan temen SMA"

"Ho.. Gw ga inget Wawan punya temen namanya Bimo soalnya..."

"Hahaha.. Small world. Nangis gara-gara Wawan nih?"

"Bukanlah... Amit-amit. Lagian sekarang udah punya pacar lagi kok. Hehe.. Pamer."

"Hahahaha.. Siapa?  Jangan-jangan gw kenal juga?"

"Hmmm, Aji. Elektro. 2005."

"Hiyah.... Aji Patra?"

"Iya..."

"Hahaha.. dulu gw ama dia satu kosan. Tapi sekarang gw udah pindah.."

"Hahahaha.. Gubraks.. Dunia sempit ya..."

Perasaan Bimo semakin tidak enak. Aji setali tiga uang dengan Wawan. Pacar Aji dulu sering menginap di kamar Aji. Bimo tidak masalah dan tidak ambil pusing. Itu bukan urusannya. Tapi Bimo merasa kali ini Aji bermain terlalu jauh. Bimo tapi tidak mau berburuk sangka. Buru-buru ia hapus prasangka buruknya lalu menghirup kopinya dalam-dalam.

"Sekarang lo sibuk apa Bim selain skripsi?"

"Nyanyi..?"

"Hahaha... iya, ya..  Lo dan band lo.. Apa namanya?"

"FPV, ep-pe-pe"

"Hahaha... iya.. dulu gw sempet ngecengin drummernya tuh."

"Hahaha, iya orangnya emang asik."

"Hehehehe.."

"Eh jadi gw uda lolos buat jadi teman curhat belum?"

"Hehehe, ya ya.. Bolehlah. Free thinker kan?"

"Begitulah.."

"Sebentar ya.." Ayi memutuskan untuk bercerita. "Hmmm gini Bim. Kalo temen baik lo ketahuan hamil dan dia memutuskan untuk aborsi, apa yang lo lakuin?" Ayi akhirnya memilih untuk menggunakan tokoh fiktif guna menjelaskan keadaannya.

"Temen baik lo?"

"Iya nih. Gw pusing banget. Temen gw ini. Dihamilin pacarnya. Tapi ga berani bilang ke pacarnya."

"Harus bilang lah ke pacarnya!"

"Ga berani. Lagian kalo dibilang juga pasti disuruh aborsi."

"Ya, habis mau gimana? Mau nikah?"

"Kalo lo ngehamilin Nana, lo bakal nyuruh aborsi gitu?"

"Hahaha, ga mungkin. Play safe lah gw. Kebebasan bertanggung jawab."

"Kalo kejadian gimana? Nyuruh aborsi?"

"Hmmm.. Refleks tanpa mengindahkan norma yang berlaku mungkin gw akan nyuruh aborsi sih. Tapi ga tahu juga ah.. Temen gw ada yang dihamilin pacarnya terus ga aborsi dan akhirnya punya anak tapi pacarnya ninggali.  Hati temen gw ini terlanjur hancur duluan. Kosong gitu. Begitu anaknya lahir ga ada reaksi apa-apa. Datar banget. Kayak hilang rasa gitu. Air susunya bahkan ga keluat. Anaknya akhirnya diadopsi orang. Sementara ada juga teman gw yang lain yang gw tahu banget dia juga pernah aborsi. Tapi hidupnya tenang dan santai sampe sekarang."

"Jadi?"

"Gw cuma mau nunjukin kalo aborsi bisa menyelesaikan masalah tapi mungkin aja engga. Mempertahankan juga belum tentu bagus."

"Aborsi tapi dilarang gereja kan?"

"Kalo di sini juga dilarang negara Ayi.."

"Dan kalau tetep mau aborsi?"

"Lo punya uang ga? Lo pikir aborsi gratis?"

"Hmmm... lima ratus ribu?"

"Kurang. Lo mau yang aman kan?"

Bimo terkejut sendiri mendengarkan jawabannya. Tanpa bisa dikendalikan, otaknya refleks mengeluarkan informasi aborsi yang dia tahu. Sekitar setahun yang lalu dia pernah ikut pusing mencari obat aborsi untuk salah satu pacar temannya. Dan Bimo sekali lagi terkejut di dalam hati. Wawanlah teman yang dibantu Bimo waktu itu. Hal ini bukan hal yang ingin Bimo ingat-ingat, sudah hampir dilupakan malah. Sejak itu juga hubungan Bimo dan Wwan menjadi renggang. Apakah obat itu untuk Ayi?

Ayi tidak kalah terkejut mendengar respon Bimo. Sesaat teringat Nana. Jangan-jangan Nana juga pernah aborsi. Tapi ditepisnya jauh-jauh pikiran itu dan kembali fokus memikirkan dirinya sendiri. Dulu waktu bersama Wawan, ketika Ayi hamil, Wawan memberinya obat yang membuat perutnya melilit disertai dengan perdarahan hebat. Rasa sakitnya sungguh mengerikan. Ayi bolos kuliah seminggu penuh dan hanya bisa meringkuk di tempat tidur. Justru di saat-saat itu Wawan menghilang. Alasannya banyak ujian. Klise. Dari situ Ayi tahu, Wawan cuma pengecut kecil yang banyak gaya. Sebulan kemudian Ayi minta putus.

Setelah itu Ayi mencari di internet tentang aborsi. Aborsi paling aman dari segi kesehatan adalah dengan pergi ke dokter. Namun Aborsi ilegal di negeri Indonesia. Lalu ada lagi aborsi dengan obat peluruh rahim untuk aborsi, namun hanya untuk usia kehamilan muda. Ini obat yang diberikan Wawan. Ternyata sangat banyak dijual murah di internet. Ayi cukup kaget begitu mengetahui efek sampingnya yang ternyata sangat berbahaya dan bisa mengakibatkan kematian. Banyak kasus perdarahan yang diikuti dengan infeksi rahim. Ayi merasa gamang membacanya. Entah harus bersyukur atau tidak.

Dalam hati Ayi memang tidak ingin aborsi. Perasaan sakit dan ngeri yang pernah dialaminya dalam kesenderian tanpa Wawan tidak ingin diulanginya lagi. Kalau nanti Ayi memberitahu ke Aji, apakah Aji akan tetap di situ? Ayi tidak yakin.

"Gw sih pinginnya dia ga aborsi aja Bim." Ayi berusaha memcah keheningan.

"Tapi dia kuat ga dengan konsekuensinya? Efek ke orang tua? Ke lingkuang, kuliah? Dikeluarin dari jurusan bukan sih kalau ketahuan?"

Ayi terdiam. Bimo juga diam. Bimo yakin Ayi sedang bicara tentang dirinya sendiri. Akting Ayi kurang meyakinkan.

"Keluarga sahabat kamu itu gimana Ay? Maksud gw, cukup liberal untuk menerima hal macam ini ga?"

Wajah ayah ibu Ayi melintas di kepalanya. Sudah satu tahun Ayi tidak pulang ke rumah. Terakhir pulang, Ayi ditampar dan dipukul karena sesuatu yang Ayi pun sudah lupa mengapa. Luka di hati Ayi begitu lebar sehingga Ayi benar-benar tidak pernah pulang lagi. Ayi juga tidak pernah meminta uang lagi. Dengan sisa-sisa tabungannya Ayi memulai bisnis warung makan dengan temannya.

"Keluarganya keras Bim. Temen gw ini aga bermasalah dengan keluarganya. Bokapnya suka mukulin. Gw serem bakal dibunuh dia kalo ampe keluarganya tahu. Terus nanti yang jadi sasaran nyokap sama adek-adeknya. Nyokap dan adek tiri sih. Kasian juga tapi kan."

"Wow.. Hidup yang berat ya. Temen lo itu."

"Well.. Shit things happen to strong people..."

"Strong people ya.. hahaha.." Bimo tertawa satir.

"Tapi kadang gw capek kuat melulu.."

"Gw? Ini soal elo atau temen baik lo?"

"Hmmm keliatannya?"

"Udah, kalo ini soal lo bilang aja..."

"Begitulah..."

Ayi menjawab sambil menunduk meminum tehnya. Menyadari blunder yang sudah terlanjur terjadi. Pada saat yang bersamaan pesanan mi goreng Ayi datang. Ayi segera makan dengan diam. Tebakan Bimo benar. Jadi ini soal Ayi.

Bimo berusaha mengingat-ngingat informasi yang dia tahu soal Ayi. Nana sepertinya sering bercerita tentang Ayi tapi Bimo tidak pernah tahu yang mana yang namanya Ayi. Seingat Bimo cerita soal Ayi selalu soal yang bagus. Ayi yang aktifis kampus? Atau Ayi yang relawan di salah satu rumah belajar dekat kampus?  Ayi yang rajin ke gereja atau Ayi yang cakap berdiskusi soal isu politik atau lingkungan? Atay Ayi yang calon cum laude? Atau semua deskripsi itu adalah Ayi?  Inikah Ayi yang diceritakan Nana?  Yang memiliki jalan hidup seperti namanya, Avantia, selalu di depan?

Mi goreng itu habis dengan cepat.

"Tapi menurut gw, Aji tetep harus tahu. Bagaimana pun ini kan masalah kalian berdua. Harus diatasi bersama-sama."

"Gw takut Bim, takut Aji lari, takut Aji ninggalin gw. Daripada gw mendapati dia pergi meninggalkan gw, mending gw tinggalin duluan. Mending susah sedihnya gw hadepin sendiri Bim."

Mata Ayi mulai berkaca-kaca.

"Gw udah pernah melalui ini sebelumnya Bim. Bego dan rendah ya gw.."

Air mata Ayi mulai jatuh. Bimo mendekatkan kotak tisu. Semakin yakin kalau obat yang dulu dicarinya bersama Wawan itu memang untuk Ayi.

"Gw ga tahu mana yang salah dan mana yang bener lagi Bim. Semuanya absurd di kepala gw. Orang bilang cinta mengatasi segalanya. Tapi ini apa semua. Gw pikir gw cinta, tapi begitu udah begini gw jadi ga yakin sama rasa cinta gw. Kalo lo kenal Aji, lo juga pasti tahu kan gimana perangainya. Gw tahu Aji ga seberani itu ngehadapin ini semua. Bodohnya gw.. Wawan aja yang gw kira cowok paling tangguh tetep lari begitu dihapain masalah kayak gini. Gw takut Bim. Gw ga mau lagi merasakan Aji lari dari gw begitu tahu ini semua. Gw ga kuat merasakan sakit itu lagi. Gw capek."

Ayi menangis. Menceritakan masalah hidup kepada orang yang baru dikenal menambah daftar kebodohan yang dilakukan Ayi hari ini. Bimo bingung. Wanita paling tidak bisa dimengerti ketika dia sedang menangis. Bimo memberanikan diri memegang tangan Ayi untuk menenangkan. Ayi menarik tangannya dan tambah menangis.

"Gw ga mau aborsi Bim, sungguh gw ga pingin, tapi gw ga berani ngehadapin semua ini. Gw ga punya kekuatan buat bilang ini ke orang tua gw, ke temen-temen gw. Gw ga bisa. Gw ga sanggup. Gw capek Bim. Gw ga mau punya anak yang dikatain punya ibu perek sama orang-orang. Gw ga mau anak gw tahu ibunya brengsek dan rendah macam gw. Bim, gw benci banget diri gw sendiri...."

Bimo cuma diam membiarkan Ayi menangis sepuasnya. Kalau Nana menangis, Bimo juga hanya mendiamkan. Bimo bertanya-tanya apa yang ditangisi Ayi. Kebodohannya? Kesialannya? Atau apa. Manusia memang aneh. Memilih kebebasannya sendiri, lalu menyesalinya sendiri. Tapi Bimo tidak menyalahkan Ayi. Hidup punya misterinya sendiri. Lagipula apa yang menimpa Ayi bisa saja terjadi ke Nana. Dan Bimo juga mungkin akan bersikap pengecut. Siapa tahu?

Setelah agak tenang Ayi menarik nafas panjang, menyeka air matanya, lalu minum teh manis di depannya sampai habis. Bimo mencoba membantu dengan merasionalkan masalah.

"Laurenciel Avantia. Ayo kita selesaikan ini satu-satu."

Ayi diam. Mukanya sembab.

"Lo ga mau aborsi?"

Ayi mengangguk.

"Lo ga mau Aji tahu?"

Ayi mengangguk

"Lo ga sanggup menghadapi lingkungan lo?"

Ayi mengangguk.

"Ya sudah. Cari aja tempat baru di mana lingkungan tidak akan mencela lo kalo lo hamil dan punya anak tanpa ayah.."

Bimo merasa jawabannya tidak solutif karena hanya menegasikan dua keadaan yang tidak diinginkan Ayi. Tapi Ayi sendiri tiba-tiba seperti mendapat pencerahan. Ayi mendapat energi baru. Sederhana tapi benar kata Bimo. Yang Ayi butuhkan adalah lingkungan baru. Suasana baru. Dan mungkin persona baru. Tempat di mana Ayi bisa jadi dirinya sendiri tanpa harus bersandiwara. Ayi merasakan kebencian yang amat sangat sekali lagi pada dirinya sendiri dan kemuakan maksimal pada hidupnya.

Sekarang ada jiwa baru dalam tubuhnya dan Ayi tidak mau membuat kesalahan yang sama. Cukup sekali saja perbuatan kejam itu dilakukan, Ayi tidak mau mengulang. Dan untuk pergi jauh dari hidupnya sekarang memulai hidup yang baru, Ayi bisa melakukan itu. Ayi punya kekuatan itu. Uang di tangannya cukup untuk pergi ke mana dia suka selama masih di pulau yang sama. Dan Itu bisa dilakukan malam ini. Ayi bersemangat. Mungkin terdengar nekat, tapi bagi Ayi ini seperti solusi yang mencerahkan. Kepalanya mulai menyusun skenario pelarian dirinya. Langkah pertamanya sama untuk setiap skenario. Pulang ke kosan.

"Thanks ya Bim, udah dengerin gw. Hahaha.. gw kok merasa bodoh gini ya.." Ayi berkata sambil membereskan mejanya.

"Loh, lo mau ke mana?"

"Ga tahu."

"Ayi, lo jangan berbuat bodoh ya."

"Shit things happen to strong people Bim. Dan gw kuat. Gw akan mengatasi ini."

"Keputusan lo?"

"Gw ga akan aborsi."

"Terus, sekarang lo mau ke mana?"

"Seperti kata lo. Pergi ke tempat di mana gw bisa terus tanpa ada yang mencela." Ayi berdiri dan membayar mie goreng serta teh manisnya.

"Dan itu ke mana Ayi...?"

"Ke mana kek, LSM, Rumah Sakit, Gereja, luar kota, luar negeri. Hahahaha.. I'll find out..Makasih ya Bim."

"Eh, tunggu.. Lo mau ke mana?? Kalo ga bilang ga gw lepasin." Bimo berdiri mencengkram lengan Ayi.

"Balik ke kosan. Tidur. Hahaha.." Ayi melepaskan cengkraman Bimo. Berbohong supaya bisa cepat pulang.

"Ke kosan nih ya?"

"Iya... Eh, Bim. Gw bisa percayakan cerita bodoh super bodoh ini hanya berhenti di lo saja kan?"

"Iyalah... "

"Ok. Sip. Jabat tangan dulu biar afdol" Ayi meraih tangan Bimo. Bimo makin tidak mengeri wanita satu ini. Beberapa saat yang lalu menangis seperti hampir mati. Sekarang tiba-tiba sudah berenergi."

"Laurenciel Avantia!" Bimo memanggil sebelum Ayi benar-benar keluar dari warung itu.

"Ya?"

"Take care" Bimo mengucapkannya dengan sungguh-sungguh. Ayi hanya membalas dengan senyum.

Bimo masih terdiam dan tidak tahu harus berbuat apa ketika Laurenciel Avantia akhirnya menghilang di ujung jalan. Wanita aneh itu sedang PMS mungkin.

Tiga hari kemudian Nana panik karena Ayi menghilang. Dompet, tas, dan telfonnya semua ada di kamar. Bimo tadinya ingin menceritakan pertemuannya dengan Ayi tempo hari, tapi kemudian tidak jadi. Bimo ingat Ayi ingin ke tempat baru di mana tak ada orang yang tahu soal masalahnya. Bimo memutuskan hanya diam saja. Di luar itu Bimo malas ikut campur lebih dalam soal masalah menghilangnya Ayi ini karena urusannya pasti akan panjang.

Namun hilangnya Ayi terus mengganggu pikiran Bimo. Bimo tidak menyangka Ayi benar-benar serius menanggapi solusi asalnya. Entah harus berkata bahwa Ayi bodoh atau berani atau kalap. Untuk jiwa baru dalam tubuhnya, Ayi menukarnya dengan meninggalkan semua hidupnya? Atau apa? Apakah Ayi benar pergi? Atau jangan-jangan Aji sudah tahu lalu membunuh Ayi? Bimo mulai khawatir.  Malam hari sebelum tidur, setelah sekian lama, Bimo berdoa. Memohon paling tidak entah bagaimana bisa bertemu lagi dengan Ayi. Memohon Tuhan dan Bunda Maria untuk menjaga Ayi. Laurenciel Avantia.
***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun