Dengan nafas yang terengah-engah, Faria membungkuk sembari memegangi lututnya. Tangan kanannya refleks menyeka peluh keringat yang akan meluncur ke kedua matanya.Â
"Segitu saja kemampuan berlarimu?"
Faria mendongak kepada laki-laki yang sedang berjalan mundur ke arahnya. Senyum smirk yang dipamerkannya itu membuat Faria memberikan tatapan kesal. Namun, bukan Raigan namanya ketika melihat raut kekesalan Faria malah terkekeh hingga membuat perempuan itu semakin kesal.Â
Tidak ingin terus-menerus mendengar ledekan Raigan, Faria memutuskan untuk kembali berlari untuk membuktikan ia sanggup menuntaskan tantangan berlari 800 meter dari Raigan. Namun, saat ia ingin melangkahkan kaki, rasa kram tiba-tiba menjalar di area betisnya hingga memaksanya terduduk di pinggir jalan.Â
Melihat ekspresi kesakitan dari raut wajah Faria membuat tatapan Raigan yang sebelumnya meremehkan menjadi kekhawatiran. "Kenapa?" tanya Raigan sembari mengambil posisi jongkok di hadapan Faria.Â
"Betisku tiba-tiba kram," jawab Faria sembari memegangi kedua betisnya.Â
"Luruskan kakimu dengan perlahan," titah Raigan. Faria tak membantah. Ia meluruskan kakinya sesuai perintah Raigan.Â
Kedua tangan Raigan bersiap untuk memijat area kaki Faria yang mengalami kram otot. Sebelum kedua tangan itu mendarat di kaki Faria, Faria menepisnya. "Mau apa?" tanyanya dengan tatapan menerkam mangsa.Â
"Mau pijitin kakimu yang kram lah," jawab Raigan yang nampak memberikan tatapan kesal karena tangannya yang ditepis dengan cukup kasar oleh Faria.Â
"Ng-nggak usah. Bisa sendiri kok," kata Faria dengan terbata-bata. Kemudian tangannya memijat betisnya yang terasa kram.Â
Raigan menggusar. Ia berdiri dari sikap jongkok di hadapan Faria, lalu menuju ke samping kanan Faria dan mengambil duduk di sana. Selama Raigan melakukan pergantian posisi duduk, pandangan Faria tak terlepas darinya. Saat Raigan menoleh ke arahnya, Faria kembali memijat kakinya.
"Yakin bisa pijit sendiri?" tanya Raigan dengan tatapan khawatir.Â
"Hm," dehem Faria sembari memijat betisnya dengan raut wajah yang menyatakan kesakitan.Â
Raigan ingin memaksakan diri untuk membantu karena tidak tega melihat raut wajah Faria yang menahan sakit, tapi, ia juga takut Faria semakin kesal padanya. Ia memperhatikan saja Faria yang memijat kakinya. Pandangan teduh itu tak pernah lepas dari perempuan di sampingnya.Â
"Masih sakit?" tanya Raigan setelah cukup lama Faria memijat kakinya.Â
"Udah mendingan, kok," jawab Faria. Ia menggerak-gerakkan kakinya.Â
"Yakin?" tanya Raigan sekali lagi. Faria mengangguk sebagai jawaban.Â
"Ayo pulang," ajak Faria sembari mengambil posisi berdiri. Raigan pun ikut berdiri.Â
"Yakin udah nggak kram? Mau aku gendong?" tanya Raigan untuk ketiga kalinya.Â
Faria memberi tatapan kesal. "Apaan, sih! Orang dibilangin udah nggak sakit."
"Ya udah kali, nggak usah bentak juga. 'Kan aku cuma nanya," imbuh Reigan setelah mendapatkan pekikan Faria.Â
"Apaan coba mau gendong segala. Jangan modus, ya!"Â
"Ya Allah, orang cuma nawarin. Aku tuh khawatir kaki kamu masih sakit. Kalau kaki kamu masih sakit, terus kamu paksain jalan, terus tambah sakit. Aku yang ngerasa tanggung jawab karena nantangin kamu lari," ujar Raigan jujur. Faria menatap lurus sorot mata kesal campur khawatir itu. Tidak ada kebohongan yang tersirat di sana. Sadar menatap cukup lama, Faria memalingkan wajahnya.Â
Raigan menggusar. "Ya sudah kalau emang udah nggak sakit," kata Raigan sembari berjalan mendahului Faria. Baru tiga langkah, langkahnya terhenti karena Faria menarik kaosnya. "Apa?" tanya Raigan sembari membalikkan badannya. Kini matanya hanya menunjukkan kekesalan.
Faria menggigit bibir bawahnya lalu bergumam, "haus."
"Apa?" tanya Raigan yang tidak terlalu mendengar gumaman Faria.Â
"Aku haus, Gan," jelas Faria. Ia menatap harap kepada laki-laki di hadapannya itu.Â
Raigan menggusar. Pandangan mengedar ke sekitar. Dicarinya letak toko di dekat sana. "Tunggu," katanya setelah menemukan toko yang berada di dalam salah satu gang.Â
Faria mengangguk. Raigan pun berjalan menuju toko tersebut. Faria tersenyum sembari memperhatikan punggung Raigan dari kejauhan.
*****
"Rairia!"Â
Celetuk seseorang sembari memeluk pundak Raigan dan Faria dari belakang hingga membuat Raigan yang sedang memakan es krim, mulutnya belepotan krim karena terkejut.Â
Faria menoleh ke belakang. Didapatinya sahabatnya yang bernama Indira berdiri dengan tersenyum kepadanya. "In, ngagetin tau nggak!" kesal Faria.Â
"Hehe, maaf," kata Indira sembari membuat gaya dua jari.Â
"Terus Rairia apaan coba?" tanya Faria.Â
"Raigan dan Faria," jawab Indira.Â
"Dasar."
Pandangan Faria beralih kepada Raigan yang sibuk merogoh kedua tasnya. Begitu juga Indira. Menyadari mulut Raigan yang belepotan es krim, sontak Faria dan Indira tertawa terbahak-bahak. Raigan menatap kesal kepada kedua perempuan itu.Â
"Seperti anak kecil. Hahaha," kata Indira dengan gelak tawanya.Â
"Ck, nggak bawa sapu tangan lagi," gumam Raigan kemudian ketika beberapa saat lalu tidak menemukan sapu tangan di tasnya.Â
Ketika ia mengalihkan pandangannya dari tas, ia mendapati dua sapu tangan disodorkan di hadapannya. Kemudian ia menatap bergantian kepada Faria dan Indira yang sedang menyodorkan sapu tangan milik mereka. Saat itu juga, Faria dan Indira saling menatap karena aksi kompak mereka. Rasa tidak enak satu sama lain yang merayap di hati mereka membuat keduanya menarik kembali sapu tangan yang mereka sodorkan. Namun, saat mereka melakukannya, dengan cepat Raigan mengambil paksa sapu tangan dari genggaman mereka hingga membuat dua sahabat itu terkejut.Â
Mengabaikan perasaan campur aduk antara tidak enak dan senang dua sahabat itu, dengan santainya Raigan mengelap krim di melutnya menggunakan dua sapu tangan sekaligus. Setelah mengelap mulutnya dengan bersih, Raigan menatap Faria dan Indira sembari tersenyum. "Thank you," ujarnya.
Faria dan Indira pun tersenyum kepadanya. "Any time," ucap mereka bersamaan. Beberapa saat kemudian Raigan mengalihkan tatapannya kepada jam tangan yang melingkar di tangan kanannya ketika ia merasakan tatapan dalam dari kedua perempuan itu. "Ah, sekarang jam berapa ya?"Â
"Kurang 15 menit kelas dimulai. Ke kelas yuk!" ajak Raigan.Â
"Oh, iya," kata Faria setelah melihat jam tangannya.Â
Faria berdiri dari tempat duduk, lalu menoleh pada Raigan dan Indira. "Aku pengen buang air kecil dulu, tungguin, ya," kata Faria.Â
Ketika Faria hendak melangkahkan kaki, Indira bertanya, "eh, mau aku antar?"
"Nggak usah, In," jawab Faria sembari tersenyum. Lalu pergi ke kamar mandi.Â
Sepeninggal Faria, Raigan menoleh pada Indira yang berdiri di samping kursi. Bertepatan dengan itu, Indira menatap Raigan. Raigan menunjuk kursi dengan lirikannya.Â
"Hm?" Indira tidak mengerti isyarat itu.Â
"Duduk," kata Raigan.Â
"Oh," kata Indira. Lalu duduk di samping Raigan.Â
Tidak ada pembicaraan antara mereka sepanjang mereka duduk bersama. Dengan menyembunyikan debaran jantungnya, Indira meng-scroll video di TikTok. Ia berharap Raigan tidak mendengar degup jantungnya saat ini. Ia juga menyesal tidak memaksa ikut Faria ke kamar mandi saja tadi jika pada akhirnya ia canggung sendiri.Â
Apa aku nyusul Faria ke kamar mandi ya? Si Faria juga kenapa lama banget sih ke kamar mandinya? Batin Indira.Â
"Gan, aku nyusul Faria ke kamat mandi, ya," ujar Indira sembari berdiri dari kursi. Raigan mendongak. Saat Indira hendak melangkahkan kaki, Raigan mencekal tangannya. Indira terkejut dan menoleh kepada Raigan yang sudah berdiri di hadapannya. Tatapan mereka saling bertemu. Jantung mereka pun saling berdegup kencang. Dari pemilik bola mata hitam pekat itu dapat Indira temukan tatapan dalam dan penuh makna di sana.Â
"Indira, aku-."
"Ayo ke kelas," celetuk Faria yang datang dari arah membelakangi Indira. Mendengar suara Faria, Indira melepaskan cekalan tangan Raigan dengan paksa, Raigan pun mundur satu langkah untuk menjaga jarak dengan Indira.Â
Indira membalikkan badan, lalu berucap, "ayo."
Indira merangkul Faria dan berjalan bersama menuju kelas. Sebelum melangkahkan kakinya, Indira sempat melirik Raihan sebentar.Â
Mata kuliah berakhir pada pukul 15.50. Indira memasukkan buku catatannya dengan tergesa dan membuat atensi Faria tertuju padanya.Â
"Buru-buru banget," celetuk Faria yang juga sedang memasukkan buku catatannya.Â
"Jam 4 ada rapat UKM," kata Indira. Faria mengangguk-angguk.Â
"Aku duluan, ya," pamit Indira.Â
"Iya."
Indira yang keluar kelas dengan berlari kecil membuat Faria geleng-geleng. Saat ia hendak melangkahkan kaki untuk meninggalkan kelas, sepatunya menginjak selembar kertas yang tergeletak di lantai. Indira mengambil lembaran kertas itu karena penasaran. Di bagian atas kertas itu terdapat tulisan "Coretan Indira". Faria mengerutkan kening, ia penasaran dengan isi tulisan itu.Â
" Ayo pulang," ajak Raihan yang menuju ke arahnya. Melihat kehadiran Raihan, refleks Faria melipat lembaran kertas itu lalu memasukkannya ke saku celana.Â
"Ayo," kata Faria sembari tersenyum.Â
*****
Malam ini, Faria mengajak Raihan dan Indira mengerjakan tugas kelompok mereka yang belum terselesaikan. Di kafe bernuansa klasik itu mereka tengah bertukar  argumen untuk menyelesaikan tugas yang h-3 hari harus dikumpulkan. Pukul 09.30, akhirnya mereka dapat bernapas lega karena tugas terselesaikan. Mereka menghabiskan minuman sebelum meninggalkan kafe. Faria menaiki motornya, menyalakan mesin motor, lalu Indira duduk di boncengannya. Ketika hendak melakukan motor, Faria teringat sesuatu.Â
"Aku mau beli novel titipan kakakku. Kita mampir ke toko buku dulu nggak apa-apa, ya," kata Faria.Â
"Oke," kata Indira.Â
Faria menoleh kepada Raigan yang menaiki motor di belakangnya. "Kamu duluan aja, Gan, aku pergi sama Indira aja," kata Faria.Â
" Udah malem gini, ya kali aku biarin kalian berduaan aja," kata Raigan.Â
"Oke deh, pengawal," canda Faria. Raigan memutar bola matanya malas.Â
Sesampainya di tempat tujuan, Faria masuk ke dalam toko, sedangkan Raigan dan Indira menunggu di luar. Pada saat itulah, kecanggungan antara Raigan dan Indira kembali terjadi. Beberapa detik saling diam dan fokus pada ponsel masing-masing, Raigan mengawali pembicaraan.Â
"Indira," panggil Raigan.
"Iya?" Respon Indira sembari menoleh.Â
"Ada yang mau aku omongin ke kamu," ujar Raigan.Â
"Mau ngomongin apa?" tanya Indira.Â
Bukannya menjawab, Raigan malah menatap Indira dengan lekat. Sadar bahwa Raigan terang-terangan melakukan hal itu, Indira segera mengalihkan tatapan. "Ah, a-aku mau nyusul Faria," kata Indira dengan terbata. Tanpa terlebih dahulu mendengar respon Raigan, Indira beranjak. Namun, dengan sigap Raigan mencekal tangannya.
"Tunggu, Indira."
Genggaman erat tetapi terasa lembut itu membuat Indira menghentikan langkah. Mereka saling beradu tatap dengan saling merasakan getaran yang berdebar. "A-ada apa?" tanya Indira sembari menunduk. Indira melirik Raigan yang lagi-lagi menatapnya dengan lekat. Kali ini Indira tidak mengalihkan tatapannya. Ia menatap Raihan sembari menunggu apa yang hendak dikatakan lagi oleh laki-laki itu.Â
"A-aku nggak tau kapan waktu yang tepat untuk mengutarakan ini. A-aku....," Raigan menarik napas panjang, "aku mencintaimu, Indira," sambung Raigan yang setelah itu membuang napas.Â
Mata yang tidak ia lepaskan pandangannya dari wajah tampan laki-laki itu membulat sempurna. Degupan jantung Indira pun semakin memompa kencang.Â
"Ra-Raigan mencintaiku? Se-serius? Bagaimana bisa? Bagaimana dengan Faria? Bukannya mereka sangat dekat? Nggak, nggak, ini nggak benar. Faria juga mencitai Raigan!" batin Indira.Â
Indira melepaskan cekalan tangan Raigan. "Ra-Raigan, apasih ngomong ngelantur gitu. Hahaha. Kalau latihan mau nembak Faria jangan pake namaku, dong. Hahaha," ujar Indira dengan kekehan yang dibuat-buat.Â
"Aku nggak lagi latihan, Indira. Aku serius ngungkapin perasaan aku ke kamu," timpal Raigan.
"Kamu nggak percaya aku sungguh-sungguh mengungkapkannya? Ka-kamu berpikir ini bercanda? Aku udah gugup setengah mati buat ngungkapin perasaanku selama ini, Ra. Aku mau jadi-."
"Kenapa harus aku?" Perkataan Raigan terpotong oleh pertanyaan Indira.
"Rasanya nggak benar kamu bisa mencintaiku. Kita nggak terlalu dekat dan aku rasa Faria lebih baik. Kenapa harus aku, Raigan? Kamu udah kenal Faria sejak kecil, kalian selalu bersama dalam berbagai hal, kalian sudah terbiasa menghabiskan waktu bersama. Kenapa bukan Faria? Apa kamu tahu bagaimana perasaan Faria sebenarnya ke kamu?"
"Tahu," Raigan membalas cepat. Lagi-lagi Indira membelalakkan mata.Â
"Ka-kalau tahu, kenapa kamu ngungkapin perasaan kamu ke aku? Dan bagaimana bisa kamu memiliki perasaan itu ke aku padahal kamu tau Faria mencintaimu?" timpal Indira dengan bibir yang bergetar dan mata yang berkaca-kaca. Napasnya pun semakin naik turun tidak karuan.Â
"Ra ...," panggil Raigan dengan lembut.Â
"Aku memang udah terbiasa bersama Faria, tapi, kalau hatiku berpihaknya ke kamu, aku bisa apa, Ra? Aku nggak bisa menyangkal kalau aku punya perasaan ke kamu bukan sekedar teman aja."
"Pertama kita kenal di kelas 1 SMA, aku tertarik dengan kamu. Aku selalu penasaran tentang kamu. Aku pikir itu cuma rasa penasaran sesaat, tapi, seiring berjalannya waktu rasa penasaran itu berubah jadi perasaan yang dalam. Aku simpan perasaanku ke kamu selama ini karena aku bingung bagaimana cara mengungkapkannya apalagi ketika aku tahu Faria juga mencintaiku dari buku harian dia di hari kelulusan SMA. Kamu tahu gimana bingungnya aku waktu itu? Sahabatku sendiri mencintaiku, tapi, aku juga tidak bisa mengabaikan perasaanku ke kamu, Ra. Hingga pada akhirnya aku membuat keputusan untuk mengungkapkan bagaimana perasaanku ke kamu karena aku tahu kamu juga memiliki perasaan yang sama denganku. Aku juga nggak mau persahabatanku hancur, tapi, rasanya semakin sakit kalah perasaan ini semakin aku pendam sendiri."
Tetesan cairan bening berhasil keluar dari kedua mata Indira yang sedari tadi berusaha ia bendung. Bibirnya keluh untuk berucap. Apalagi ia mendapati fakta bahwa Raigan mengetahui bagaimana perasaannya kepadanya. Bagaimana bisa?Â
"A-aku harus bagaimana? Ini benar-benar membuatku bingung. Kenapa harus ada cinta di antara kita? Aku juga nggak mau kehilangan sahabat seperti Faria, Raigan." Tangis Indira semakin menjadi, ia menunduk sembari mencengkeram erat ujung cardigan yang dipakainya.
"Jangan pedulikan aku," celetukan Faria membuat Raigan dan Indira menoleh. Raut panik pun terukir jelas di wajah mereka. Namun, Faria malah membalas dengan senyuman.Â
"Fa-faria, sejak kapan?" tanya Indira dengan terbata.Â
"Sejak tadi," jawab Faria jujur sembari tersenyum. Kemudian ia menghampiri Indira dan memeluknya erat.
"Berhenti menangis," ujar Faria. Bukannya berhenti, tagisan Indira malah semakin menjadi. Faria bergeming, membiarkan sahabatnya itu meluapkan tangisan dalam pelukannya dan tanpa disadari ia pun ikut menangis. Sementara itu, pada akhirnya Raigan pun diam-diam menangis saat pertahanan air matanya runtuh.Â
Faria dan Indira melepas pelukan saat dirasa mereka sudah tenang. Jari jemari Faria mengusap sisa air mata Indira di pipi, kemudian mengusap sisa air matanya sendiri. Faria mengalihkan tatapannya kepada Raigan, didapatinya sahabatnya itu segera mengusap air mata ketika mengetahui Faria menatapnya. Faria tersenyum.Â
"Dengar kalian berdua," ujar Faria sembari menatap Raigan dan Indira bergantian.Â
"Makasih udah khawatir dengan perasaanku. Makasih udah khawatir dengan persahabatan kita, tapi, kalian juga berhak menentukan pilihan kalian. Kita nggak pernah tahu akan jatuh cinta kepada siapa dan terkadang kita pun nggak tahu alasan apa kita jatuh cinta."
"Aku juga benar-benar terkejut laki-laki yang aku cintai selama ini mencintai sahabatku," Faria menoleh pada Indira, "kalau Indira, aku kagetnya pas baca secarik kertas yang kamu jatuhin tadi di kelas karena terburu-buru rapat. Aku bacanya sampe nangis. Sama seperti Raigan, kamu ingin Raigan tahu bagaimana perasaan kamu sebenarnya, tapi, kamu takut menghancurkan persahabatan kita."
"Kalian silakan menerima perasaan satu sama lain, jangan karena aku, kalian jadi menderita kerena perasaan kalian sendiri. Jadi, kalaupun kalian pacaran, aku masih bisa jadi sahabat kalian, kok. Tenang aja, aku nggak akan ganggu ataupun merusak hubungan kalian. Aku memang mencintai Raigan, tapi perasaanku itu nggak aku jadiin obsesi. Aku udah mempersiapkan diri kalau emang Raigan nggak nerima perasaanku. Serius!" Faria mengangkat tangan dengan berpose dia jari, tidak lupa senyuman manis yang ia pamerkan.Â
Senyuman manis itu adalah pahitnya luka yang ada di hatinya. Tanpa Faria mengaku, dua sahabatnya itu sudah tahu.Â
"Far, maaf," ucap Raigan dengan penuh rasa bersalah.Â
Faria menggeleng. "Ngapain minta maaf, sih? Seorang Raigan minta maaf ke Faria? Itu bukan Raigan banget. Nggak usah bikin raut bersalah gitu deh, nggak suka."
"Faria, kamu nggak benci aku, kan? Aku takut," celetuk Indira. Faria menoleh lalu berkata, "ya enggak lah."
"Aku mau yang terbaik buat kalian. Jangan jadikan aku sebagai hambatan untuk kebahagiaan kalian. Kalau itu terjadi, aku akan membenci diri sendiri." Faria tersenyum untuk kesekian kalinya. Walau hatinya tersayat, ia tidak bisa terus menangis.Â
"Ternyata aku sama Raigan hanya bisa jadi sahabat, ya? Tidak apa-apa, selama bisa melihat mereka yang aku sayangi bahagia, sakit hati ini bisa aku tahan. Entah sampai kapan bisa bertahan, tapi, aku yakin Tuhan akan mengirimkan seseorang sebagai penyembuhnya," batin Faria.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H