Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perkumpulan Pria-pria Terluka

29 Januari 2018   06:04 Diperbarui: 29 Januari 2018   06:05 1501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pria tampan berwajah oriental dan bermata sipit itu kabur dari ruang rawatnya yang mewah. Berjalan-jalan di koridor rumah sakit. Satu tangannya membawa tiang infus. Muak hatinya terus-menerus terkurung dalam kamar luas penuh fasilitas mewah dan peralatan medis. Bukan hidup seperti ini yang diinginkannya.

"Ok fine...peduli amat dengan suster-suster seksi itu. Kalau mereka marah, aku bisa lebih marah lagi." gerutu pria itu panjang lebar.

Pria tampan itu terus bicara sendiri. Di ujung koridor, ia berpapasan dengan seorang wanita muda berambut keriting spiral. Mata wanita itu melebar.

"Waaah, ada orang aneh!" seru wanita itu ketakutan, lalu lari menjauh.

Si pria oriental itu menatap punggung wanita yang mengatainya orang aneh. "Aku punya nama. Panggil saja orang aneh ini...Calvin Wan."

Si wanita tak mendengarkan. Ia terus berlari. Calvin tak lagi peduli. Jujur saja, hatinya puas telah membuat seorang wanita kebingungan.

Terlalu sibuk mengamati wanita berambut keriting spiral itu, Calvin tak sadar kalau ia berdiri di tengah koridor. Saat itulah sesosok pria tinggi, atletis, dan berwajah perpaduan Mongoloid-Kaukasoid menabraknya.

"Hei, lihat-lihat kalau jalan!" protes Calvin refleks, tanpa menatap penabraknya.

"Maaf, maaf...saya tidak sengaja. Sungguh, saya tidak sengaja."

Detik berikutnya Calvin menatap pria lancang yang telah menabraknya. Ia sedikit tertegun. Sama seperti dirinya, pria atletis itu mengenakan piyama rumah sakit. Hatinya bertanya-tanya. Sakit apa pria seatletis ini sampai-sampai harus dirawat di rumah sakit?

"Kamu pasien juga?" tanya Calvin penasaran.

"Iya. Saya korban kecelakaan. Nama saya Anton Surya. Kamu?"

Tanpa diduga, malah perkenalan singkat. Rupanya punya niat baik. Calvin tersenyum simpul. Menjabat tangan Anton dan memperkenalkan namanya.

Kelanjutannya malah agak lucu. Baru berkenalan, Calvin langsung mengajak Anton jalan-jalan ke taman rumah sakit. Ada dua kemungkinan di sini. Kemungkinan pertama, Calvin tergolong cepat akrab dengan orang lain. Kemungkinan kedua, sudah terlalu lama kesepian hingga siapa pun orang yang ditemuinya ia ajak ngobrol dan jalan-jalan.

Anton tak keberatan. Ia berjalan di samping Calvin. Mendengarkan ceritanya. Sesekali menanggapi. Sesekali menjawab pertanyaan.

Mendengarkan Anton bicara membuat Calvin tersadar. Wajahnya perpaduan Mongoloid dan Kaukasoid. Namun, aksen dan cara bicaranya sehalus dan sesantun priyayi. Ini menarik. Pastilah Anton bukan orang sembarangan. Kelihatan dari sikap dan cara bicaranya.

Di lobi rumah sakit, langkah mereka terhenti. Mereka melihat seorang pria tampan berkulit putih dan berambut lurus tengah memainkan biola. Sekitar dua belas anak kecil berpiyama rumah sakit duduk di sekelilingnya. Pria berkulit putih ini pun mengenakan pakaian rumah sakit. Tangannya begitu mahir memainkan biola. Membawakan lagu anak-anak. Sepertinya ia sedang menghibur anak-anak yang menjalani perawatan di rumah sakit.

"Wow, menarik. Apa yang dia lakukan?" Calvin, yang suka mengamati tingkah laku orang-orang di sekitarnya, mulai penasaran lagi.

"Sepertinya, dia sedang menghibur anak-anak itu lewat permainan biolanya." jawab Anton.

Mata Calvin dan Anton bertemu pandang dengan pemain biola itu. Si pria kelihatannya tertarik, lalu ia bangkit berdiri.

"Hari ini udahan dulu ya? Besok kita lanjut lagi," kata pria itu lembut.

"Yah...Kak Albert mau udahan? Masih pengen sama Kak Albert..."

Seorang anak perempuan dengan rambut dikepang merajuk manja. Si pria yang dipanggil Albert mengusap kepalanya.

"Besok kita ketemu lagi, Sayang."

Setelah berpisah dengan anak-anak itu, si pria pemain biola bergegas menghampiri Anton dan Calvin. Satu tangannya menenteng biola.

"Hai...kalian pasien di sini? Kenalkan, saya Albert Fast. Just call me Albert."

Ketiga pria tampan itu bersalaman. Calvin lagi-lagi tergelitik. Otaknya mulai menarik benang-benang perkiraan. Bila Anton layaknya priyayi Jawa, Albert malah berbahasa Indonesia dengan logat British. Macam-macam saja dua kawan barunya ini.

Sebaliknya, Albert dan Anton sama herannya. Bagaimana tidak, mereka bertemu lelaki tampan berwajah Chinese, namun bahasa Indonesianya sangat lancar. Tidak ada logat Tionghoanya sama sekali.

Mereka tiba di pelataran rumah sakit. Nampak seorang pria bertubuh ramping dengn belahan di dagunya sibuk menelepon. Ia bicara cepat dalam Bahasa Inggris campur Indonesia logat Scottish. Begitu fokusnya menelepon sampai-sampai ia tak sadar jika beberapa kotak di tangannya terjatuh.

"Allright, kita atur lagi. Ok, bye."

Si pria dengan belahan pada dagunya itu menurunkan ponselnya. Terperangah menyadari kotak-kotak yang ia pegang bergeletakan di rumput. Tanpa diminta, Albert, Calvin, dan Anton membantu memunguti kotak-kotak itu.

"Thanks," ucap si pria ramping penuh terima kasih.

"You're wellcome."

Si pria langsing mendesah tak kentara. Mengumpulkan kembali kotak-kotaknya.

"Apa isi kotak-kotak ini? Kalau boleh tahu..." selidik Calvin. Sekali lagi rasa ingin tahunya muncul ke permukaan.

"Ah, good question. Isinya makanan. Awalnya ingin kubagikan untuk anak-anak penderita SLE di sini, tapi..."

"Tapi apa?"

"Tapi, aku tak mau berisiko memberikannya pada mereka."

"Kenapa? Karena tadi semua kotaknya jatuh?"

"Yups."

Tipe pria yang sangat berhati-hati, pikir Calvin. Trader, blogger, dan mantan duta budaya itu kembali tertarik.

"Oh ya, saya Calvin. Ini Anton, dan yang ini Albert. Siapa namamu?"

"Albert?" ulang pria itu, lalu tertawa.

"Wow, we have the same name! My name's Albert Arif. Hmm....you can call me Arif, ok?"

Di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan. Tuhan pastilah sudah merencanakan pertemuan mereka. Bagaimana mungkin ada dua pria dengan nama yang sama bertemu di kesempatan yang sama?

**      

Calvin, Anton, Albert, dan Arif duduk di bangku taman. Empat pria muda, tampan, sukses, dan kaya. Empat pria yang dipertemukan takdir di tempat yang sama.

"Jadi, kamu sakit kanker ginjal? So scary..." ujar Arif, menatap Calvin penuh simpati.

"Sudah takdirku. Jalani saja." kata Calvin tenang.

Di antara mereka berempat, Calvin yang paling dewasa. Anton paling tinggi. Albert yang paling tampan. Arif paling royal dan kaya.

"Anton korban kecelakaan, Calvin kena Kidney cancer. Kamu sendiri kenapa, Albert?" Arif mengalihkan pandang pada Albert.

Sebagai jawaban, Albert menyingkap sedikit lengan bajunya. Memperlihatkan memar kebiruan bekas tusukan jarum.

"Astaghfirullah...itu seperti bekas kemoterapi. Apa kamu...?" Calvin menggantung kalimatnya.

"Yes. Surviver kanker. Tepatnya Leukemia."

Jawaban Albert ringan saja. Selintas terlihat kilatan pedih di matanya. Anton, Arif, dan Calvin bergantian menepuk pundaknya.

"Kamu pasti sembuh. Selalu ada harapan." Anton berkata membesarkan hati.

"Ah sudahlah. Aku sudah pasrah. Yang penting istriku, Andini, telah berada di tangan yang tepat."

Tatapan Albert tak fokus. Ketiga pasang mata indah, ketiga wajah tampan menyeruak penuh kebingungan.

"Iya, aku berpura-pura sudah meninggal agar Andini bisa menikah lagi. Aku sangat mencintai Andini, terlalu mencintainya. Mana mungkin kubiarkan dia menderita bersamaku?" Albert tersenyum pahit, teringat istri cantiknya.

"No way! Kamu pura-pura sudah meninggal biar istrimu bisa menikah lagi? Are you sure? Kamu yakin, istrimu dinikahi orang yang tepat?" sergah Arif.

"Sure...karena Andini dinikahi Fahmi Hartanto, pemimpin Hartanto Group yang notabene cinta pertamanya."

Mendengar itu, Calvin menepuk dahinya. "Fahmi Hartanto? Aku pernah kerjasama dengannya...dunia sempit ya."

"Pasti hatimu terluka. Sulit melihat orang yang kita cintai, berbahagia dengan orang lain." komentar Arif.

"Luka hatiku tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa syukurku karena melihat Andini bersama Fahmi. Lebih baik aku yang terluka."

Kekaguman merayapi hati. Pria berdarah Sunda-Inggris ini berjiwa besar.

"So, sekarang kamu hidup sendiri?" lanjut Calvin.

"Hanya ditemani staf-stafku. Sibuk mengurus perusahaan travel tak membuatku melupakan Andini. Sampai akhirnya kondisiku drop dan aku harus dirawat di sini."

Ah, ini menyedihkan. Albert Fast, pengusaha kaya yang kesepian. Ia sakit parah, lalu berpura-pura sudah meninggal demi kebahagiaan istri tercintanya. Kisah pedih dan tragis.

"Mudah-mudahan kamu bahagia. Paling tidak, kamu sudah tahu bagaimana rasanya menikahi wanita yang kamu cintai. Sedangkan aku...?"

"Kenapa? Memangnya apa yang terjadi denganmu, Anton?"

Wajah Anton berubah sendu. Pemilik restoran berdarah campuran Jawa-Belanda itu terkenang kembali sepupu jauhnya yang sangat cantik.

"Aku mencintai Sarah, sepupu jauhku sendiri. Sudah kubulatkan tekad untuk menikahinya. Tapi, dia tak mau menikah denganku dan memilih pria lain. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Di hari pernikahan Sarah, aku frustasi. Kulajukan mobilku dengan kecepatan tinggi, lalu aku kecelakaan."

Kisah cinta yang tak kalah memilukan. Beberapa kali Anton mengerjapkan mata. Mengusir bayangan Sarah dari pikirannya.

"Kupikir, aku akan kehilangan ingatan setelah kecelakaan. Ternyata tidak. Aku masih bisa mengingat Sarah dengan jelas. Dia, dan semua kenangan indah bersamanya, akan tersimpan abadi dalam memoriku."

Hening sesaat. Entah ini layak disebut kisah cinta terlarang atau tidak. Mungkin tak terlarang, namun sepertinya Sarah punya alasan lain untuk menolak cinta dari pria sebaik Anton.

"Be strong. Tak ada yang abadi. Kesedihan akan berlalu seiring berjalannya waktu." hibur Arif perlahan.

"Aku hanya bisa berharap Sarah bahagia dengan pilihannya." ungkap Anton sedih.

Satu kisah penuh luka kembali terurai. Tetiba saja Arif berkata.

"Mungkin aku masih lebih beruntung. Aku masih sempat merasakan manisnya dicintai."

Tiga pasang mata menatap heran, tiga alis terangkat, dan tiga kerutan di kening pertanda tak mengerti.

"Apa maksudmu?"

"Dulunya, aku seorang Frater. Aku juga tak mengerti mengapa keluargaku yang broken home, ibuku yang pergi waktu aku masih kecil, dan ayahku yang jatuh miskin lalu memaksaku murtad, akhirnya membawaku ke jalan panggilan untuk hidup membiara. Setahun sebelum aku lulus dari sekolah Teologi, aku dekat dengan seorang gadis. Dia...dia gadis yang sangat cantik. Her name's Renna. She's beautiful, kind, and smart."

Pria berdarah Jawa-Jerman-Skotlandia itu tertunduk dalam.

"Aku menyesal. Mengapa dulu tak bersama Renna? Sehari sebelum retret tahunan, kuusir Renna dari hidupku. Padahal dia tulus mencintaiku. Dia bahkan mempercayakan salah satu bisnis kuliner milik keluarganya untuk dikelola olehku. Tapi...aku malah berbuat kasar padanya. Saat itu, aku pun tidak bisa berbuat apa-apa karena Romo Peter, pastor pembimbingku waktu itu, memata-matai dan menghalangiku bersama Renna. Dia bilang, godaan dari dunia luar begitu kejam menggoda."

Ketegangan mengalir. Tiga pria tampan di kanan-kiri Arif mulai gelisah.

"Namun, tiga bulan sebelum tahbisan Imamat, aku resah. Hidupku tak tenang. Rasanya, ini bukan jalanku. Aku juga menyesal telah menyia-nyiakan Renna. Tiap perbuatan ada balasannya. Aku tiba di titik terdalam penyesalanku. Akhirnya, aku berani mengambil keputusan. Aku lepas jubah dan meninggalkan biara. Kini hidupku bebas. Lalu aku kembali ke pelukan Islam yang indah, kembali memeluk agamanya Nabi Muhammad dengan keinginanku sendiri. Orang tuaku boleh saja murtad, tapi aku ingin kembali ke jalan yang benar. Islam membawaku pada kebahagiaan sejati. Aku berhasil membangun bisnis dari awal sampai sekarang. Jaringan hotel yang kukelola maju pesat. Kecintaanku paada Islam semakin dalam. Tapi ada satu hal yang kurang: Renna. Aku mencarinya, aku merindukannya. Ternyata...Renna sudah menikah dengan pria Sunda-Tionghoa bernama Rafly."

Ini jauh lebih menyakitkan. Luka yang tercipta akibat penyesalan. Arif sangat menyesal telah menyia-nyiakan Renna, kemudian ia menghadapi kenyataan pahit.

"Laa haula wa la quwata illa billah..." Calvin bergumam perlahan.

Albert dan Anton speechless. Tak menyangka kisah cinta teman baru mereka jauh lebih menyedihkan.

"Lalu, apa yang membuatmu dirawat di sini?"

"Sirosis, Albert. Pengerasan hati. Aku sudah tak punya harapan lagi." sahut Arif hampa.

"Tidak, jangan berkata begitu. Kamu masih punya harapan." Anton dan Calvin berucap nyaris bersamaan.

"Entahlah. Sejak kehilangan Renna, hidupku tak ada harapan."

Keheningan yang menyusul jauh lebih menekan. Diam-diam Calvin waswas. Hanya kisah cintanya yang belum terbongkar. Kalau bisa, ia ingin menghindarinya. Menggores luka lama hingga berdarah? No way.

Demi mengalihkan perhatian, Calvin meminjam biola Albert lalu memainkannya. Disambuti pujian teman-teman barunya. Permainan biola Calvin tak kalah indah dari Albert. Diajaknya Albert, Anton, dan Arif bernyanyi. Semata ingin menghibur diri sendiri dan ketiga temannya.

Alunan lembut biola, suara bass Calvin, suara tenor Anton, dan suara bariton Arif dan Albert berpadu sempurna membawakan lagu itu. Lagu yang mencerminkan isi hati mereka.

Ingatkah dulu semua kenangan kita

Waktu kita bersama waktu kau cemburu

Kini kau menghilang seakan semua tak pernah ada

Sesaat saja tak kau izinkan tuk buktikan

Semua pasti berubah

Andai saja ada kesempatan kau berikan

Kita masih bersama

Bagaimana harus ku lupakan semua

Saat hati memanggil namamu

Atau harus ku relakan kenyataan

Kita memang tak sejalan

Namun kau adalah pemilik hati ku

Sesaat saja tak kau izinkan tuk buktikan

Semua pasti berubah

Andai saja ada kesempatan kau berikan

Kita masih bersama

Bagaimana harus ku lupakan semua

Saat hati memanggil namamu

Atau harus ku relakan kenyataan

Kita memang tak sejalan

Namun kau adalah pemilik hati ku

Bagaimana harus ku lupakan semua

Saat hati memanggil namamu (saat hati memanggil namamu)

Atau harus ku relakan kenyataan

Kita memang tak sejalan

Namun kau adalah pemilik hati ku (Calvin Jeremy-Pemilik Hatiku).

Anton menundukkan wajah, berusaha menutupi perasaannya. Mata Albert memerah. Arif terlarut dalam kenangan. Calvin terlihat tenang, namun menyembunyikan rasa yang sebenarnya.

Mereka seperti membentuk perkumpulan pria-pria yang terluka. Pria-pria yang terluka karena cinta. Mereka berempat juga dirawat di sini akibat luka karena cinta.

Andai saja mereka tahu. Calvin sengaja memainkan biola demi mengalihkan pikiran dari kesedihannya. Kebahagiaan boleh dibagi-bagi, tetapi kesedihan biarlah dirasakan sendiri. Biarlah Calvin simpan saja sedihnya sendiri. Anton, Arif, dan Albert tak perlu tahu.

Mereka tak perlu tahu bila Calvin Wan, pria dengan rasa ingin tahu yang tinggi dan mudah akrab dengan orang lain, pernah lima kali menikah dan lima kali bercerai. Julia, Calisa, Rossie, Clara, dan Silvi adalah lima peragawati cantik berbeda etnis yang pernah dinikahinya. Sayangnya, pernikahannya dengan mereka tak pernah bertahan lama. Kegagalan rumah tangga berulang yang dihadapinya hanya karena satu alasan: infertilitas. Kelima wanita itu tak bisa menerima kondisi Calvin yang tidak mampu meneruskan keturunan.

"Calvin, are you ok?"

Albert setengah bangkit dari duduknya, raut wajahnya cemas. Tetiba saja Calvin menghentikan permainan biola. Sepasang mata sipit bening itu memancarkan kesakitan. Calvin sedikit membungkukkan tubuhnya, merasakan sakit itu lagi. Sakit di ginjalnya, sakit pula di hati kecilnya.

**       

https://www.youtube.com/watch?v=keJMpdfEPUw

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun