Wanita mana pun akan dibuat meleleh oleh kebaikan dan aura pesona Calvin. Ia terlalu tampan, terlalu baik untuk dilewatkan begitu saja.
"Ayolah Sayang, berhenti dulu menulis artikelnya. Temani aku di sini." rajuk Silvi manja.
"Beberapa paragraf lagi. Sebentar lagi selesai, Silvi. Setelah itu aku akan menemanimu." kata Calvin sabar.
"Kamu nulis tentang apa sih?"
"Tren biaya energi terbarukan."
Silvi mendesah. Menepuk dahinya. "Ah...aku tak paham ekonomi. Lebih baik aku belajar psikologi saja."
Si blogger super tampan tertawa kecil mendengar komentar istrinya. Tinggal satu kalimat terakhir, ia merasakan kesakitan di bagian perutnya. Lantai yang dipijaknya seakan berputar. Kursi yang didudukinya seolah bergetar.
"Calvin, are you ok?" tanya Silvi khawatir.
Tak sanggup menjawab. Calvin muntah darah. Sakit ini, darah ini, mengapa datang di saat tak tepat?
** Â Â Â
Apakah yang Silvi takutkan? Jarum suntik? Tidak. Darah? Tidak. Kamar jenazah? Tidak. Ruang operasi? Tidak. Paramedis berpakaian serbaputih? Tidak. Gedung rumah sakit yang horor penuh makhluk halus? Tidak. Silvi kuat melihat semua itu.