Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Special] Mata Pengganti, Pembuka Hati: Sakit, Namun Aku Bahagia

26 Januari 2018   06:11 Diperbarui: 26 Januari 2018   15:55 1033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Menatap nanar teman-temannya yang berjalan menuju kapel di belakang sekolah, Calvin menyilangkan lengannya. Ia harus menghadapi pertanyaan beberapa teman sekelas. Mengapa ia tidak ikut berdoa di kapel itu? Mengapa ada tasbih mungil yang melingkar di pergelangan tangannya? Sulit menjelaskan.

Calvin adalah minoritas di sini. Bukan minoritas karena ras dan warna kulit, tetapi karena keyakinan. Sebagian besar anak di sekolah ini pengikut Kristus. Sedangkan dirinya, mencoba menjadi umatnya Nabi Muhammad.

"Calvin, kamu nggak ikut ke kapel?" tegur Silvi, bergegas menghampirinya.

"Nggak. Kamu kok masih di sini?" Calvin balik bertanya.

Sebagai jawaban, Silvi membuka tasnya. Memperlihatkan sebuah Alquran.

"Wow, jadi...kamu...?"

"Yups."

Sesaat keduanya berpandangan. Senyum merekah di wajah mereka. Calvin dan Silvi bertoast. Sejak saat itulah mereka bersahabat.

**      

Lima menit berlalu sejak waktu Zuhur. Di sekolah ini tak ada masjid. Gelisah, ia berulang kali mengecek arlojinya.

Shalat tepat waktu adalah prioritas utama Calvin. Namun, bagaimana bisa shalat jika di sekolah swasta berbiaya mahal ini tak ada masjidnya? Ia mesti shalat dimana?

"Calvin, kamu kenapa sih? Dari tadi liat jam terus." Salah seorang teman menanyainya penasaran.

"Hayo, mau ngapain? Mau bolos ya?" tanya yang lain iseng.

"Mau pacaran ya? Pasti udah janjian sama anak di sebelah."

Tak satu pun pertanyaan ia jawab. Sementara teman-temannya tertawa dan asyik melanjutkan makan siang mereka.

"Hei, dimakan dong. Nanti keburu dingin. Nggak enak lho."

Sayangnya, sekotak pizza di depannya tak tersentuh. Enggan ia menyentuhnya. Perasaannya tidak tenang.

"Pizzanya buat kamu aja." Calvin berkata pelan, setengah bangkit dari kursinya.

"Yakin? Kamu baik banget sih...ini kan kamu yang beli. Masa selama kenal kita, kamu baik terus sih? Kerjanya kasih sesuatu, traktir, nolong orang mulu...Calvin, Calvin. Beneran nih boleh dimakan pizzanya?"

"Boleh."

Teman-temannya bersorak, lalu mulai menyerbu kotak besar di depan mereka itu. Calvin beranjak meninggalkan mereka. Time to pray, bisik hatinya.

Berjalan menyusuri halaman sekolah yang luas, Calvin berpikir dimana ia bisa shalat. Begini rasanya jadi minoritas: tidak enak. Sulit menemukan tempat ibadah. Belum tentu orang lain paham dengan keyakinan yang dianut. Tak satu pun teman-teman Calvin yang tahu soal ini.

Sekali-dua kali terlintas di pikirannya untuk pindah sekolah. Tapi ia tidak mau mengecewakan Mama-Papanya. Mereka ingin Calvin bersekolah di sini karena kualitas dan sistem pendidikannya sangat bagus. Calvin anak yang penurut. Ia bukanlah Adica yang bandel, atau Syifa yang segala keinginan dan pilihannya dibebaskan.

Berjalan dan terus berjalan, ia menemukan sebuah ruangan luas di dekat kapel. Nampaknya ruangan itu bekas ruang kelas. Setidaknya ini tempat yang nyaman.

Calvin shalat dengan khusyuk. Hatinya berangsur tenang. Akhirnya ia bisa shalat di tempat yang cukup nyaman. Pikiran dan jiwanya terfokus dalam komunikasi transendental pada Illahi. Beribadah di tempat yang dihuni orang-orang yang berbeda keyakinan, ternyata sama indahnya.

Tanpa disadari, beberapa pasang mata berkilat marah dari balik pintu. Mereka tak lain teman-teman Calvin. Sengaja mengikuti pemuda tampan itu diam-diam. Penasaran apa yang ingin dilakukannya.

Celah pintu yang sedikit terbuka memudahkan mereka mengintip ke dalam. Dapat mereka lihat dengan jelas ketika Calvin shalat dan memfokuskan pikiran sepenuhnya pada ibadahnya. Mereka kaget saat melihat pemuda oriental itu takbiratul ihram, ruku', dan sujud.

Selesai shalat, Calvin dikejutkan oleh bantingan pintu dan kehadiran teman-temannya. Mereka menatapnya penuh amarah.

"Oh, jadi ini ya, Calvin Wan yang sebenarnya? Kenapa nggak bilang dari awal?"

"Pantas saja kamu nggak pernah mau diajak berdoa ke kapel."

"Pantas kamu ngakunya sakit waktu minggu kemarin kami ajak makan di restoran non-halal."

"Pembohong! Buat apa ganteng, pintar, royal, tapi pembohong? Wuuuuuu!"

Langsung saja mereka menghakiminya. Menyalahkannya, membullynya. Calvin tersudut. Tak bisa berbuat apa-apa.

Seorang anak laki-laki bertubuh gendut dan berkacamata merampas sajadahnya. Anak lain yang berambut keriting melempar tasnya. Buku-buku, Alquran, tab, smartphone, kotak musik, dan beberapa batang coklat berhamburan keluar. Mereka tak tahu, sebenarnya Calvin berencana membagikan coklat itu usai shalat.

Diam saja bukan berarti lemah. Calvin tak marah, sama sekali tak marah. Ia terima bila teman-temannya sendiri membullynya. Ia sadar, dirinya hanyalah minoritas di sini. Namun, bukan itu yang membuat Calvin tak bisa melawan mereka. Ia hanya takut Allah marah padanya. Menyerang dan melukai mereka justru akan merusak citra Islam itu sendiri. Menunjukkan sisi baik dan sabar seorang Muslim sejati, itulah yang ingin ditunjukkannya.

Puas menyakitinya, mereka bergegas pergi. Tak mau lagi berteman dengan anak laki-laki berparas tampan ini. Calvin memunguti barang-barangnya. Pada saat bersamaan, Silvi datang.

"Calvin, kamu nggak apa-apa?" Gadis itu bertanya cemas.

Sepasang mata sipit bertemu sepasang mata biru. Silvi, mengapa ia selalu ada?

**     

"Well, aku mau cerita."

Si gadis blasteran Sunda-Inggris yang kini telah beranjak dewasa, duduk di samping Calvin. Merapatkan tubuhnya pada pria itu.

"Tadi pagi aku dapat info dari dosenku. Ada program student exchange, Calvin. Kesempatan yang sudah lama kutunggu-tunggu!"

Lembaran kertas tebal ia tunjukkan. Perhatian Calvin teralih. Kertas itu berisi list universitas pilihan yang dapat dituju untuk program pertukaran mahasiswa.

"Wow, good news. Ikut saja, Silvi. Pasti menyenangkan. Bukankah ini impian lamamu?" sambut Calvin antusias.

Binar di mata Silvi meredup. Ia menarik kembali kertasnya.

"Aku tidak bisa ikut, Calvin."

"Kenapa?"

"As you know, my sister..."

"Oh I see."

Sarah akan menikah. Keluarga besar sedang disibukkan dengan persiapan pernikahan selama beberapa bulan ke depan. Riskan untuk mengikuti program pertukaran mahasiswa di tengah segala kerumitan persiapan pernikahan.

"Tak adakah yang bisa menemanimu?" tanya Calvin lembut, penuh empati.

"Tak ada." jawab Silvi sedih.

Mau tak mau Calvin ikut sedih mendengarnya. Silvi mahasiswi yang cerdas. Ia cantik, populer, dan berprestasi. Sayang sekali bila kesempatan emas dilewatkan begitu saja.

"Hmm...kalau saja perusahaanku tidak sedang sibuk-sibuknya melakukan ekspansi, aku mau menemanimu. Aku akan menjagamu selama di sana."

"Oh Calvin, tawaran ini datang di saat yang tidak tepat..."

Sebenarnya, bisa saja Calvin ikut menemani Silvi ke negeri Ratu Elizabeth tanah air keduanya Silvi itu. Menjaganya, mendampinginya selama menuntut ilmu di sana. Kondisi finansial yang berlebih, harta berlimpah, mau beli apa pun bisa mau pergi kemana pun bisa, mudah saja untuk blogger sekaligus pengusaha super tampan ini. Namun belakangan ini ia sibuk di perusahaan keluarga. Praktis Calvin tak bisa pergi jauh dalam waktu lama.

"Lihat, salah satunya dimana? The University of Edinburgh? Oh my God, ini impian lamaku. Sudah dua tahun aku mencari dan menunggu kesempatan ini!" Suara Silvi bergetar.

Wajah Silvi diliputi kesedihan. Calvin tak tega melihatnya. Dibelainya rambut panjang gadis itu. Silvi hanya berani mengungkapkan kesedihannya pada Calvin.

"Aku mengerti, Silvi. Cobalah ambil sisi positifnya." Calvin memberi penghiburan.

"Sisi positifnya, aku bisa belajar mengalah untuk orang-orang yang kucintai. Aku berkorban untuk mereka. Di satu sisi, aku sedih karena tak bisa mewujudkan impian lamaku. Di sisi lain, aku bahagia karena bisa mengalah."

Bibir Silvi gemetar. Matanya berkaca-kaca. Air matanya jatuh.

Tangan Calvin terulur. Menghapus lembut air mata Silvi.

"Sabar ya...nanti pasti akan ada kesempatan lagi. Akan ada yang lebih baik untukmu." ujar Calvin lembut.

"Aku sangat ingin belajar di sana, Calvin." isak Silvi.

Dengan gerakan slow motion, Calvin memeluk Silvi. Keduanya berpelukan. Erat dan lama. Air mata Silvi tumpah dalam pelukan Calvin. Hatinya sedih sekali. Memang tak mudah melepaskan impian di saat kesempatan itu sudah ada di depan mata.

Saat itulah hati Calvin bergetar. Getaran-getaran cinta hadir tanpa permisi. Ia melihat kerelaan Silvi mengalah dan melepaskan impiannya. Suatu kerelaan yang jarang dimiliki gadis sepertinya. Gadis seperti inilah yang dicari Calvin. Gadis cantik luar-dalam yang layak mendapat predikat sebagai Nyonya Calvin Wan.

Sejurus kemudian Calvin melepas pelukannya. Ia mengluarkan kotak kecil berisi sepasang cincin yang telah lama disiapkan. Berlutut di depan Silvi, memegang tangannya, lalu berbisik penuh ketulusan.

"Silvi, will you marry me?"

**       

Pernikahan Calvin dan Silvi jauh lebih mewah dan eksklusif dibandingkan pernikahan Sarah dan Yogi. Pernikahan yang sangat tertutup. Resepsi berbalut kemewahan, namun terbatas hanya untuk keluarga inti dan teman-teman terdekat.

Selanjutnya honeymoon keliling Eropa. Inggris, Jerman, Prancis, Swiss, Belanda, Belgia, dan Italia mereka datangi. Benar, Silvi pulang ke tanah air keduanya. Bertemu pria-pria dan wanita-wanita bermata biru seperti dirinya. Ia pulang ke tanah air kedua bukan untuk belajar, melainkan untuk menikmati kebahagiaan bersama pria pendamping hidupnya.

Mereka yang sabar dan ikhlas pastilah akan mendapat gantinya. Allah tak pernah ingkar janji. Silvi mendapatkan ganti yang jauh lebih baik dan membahagiakan. Kini ia resmi dinikahi seorang pengusaha kaya yang rupawan, saleh, baik hati, dan penyayang. Beruntungnya Silvi memiliki suami sesempurna Calvin.

Usai honeymoon, hari-hari indah mereka lewati. Walau disibukkan dengan studi dan pekerjaan, keduanya tetap meluangkan waktu bersama. Calvin tetap konsisten dengan janjinya: tidak "menyentuh" Silvi. Justru ia selalu menjaga, memahami, dan menyayanginya. Calvin adalah mata untuk Silvi.

Keikhlasan Silvi berujung manis. Wanita yang baik akan mendapat pria yang baik. Hal itu benar.

Calvin lebih dari sekadar baik untuknya. Perfect, satau kata yang tepat untuknya. Selalu ada di samping Silvi, memahami dirinya, membacakannya buku, menemaninya, dan melakukan banyak hal agar Silvi bahagia.

"Calvin, you know I love you." Silvi mengungkapkan perasaannya malam itu.

"I love you more," bisik Calvin. Mencium kening istrinya.

Wanita mana pun akan dibuat meleleh oleh kebaikan dan aura pesona Calvin. Ia terlalu tampan, terlalu baik untuk dilewatkan begitu saja.

"Ayolah Sayang, berhenti dulu menulis artikelnya. Temani aku di sini." rajuk Silvi manja.

"Beberapa paragraf lagi. Sebentar lagi selesai, Silvi. Setelah itu aku akan menemanimu." kata Calvin sabar.

"Kamu nulis tentang apa sih?"

"Tren biaya energi terbarukan."

Silvi mendesah. Menepuk dahinya. "Ah...aku tak paham ekonomi. Lebih baik aku belajar psikologi saja."

Si blogger super tampan tertawa kecil mendengar komentar istrinya. Tinggal satu kalimat terakhir, ia merasakan kesakitan di bagian perutnya. Lantai yang dipijaknya seakan berputar. Kursi yang didudukinya seolah bergetar.

"Calvin, are you ok?" tanya Silvi khawatir.

Tak sanggup menjawab. Calvin muntah darah. Sakit ini, darah ini, mengapa datang di saat tak tepat?

**     

Apakah yang Silvi takutkan? Jarum suntik? Tidak. Darah? Tidak. Kamar jenazah? Tidak. Ruang operasi? Tidak. Paramedis berpakaian serbaputih? Tidak. Gedung rumah sakit yang horor penuh makhluk halus? Tidak. Silvi kuat melihat semua itu.

Yang ditakutkannya hanya satu: melihat Calvin kesakitan. Silvi paling tidak tega melihat suami super tampannya kesakitan.

Ketika Calvin menggenggam erat tangannya, itu menandakan sakit yang dirasakannya terlalu menyiksa. Kidney cancer yang harus dilawannya begitu kejam. Andai saja bisa, Silvi ingin memindahkan rasa sakit Calvin ke tubuhnya sendiri. Agar Calvin tak perlu lagi merasakan sakitnya.

Sementara itu, Calvin hanya memikirkan Silvi. Sakit parah saja ia masih memikirkan orang lain. Perlahan ia melepas masker oksigennya. Lirih ia berkata,

"Silvi, aku ingin kita bercerai."

"Tidak, Calvin. Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku tetap akan di sini, bersamamu." tolak Silvi.

"Buat apa kita terus bersama bila kamu tak bahagia? Aku sakit, Silvi. Kamu takkan bahagia bersamaku."

Kesedihan terpancar jelas di mata Calvin. Kesedihan yang berpadu dengan ketidakrelaan.

Silvi membungkuk. Mengecup kening Calvin penuh kasih. Membelai rambutnya. Rambut yang menipis pasca serangkaian kemoterapi.

"Aku mencintaimu, Calvin. Aku bahagia bersamamu...dalam kondisi apa pun."

"Tidak. Kamu harus bercerai denganku dan menikah lagi. Sudah kupilihkan mata pengganti untukmu."

Apa maksud Calvin melakukan ini semua? Silvi tak terima. Di saat dirinya ingin selalu ada di sisi Calvin, pria tampan itu justru memisahkan dirinya dari hidup Silvi.

"Aku bukan aku yang dulu, Silvi. Namun cintaku seperti dulu..." ucap Calvin lirih.

"Cintaku pun tak berubah, Calvin. Sama seperti dulu." balas Silvi.

Susah payah Calvin bangkit dari ranjangnya. Dipeluknya Silvi erat. Kalimat yang dibisikkan ke telinga Silvi sukses membuat hatinya bergetar hebat.

"Tak kubiarkan...kau tak bahagia."

**      

Detik-detik jelang akad nikah seharusnya membahagiakan. Tidak bagi Silvi. Ia malah berdoa tetiba terjadi gempa yang meruntuhkan hotel mewah ini. Agar tak pernah ada momen pernikahan antara dirinya dengan pria pilihan Calvin.

Sayangnya, tak terjadi apa-apa. Akad nikah dimulai.

"Saya terima nikahnya Revan Tendean bin El Muhammad Tendean dan Silvi Mauriska..."

Revan, si pria berdagu lancip keturunan campuran Minahasa-Belanda-Prancis, menjawab dengan lancar. Prosesi akad nikah berlangsung khidmat.

Manik mata Silvi menangkap gerakan tergesa-gesa dari bangku barisan depan. Calvin, itu Calvin-nya. Kekasih hatinya, belahan jiwanya. Surviver kanker yang telah menceraikannya demi kebahagiaannya. Pria berjiwa besar yang merelakan Silvi bersama orang lain.

Calvin bangkit dari kursinya, lalu berlari meninggalkan ruangan. Ia gagal menahan perih hatinya. Ya Allah, sakit sekali melihat orang yang dicintai bersama yang lain. Setangguh apa pun, Calvin tetaplah manusia biasa. Punya kelemahan. Bisa bersedih, bisa merasa kehilangan.

Ternyata ia tak bisa melihat Silvi bersama Revan. Hatinya sesak oleh kesedihan. Sedih ini sulit terusir dari benaknya. Berdoa minta dikuatkan, hanya itu yang bisa ia lakukan.

Di depan pintu, Calvin terjatuh. Punggung dan perut bagian bawahnya terasa sakit. Dua pasang tangan terulur. Membantunya berdiri.

"Kak...Kakak kuat ya? Syifa tahu, ini berat buat Kak Calvin. Tapi Kakak harus kuat." Syifa setengah terisak, sementara Calvin memeluknya.

"Apa kataku? Kalau ini membuatmu sakit, lebih baik jangan dilakukan! Toh Silvi menerima keadaanmu kan?" sergah Adica, marah dan sedih.

"Aku hanya ingin Silvi bahagia, Adica." jelas Calvin setenang mungkin.

"Silvi mungkin bahagia, tapi kamu menderita!"

"Tidak apa-apa aku menderita, asalkan Silvi bahagia. Terkadang kita harus mengalah untuk orang yang kita cintai. Berkorban untuk orang yang dicintai tak ada salahnya."

Calvin menghela napas berat. Sakit, bukan hanya tubuhnya, tetapi perasaannya. Syifa terus memeluknya erat.

Usai akad nikah, resepsi dimulai. Calvin menguatkan dirinya saat masuk kembali ke dalam ballroom untuk mengikuti jalannya resepsi. Hatinya masih sedih. Namun di sisi lain ia bahagia karena melihat Silvi telah berada di tangan yang tepat.

Rangkaian demi rangkaian acara terlewati. Mulai dari pemotongan wedding cake, wedding kiss, dan pelemparan bunga. Syifa yang mendapat lemparan bunga. Disambuti senyum ceria beberapa tamu undangan dan harapan agar adik bungsu Calvin itu segera menikah.

Di tengah megahnya pesta pernikahan itu, hal tak terduga terjadi. Calvin memainkan piano dan menyanyikan lagu. Bayangkan, seorang pria bernyanyi di pernikahan mantan istrinya.

Andaikan kabut tak menyulam hari hingga berlarut-larut

Andaikan hidup ada harapan

Mencintaimu sebagai bagian terindah di hidupku

Tak kubiarkan kau tak bahagia

Berjuta fatwa cinta yang ada

Mengantarku pada kenyataan

Hatiku memeluk bayang-bayang

Ingin denganmu tapi tak bisa

Aku bukan aku yang dulu

Namun cintaku seperti dulu

Merelakanmu aku merasa

Bagai bulan dikekang malam

Mencintaimu sebagai bagian terindah di hidupku

Tak kubiarkan kau tak bahagia

Berjuta fatwa cinta yang ada
Mengantarku pada kenyataan

Hatiku memeluk bayang-bayang

Ingin denganmu tapi tak bisa

Aku bukan aku yang dulu

Namun cintaku seperti dulu

Merelakanmu aku merasa

Bagai bulan dikekang malam

Aku ikhlaskan segalanya

Walau cintaku lebam membiru

Sakit namun aku bahagia

Ku terima segala takdir cinta (Rossa-Bulan Dikekang Malam).

Saat menyanyikan lagu itu, Calvin merasakan sebagian beban kesedihannya terlepas. Ia bercerita lewat lagu. Ia ungkapkan betapa besar cintanya pada Silvi. Sulit, namun harus ia relakan Silvi dimiliki yang lain.

Hati Calvvin sakit, tetapi ia bahagia. Ia terima takdir cinta ini. Bila berpisah adalah jalan terbaik, ia ikhlas. Mengikhlaskan orang yang dicintainya berbahagia bersama yang lain.

Banyak tamu undangan meneteskan air mata. Terharu melihat ketegaran Calvin. Calvin Wan yang mereka kenal begitu lembut, sabar, dan penyayang, memperlihatkan sisi ketegarannya yang luar biasa.

**        

https://www.youtube.com/watch?v=Yol5SlQQzv0

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun