Sebenarnya, bisa saja Calvin ikut menemani Silvi ke negeri Ratu Elizabeth tanah air keduanya Silvi itu. Menjaganya, mendampinginya selama menuntut ilmu di sana. Kondisi finansial yang berlebih, harta berlimpah, mau beli apa pun bisa mau pergi kemana pun bisa, mudah saja untuk blogger sekaligus pengusaha super tampan ini. Namun belakangan ini ia sibuk di perusahaan keluarga. Praktis Calvin tak bisa pergi jauh dalam waktu lama.
"Lihat, salah satunya dimana? The University of Edinburgh? Oh my God, ini impian lamaku. Sudah dua tahun aku mencari dan menunggu kesempatan ini!" Suara Silvi bergetar.
Wajah Silvi diliputi kesedihan. Calvin tak tega melihatnya. Dibelainya rambut panjang gadis itu. Silvi hanya berani mengungkapkan kesedihannya pada Calvin.
"Aku mengerti, Silvi. Cobalah ambil sisi positifnya." Calvin memberi penghiburan.
"Sisi positifnya, aku bisa belajar mengalah untuk orang-orang yang kucintai. Aku berkorban untuk mereka. Di satu sisi, aku sedih karena tak bisa mewujudkan impian lamaku. Di sisi lain, aku bahagia karena bisa mengalah."
Bibir Silvi gemetar. Matanya berkaca-kaca. Air matanya jatuh.
Tangan Calvin terulur. Menghapus lembut air mata Silvi.
"Sabar ya...nanti pasti akan ada kesempatan lagi. Akan ada yang lebih baik untukmu." ujar Calvin lembut.
"Aku sangat ingin belajar di sana, Calvin." isak Silvi.
Dengan gerakan slow motion, Calvin memeluk Silvi. Keduanya berpelukan. Erat dan lama. Air mata Silvi tumpah dalam pelukan Calvin. Hatinya sedih sekali. Memang tak mudah melepaskan impian di saat kesempatan itu sudah ada di depan mata.
Saat itulah hati Calvin bergetar. Getaran-getaran cinta hadir tanpa permisi. Ia melihat kerelaan Silvi mengalah dan melepaskan impiannya. Suatu kerelaan yang jarang dimiliki gadis sepertinya. Gadis seperti inilah yang dicari Calvin. Gadis cantik luar-dalam yang layak mendapat predikat sebagai Nyonya Calvin Wan.