Menatap nanar teman-temannya yang berjalan menuju kapel di belakang sekolah, Calvin menyilangkan lengannya. Ia harus menghadapi pertanyaan beberapa teman sekelas. Mengapa ia tidak ikut berdoa di kapel itu? Mengapa ada tasbih mungil yang melingkar di pergelangan tangannya? Sulit menjelaskan.
Calvin adalah minoritas di sini. Bukan minoritas karena ras dan warna kulit, tetapi karena keyakinan. Sebagian besar anak di sekolah ini pengikut Kristus. Sedangkan dirinya, mencoba menjadi umatnya Nabi Muhammad.
"Calvin, kamu nggak ikut ke kapel?" tegur Silvi, bergegas menghampirinya.
"Nggak. Kamu kok masih di sini?" Calvin balik bertanya.
Sebagai jawaban, Silvi membuka tasnya. Memperlihatkan sebuah Alquran.
"Wow, jadi...kamu...?"
"Yups."
Sesaat keduanya berpandangan. Senyum merekah di wajah mereka. Calvin dan Silvi bertoast. Sejak saat itulah mereka bersahabat.
** Â Â Â
Lima menit berlalu sejak waktu Zuhur. Di sekolah ini tak ada masjid. Gelisah, ia berulang kali mengecek arlojinya.
Shalat tepat waktu adalah prioritas utama Calvin. Namun, bagaimana bisa shalat jika di sekolah swasta berbiaya mahal ini tak ada masjidnya? Ia mesti shalat dimana?