Sekali-dua kali terlintas di pikirannya untuk pindah sekolah. Tapi ia tidak mau mengecewakan Mama-Papanya. Mereka ingin Calvin bersekolah di sini karena kualitas dan sistem pendidikannya sangat bagus. Calvin anak yang penurut. Ia bukanlah Adica yang bandel, atau Syifa yang segala keinginan dan pilihannya dibebaskan.
Berjalan dan terus berjalan, ia menemukan sebuah ruangan luas di dekat kapel. Nampaknya ruangan itu bekas ruang kelas. Setidaknya ini tempat yang nyaman.
Calvin shalat dengan khusyuk. Hatinya berangsur tenang. Akhirnya ia bisa shalat di tempat yang cukup nyaman. Pikiran dan jiwanya terfokus dalam komunikasi transendental pada Illahi. Beribadah di tempat yang dihuni orang-orang yang berbeda keyakinan, ternyata sama indahnya.
Tanpa disadari, beberapa pasang mata berkilat marah dari balik pintu. Mereka tak lain teman-teman Calvin. Sengaja mengikuti pemuda tampan itu diam-diam. Penasaran apa yang ingin dilakukannya.
Celah pintu yang sedikit terbuka memudahkan mereka mengintip ke dalam. Dapat mereka lihat dengan jelas ketika Calvin shalat dan memfokuskan pikiran sepenuhnya pada ibadahnya. Mereka kaget saat melihat pemuda oriental itu takbiratul ihram, ruku', dan sujud.
Selesai shalat, Calvin dikejutkan oleh bantingan pintu dan kehadiran teman-temannya. Mereka menatapnya penuh amarah.
"Oh, jadi ini ya, Calvin Wan yang sebenarnya? Kenapa nggak bilang dari awal?"
"Pantas saja kamu nggak pernah mau diajak berdoa ke kapel."
"Pantas kamu ngakunya sakit waktu minggu kemarin kami ajak makan di restoran non-halal."
"Pembohong! Buat apa ganteng, pintar, royal, tapi pembohong? Wuuuuuu!"
Langsung saja mereka menghakiminya. Menyalahkannya, membullynya. Calvin tersudut. Tak bisa berbuat apa-apa.