Alhasil, Calvin menurut. Demi menyenangkan hati orang yang berulang tahun.
Orang yang tak mengenal mereka mungkin menganggap Calvin dan Calisa sepasang kekasih. Nyatanya, mereka hanyalah sahabat sejak kecil yang terjebak brother zone. Meski demikian, mereka sangat menikmatinya. Calvin, pria charming dan cerdas yang menikmati kesepian itu. Calisa yang cantik dengan kebaikan hati dan sifat penyayangnya.
"Calisa, apa yang kamu inginkan? Bukankah kamu sudah refleksi diri?" Tetiba saja Calvin menanyai Calisa.
"Aku ingin menjadi psikolog dan terapis wicara, membuat rumah singgah untuk anak penderita kanker, dan selalu ada untuk orang-orang yang kucintai." sahut Calisa yakin.
"Good. Aku percaya kamu pasti bisa melakukannya." puji Calvin tulus.
"Thanks, Calvin."
Manik mata Calvin menangkap sisa coklat di sudut bibir Calisa. Diulurkannya tangan kanannya. Lembut diusapnya bibir Calisa.
Calisa menahan napas. Sentuhan Calvin begitu lembut. Sesaat ia menikmatinya. Sebuah gerakan kecil namun berarti. Dapat dipastikan hati Calisa dirayapi desir hangat. Selama ini, Calisa jarang sekali bisa begitu dekat dengan orang lain. Bahkan pada keluarganya sendiri keluarganya ia tak terlalu dekat. Justru dengan Calvin ia mau mendekat dan membuka diri.
Rasanya kebahagiaan mereka takkan pernah berakhir. Benarkah begitu?
Setetes darah terjatuh tepat ke dalam gelas cappucino. Dua, tiga, empat tetesan darah segar lagi terjatuh dari hidung Calvin. Begitu cepat situasi berubah. Semula segalanya baik-baik saja, kini keadaan berbalik.
"Calvin, kamu kenapa? Sebaiknya kita kembali ke rumah sakit..." ucap Calisa cemas.