"Kamu pasti sembuh...kalau pun kamu meninggal, aku akan tetap mencintaimu. Kamulah satu-satunya pemilik hatiku, Calvin Wan."
Calvin dan Calisa berpelukan. Waktu serasa berhenti. Beginikah rasanya mencintai tanpa memiliki? Calvin dan Calisa saling mencintai, namun tak mungkin mereka bersatu. Hati Calisa menyerukan penolakan. Ia tak bisa menerima kenyataan yang terjadi.
"Aku tidak tega menikahimu dan meninggalkanmu tak lama setelahnya, Calisa. Mengertilah...itu akan jauh lebih sakit." kata Calvin lembut, menyibakkan anak rambut yang membingkai wajah cantik Calisa.
"Sekarang pun sudah menyakitkan."
Malam turun perlahan. Di luar sana, rintik gerimis berubah menjadi hujan. Hujan, sesuatu yang disukai Calvin dan Calisa.
"I love you, Calvin. Sebelum kita saling kenal, aku sudah memperhatikanmu. Firasatku mengatakan, aku akan punya kesempatan untuk bicara dengan hatiku dan mengenalmu. Aku sudah lama tahu itu..." Calisa berkata penuh kesungguhan.
Perlahan-lahan Calvin melepas pelukannya. Meletakkan tangan di atas tuts piano. Saat akan memainkan instrumen musik itu, mendadak kedua tangannya tak bisa digerakkan. Lumpuh yang berujung pada rasa sakit. Serangan kanker datang pada saat tidak tepat.
Wajah Calvin semakin pias. Sekali, dua kali, hingga keempat kalinya mencoba, tetap saja ia tak bisa menggerakkan tangan. Calisa menyadari apa yang terjadi. Dengan wajah berurai air mata, Calisa memegang tangan Calvin.
"Kamu pasti kesakitan..." desisnya. Satu tetes air mata menjatuhi tangan kanan Calvin.
"Biarkan aku menjadi tanganmu."
Sejurus kemudian Calisa memainkan piano. Mendengar intronya, Calvin terpaku. Mengapa Calisa harus membawakan lagu itu?