"Tidak apa-apa, Calisa. Kita ke villa, jangan ke rumah sakit." Calvin menenangkan Calisa.
"Tapi..."
Dengan lembut, Calvin meraih tangan Calisa. Menggenggamnya hangat. Mengisyaratkan jika wanita cantik itu tak perlu khawatir. Calisa menundukkan wajah, sedih bercampur cemas.
Lagi-lagi Calvin menunjukkan kenekatannya. Ia memaksakan diri menyetir mobil. Calvin masih bisa berkonsentrasi mengemudi meski kondisinya tidak sehat.
Sepanjang perjalanan, sikap Calvin sedikit aneh. Ia mengingat salah seorang sahabbatnya yang telah meninggal. Kehilangan yang sangat menyakitkan. Mata batin Calisa dapat merasakan adanya luka-luka yang belum sembuh dalam diri Calvin. Sejauh ini, Calvin berkeras menghadapinya sendiri. Beberapa kali Calisa membujuk Calvin untuk berbagi lukanya. Setidaknya, Calisa bisa sedikit membantu.
Calisa percaya, Calvin kuat dan tegar menghadapinya. Namun kekuatan pun berbatas. Sampai kapankah Calvin mampu mengatasinya sendiri?
** Â Â Â
Villa itu tak begitu besar. Nuansa broken white mendominasi. Di ruang tamu, berdiri anggun sebuah grand piano. Bersama piano itulah Calvin kerap kali menghabiskan waktunya. Melarutkan kenangan dan luka dalam alunan musik.
Kini ia tak sendiri. Calisa di sampingnya. Jarak mereka sangat dekat. Tak ada yang menghalangi.
"Calvin, kamu istirahat ya? Aku takut kamu kenapa-napa." Calisa memohon. Bibirnya gemetar, ia sedih dan putus asa melihat pria yang dicintainya serapuh ini.
"Sebentar lagi, Calisa. Aku masih ingin melewatkan waktu bersamamu. Bisa saja kita tak bisa pergi berdua lagi setelah kamu menikah."