Ucapan lembut Calvin sukses merobek hati Calisa. Ya, sebentar lagi ia akan menikah. Menikah dengan pria yang tidak dicintainya.
"Oh Calvin, please...jangan sebut-sebut pernikahan. Aku...aku tak mencintai Gabriel."
"Kamu harus mencintainya. Anggap dia sebagai suami, kekasih, dan sahabat sejati. Bukankah selama ini kamu tak punya sahabat selain aku?"
Calisa menghela napas berat. "Hanya kamu sahabat sejatiku, Calvin. Aku pun menginginkan dirimu menjadi kekasih sejatiku."
"Tidak bisa, Calisa. Kamu tahu kondisiku, kan?"
Bertahun-tahun terjebak dalam brother zone membangkitkan rasa cinta. Ironisnya, mereka tak mungkin bersama. Sewaktu Calvin akan melamar Calisa, ia divonis mengidap Osteosarkoma. Penyakit itu menghalanginya untuk bersatu dengan cinta sejati. Praktis ia dan Calisa kembali memerangkap diri dalam zona kakak-adik.
"Aku ingin membatalkan semuanya, Calvin. Kalau kamu mau, sekarang juga akan kubatalkan rencana pernikahanku dengan Gabriel. Nikahilah aku, my lovely brother. Seperti rencana kita dulu." Calisa berujar perlahan.
Satu tangan Calvin mengangkat lembut dagu Calisa. Meminta tanpa kata supaya wanita itu memandangnya. Dua pasang mata bertemu. Sepasang mata bening milik Calisa dan sepasang mata teduh milik Calvin.
"Kanker stadium empat..." lirih Calvin, menempelkan keningnya di kening Calisa. Tak sesenti pun jarak di antara mereka. Keduanya dekat, amat dekat.
"Aku sudah tidak punya harapan lagi untuk sembuh. Mana mungkin aku menikahimu, Calisa?"
Buliran hangat membasahi kening Calisa. Entah air matanya sendiri atau air mata Calvin.