Dalam keadaan kacau, Reinhart pulang ke rumah. Ia mengayuh sepedanya pelan-pelan. Kakinya masih terasa sakit setelah terjatuh. Hujan mengguyur semakin deras. Petir menyambar berulang kali. Langit bertambah gelap, suasana sore itu berubah menakutkan.
Perjalanan yang ditempuhnya cukup jauh. Reinhart tipe anak yang nekat. Tantangan apa pun berani dihadapinya. Hujan petir bukanlah sesuatu yang ditakutinya.
Reinhart meletakkan sepedanya begitu saja di halaman depan. Berlari masuk ke dalam rumah dengan pakaian basah dan tubuh kedinginan. Tuan Calvin, Wahyu, Clara, dan Nyonya Lola menyambutnya dengan wajah cemas.
"Rein, sini Nak." panggil Wahyu.
Betapa herannya mereka. Bukannya menghampiri Wahyu, Reinhart justru mendekat ke arah Tuan Calvin. Ia terlihat begitu kedinginan dan kelelahan. Tuan Calvin memeluknya. Mengusap-usap kepalanya dengan Reinhart. Biar bagaimana pun, Reinhart tetaplah anak kecil. Butuh bersandar di saat rapuh, dan ia bisa memilih siapa yang layak dipercaya.
"Kenapa hujan-hujanan, Sayang? Hm?" bisik Tuan Calvin.
Tak menunggu jawaban, Tuan Calvin menggendong Reinhart. Memandikan anak itu. Memakaikannya baju hangat. Membuatkan susu coklat untuknya. Reinhart dekat sekali dengan Tuan Calvin. Ia nyaman bersama pria itu.
"Rein ada masalah? Coba cerita..." bujuk Tuan Calvin halus.
Reinhart masih saja diam. Menghabiskan susu coklatnya, perlahan ia menjawab.
"Teman Rein curang. Main basketnya kasar. Rein sampai jatuh."
Itu sebuah pengaduan. Ya, Reinhart mengadu dan berkeluh kesah pada Tuan Calvin. Seperti kebanyakan anak lain mengadu pada orang tuanya setelah kalah bermain.