Kalimat itu terucap dengan nada lembut. Tulus dan meyakinkan. Nyonya Calisa terhenyak.
"Kamu tak perlu merasakannya sendirian,"
Wajah putih nan cantik itu dihiasi kesedihan dan rasa bersalah. Air mata menetes ke pipinya. Nyonya Calisa bergumam lirih.
"Aku telah melanggar janjiku pada Calvin."
"Tidak, Calisa. Kamu berhak mengungkapkan kesedihanmu. Kamu juga berhak memperoleh ketenangan dan penghiburan."
"Wahyu, aku tidak konsisten. Aku tidak seperti Calvin yang konsisten, sabar, dan setia. Andai saja aku bisa lebih tegar. Kamu tahu? Aku sulit mempercayai orang lain, sulit berbagi cerita pada orang lain. Dan aku sudah tidak percaya lagi padamu. Kau membuatku jijik dengan seks dan poligami itu. Dua hal yang paling kubenci dan kutakuti."
Wahyu lebih dari sekedar tahu. Ia memahami karakter Nyonya Calisa. Meski Tuan Calvin jauh lebih lama mengenal Nyonya Calisa dibandingkan dirinya.
Tetiba Tuan Calvin terbangun. Mungkin saja ia kesakitan. Cepat-cepat Wahyu mengakhiri video call. Ia tak ingin terjadi salah paham.
"Calvin, are you ok?" tanyanya, mendekat ke tepi ranjang.
"Aku ingin shalat Tahajud." pinta Tuan Calvin.
Benar saja. Sudah pukul tiga pagi. Waktunya shalat Tahajud. Waktu terbaik untuk berdoa dan membangun kedekatan dengan Illahi.