Nada kecemasan tertangkap kuat dalam suaranya. Raut wajahnya menampakkan kecemasan pula. Wahyu memahami perasaan Nyonya Calisa.
"Bagaimana kondisi Calvin?" tanya Nyonya Calisa pelan.
"Sudah membaik. Sekarang dia tidur. Di bawah pengaruh obat." jawab Wahyu. Menggerakkan ponselnya, mengatur agar Nyonya Calisa dapat melihat ranjang tempat Tuan Calvin tertidur.
"Syukurlah. Dia pasti tertekan gegara hasil pemeriksaan yang terakhir." desah Nyonya Calisa.
"Aku akan menguatkannya. Tenang saja." janji Wahyu menenteramkan.
Sesaat hening. Nyonya Calisa mengusap mata dengan ujung hijabnya. Ia menyesal. Hanya bisa melihat Tuan Calvin dari kejauhan. Jarak ratusan kilometer memisahkan mereka.
"Seharusnya aku di sana...mendampinginya." Wanita itu terisak tertahan.
"Aku yang akan mendampinginya selama kamu di sana. Tenanglah, Calisa. Jalani umrah dengan khusyuk. Kalau kamu sedih terus, bagaimana mau beribadah?"
"Aku sudah janji pada diriku sendiri untuk tidak meninggalkannya selama dia sakit. Tapi sekarang aku meninggalkannya."
Entah mengapa, Wahyu merasa Nyonya Calisa menyalahkan dirinya sendiri. Menyesali kepergiannya ke tanah suci. Jeda sejenak saat ia mengambil nafas, lalu berkata.
"Bukan salahmu, Calisa. Kamu sudah melakukan hal yang benar. Tujuanmu umrah untuk mendoakan Calvin, kan? Itu sudah benar."