"Beri aku waktu untuk memikirkannya, Syarif." kata Tuan Calvin memohon.
Syarif mengangguk. Beranjak bangkit dari sofa. Balik kanan, lalu melangkah keluar dari pintu utama. Tuan Calvin menyandarkan tubuhnya ke sofa. Letih dengan masalah ini. Ia pikir masalahnya akan segera selesai. Ternyata jauh lebih rumit.
Tak tega melihat keputusasaan suaminya, Nyonya Calisa mendekat. Memeluknya erat. Membisikkan permintaan maaf.
"Tak ada yang perlu dimaafkan, Calisa." ujar Tuan Calvin seraya membelai lembut rambut panjang istrinya.
"Semua salahku. Coba saja aku tidak membawa Syarif ke rumah sakit. Coba saja aku tidak memintanya tes kecocokan hati. I'm so sorry, Calvin." sesal Nyonya Calisa.
"Ini bukan salahmu, Calisa. Aku tahu maksudmu baik. Aku hanya perlu memikirkannya. Tenang ya?"
Bisa saja Tuan Calvin menenangkan istrinya. Tapi gejolak perasaannya sulit diredakan. Berat, ia menghadapi dua pilihan tersulit.
** Â Â Â Â
Di sepertiga malam, Tuan Calvin mengadukan kegundahan hatinya. Wajah tampannya ditundukkan dalam posisi sujud. Ia sungguh-sungguh mengharapkan jalan keluar atas dilema yang sangat berat.
Sepuluh rakaat shalat Tahajud ditambah tiga rakaat witir membawanya dalam pengharapan. Harapan akan petunjuk dari Allah. Manakah yang harus ia pilih? Menerima donor hati Syarif dan mengembalikan Clara ke tangannya, atau tetap mempertahankan Clara dan menghadapi risiko datangnya kematian lebih cepat?
Lama Tuan Calvin berdoa dan merenungkan pilihannya. Pilihan pertama jelas akan membuatnya terbebas dari sel kanker. Risikonya, ia kehilangan Clara. Gadis kecil permata hatinya. Putri satu-satunya. Anak perempuan yang ia besarkan dan ia rawat dengan ketulusan cinta. Memiliki Clara adalah anugerah terindah dalam hidupnya. Vonis mandul yang menimpanya sempurna terobati dengan kehadiran Clara. Harapan Tuan Calvin untuk mempunyai seorang putri terwujud sudah. Bila ia mengembalikan Clara ke tangan Syarif, hancurlah harapannya.