Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cemburu Dalam Dua Cinta Satu Hati

15 Agustus 2017   06:03 Diperbarui: 15 Agustus 2017   23:35 1334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Syarat itu memerangkapnya dalam dilema tak berujung. Bisa-bisanya Syarif memberikan syarat seperti itu. Tuan Calvin sempurna tak berdaya.

Sementara Syarif merasa di atas angin. Takdir telah berpihak padanya. Secepat itu situasi berbalik. Diakuinya, Allah tak pernah tidur. Allah selalu mendengarkan doa-doanya.

Nyonya Calisa tertunduk. Sedih dan sesal membebani pikiran. Dialah yang memulai. Andai saja ia tak segegabah itu. Sayangnya, waktu tidak dapat diputar kembali.

"Syarif..." Tuan Calvin berkata perlahan.

"Clara anakku."

"Secara hukum, dia anakmu. Tapi kenyataannya, dia anak kandungku." potong Syarif. Wajahnya beku tanpa ekspresi.

Tuan Calvin kehilangan kata. Tak sanggup lagi mendebat Syarif. Clara adalah anak yuridisnya. Namun bukanlah anak biologisnya. Fakta itu tak terbantahkan.

"Syarif, kamu boleh minta apa pun. Asalkan bukan meminta Clara kembali." Nyonya Calisa mencoba memberi pengertian.

Syarif menggelengkan kepalanya. "Permintaanku tetap satu: kembalikan Clara. Ambil atau tinggalkan."

Hukum karma pasti berlaku. Mengapa situasi menjadi sesulit ini?

Dulu, Tuan Calvin sering menyudutkan Syarif. Menjatuhkan mentalnya. Membuatnya tak berkutik. Kini Syarif berhasil membalas penderitaan batinnya. Bahkan ingin merebut harta milik Tuan Calvin yang paling berharga.

"Beri aku waktu untuk memikirkannya, Syarif." kata Tuan Calvin memohon.

Syarif mengangguk. Beranjak bangkit dari sofa. Balik kanan, lalu melangkah keluar dari pintu utama. Tuan Calvin menyandarkan tubuhnya ke sofa. Letih dengan masalah ini. Ia pikir masalahnya akan segera selesai. Ternyata jauh lebih rumit.

Tak tega melihat keputusasaan suaminya, Nyonya Calisa mendekat. Memeluknya erat. Membisikkan permintaan maaf.

"Tak ada yang perlu dimaafkan, Calisa." ujar Tuan Calvin seraya membelai lembut rambut panjang istrinya.

"Semua salahku. Coba saja aku tidak membawa Syarif ke rumah sakit. Coba saja aku tidak memintanya tes kecocokan hati. I'm so sorry, Calvin." sesal Nyonya Calisa.

"Ini bukan salahmu, Calisa. Aku tahu maksudmu baik. Aku hanya perlu memikirkannya. Tenang ya?"

Bisa saja Tuan Calvin menenangkan istrinya. Tapi gejolak perasaannya sulit diredakan. Berat, ia menghadapi dua pilihan tersulit.

**       

Di sepertiga malam, Tuan Calvin mengadukan kegundahan hatinya. Wajah tampannya ditundukkan dalam posisi sujud. Ia sungguh-sungguh mengharapkan jalan keluar atas dilema yang sangat berat.

Sepuluh rakaat shalat Tahajud ditambah tiga rakaat witir membawanya dalam pengharapan. Harapan akan petunjuk dari Allah. Manakah yang harus ia pilih? Menerima donor hati Syarif dan mengembalikan Clara ke tangannya, atau tetap mempertahankan Clara dan menghadapi risiko datangnya kematian lebih cepat?

Lama Tuan Calvin berdoa dan merenungkan pilihannya. Pilihan pertama jelas akan membuatnya terbebas dari sel kanker. Risikonya, ia kehilangan Clara. Gadis kecil permata hatinya. Putri satu-satunya. Anak perempuan yang ia besarkan dan ia rawat dengan ketulusan cinta. Memiliki Clara adalah anugerah terindah dalam hidupnya. Vonis mandul yang menimpanya sempurna terobati dengan kehadiran Clara. Harapan Tuan Calvin untuk mempunyai seorang putri terwujud sudah. Bila ia mengembalikan Clara ke tangan Syarif, hancurlah harapannya.

Pilihan kedua, risikonya tak kalah besar. Ia kehilangan kans untuk sembuh. Ia menolak peluang kesembuhan. Sangat sulit mencari donor hati. Tuan Calvin bisa saja melewatkan sisa hidupnya dengan bahagia bersama Clara. Tapi sampai kapan? Tanpa donor hati, harapan hidupnya sangat kecil. Kanker tak bisa menunggu.

Setelah dipikir-pikir kembali, tak ada artinya lagi ia hidup tanpa Clara. Bila pun ia sembuh berkat donor hati dari Syarif, sisa hidupnya akan terlewati dalam kehampaan dan kesia-siaan. Buat apa umur panjang tapi dilewati dalam kehampaan? Lebih baik umur pendek namun terlewati dengan bahagia dan penuh cinta. Bukan kuantitas, tapi kualitas yang penting dalam masa hidup.

Tuan Calvin lebih menyukai pilihan kedua. Sekali lagi, ia memikirkan risikonya. Berdiskusi dengan diri sendiri. Pilihan kedua mempersingkat hidupnya. Sedangkan Clara masih kecil. Masih membutuhkan bimbingan dan kasih sayangnya. Tuan Calvin tetap memikirkan masa depan Clara. Apa jadinya bila Clara hidup tanpa ayah?

Nyonya Calisa memang dapat dipercaya. Ia yakin seratus persen, Nyonya Calisa akan menjadi orang tua yang baik untuk Clara. Tapi tetap saja Clara akan tumbuh dewasa dengan kasih sayang yang berbeda. Berbeda dengan anak-anak yang mempunyai orang tua lengkap.

Pergulatan batinnya makin memuncak. Usai shalat, Tuan Calvin pergi ke kamar Clara. Mendapati putri cantiknya itu terlelap. Selimut menutup rapat sampai ke lehernya. Satu tangan Clara memeluk Aurora, boneka berkombinasi pink dan white kesayangannya. Nama Aurora pemberian dari Tuan Calvin. Clara sangat menyukai boneka itu. Tiap kali ia kesepian atau rindu Tuan Calvin, Clara akan memeluk boneka Aurora.

Dengan lembut, Tuan Calvin membenahi selimut putrinya. Mendekap tubuh mungil Clara. Menciumi keningnya berkali-kali. Menatap lekat-lekat wajah Clara. Seraut wajah innocent. Dalam keadaan tidur, Clara terlihat polos dan tenang. Seperti malaikat kecil. Ya, Clara adalah malaikat kecilnya. Sanggupkah ia kehilangan malaikat kecil itu?

Tuan Calvin terlarut dalam kesedihan. Baru tujuh bulan ini ia merasakan kasih sayang dan waktunya begitu sempurna untuk Clara. Ia rela mengubah jalan hidup demi gadis kecilnya. Ia tinggalkan jabatan tingginya di perusahaan demi cinta pada Clara. Ironis, ada ancaman yang membuatnya harus terpisah dengan permata hatinya ini.

Pelukan dan ciuman hangat Tuan Calvin sukses membangunkan Clara. Ia merasakan Ayahnya begitu dekat. Wangi Hugo Boss yang sangat khas membelai indera penciumannya. Clara merasa nyaman dalam pelukan Tuan Calvin. Ayahnya selalu wangi. Dekapannya hangat menenangkan. Clara suka itu.

Kedua bola mata Clara boleh saja kehilangan sebagian besar fungsinya. Tapi mata hatinya dapat bekerja normal. Bahkan lebih tajam. Clara bisa merasakan pria oriental yang tengah merengkuhnya ini sangat sedih dan putus asa. Entah karena apa. Satu hal yang pasti: Clara ikut merasakan kesedihan itu.

**      

Sore berhujan yang dingin dan sendu. Coffee latte, vanilla latte, Earl Grey, dan black tea menjadi minuman yang paling banyak digemari di sini. Lama-kelamaan, Nyonya Calisa mulai hafal selera pengunjung cafenya.

"Hmm...kayaknya enak ya." Nyonya Calisa melirik cangkir berisi coffee latte yang baru jadi.

"Kamu pandai membuatnya."

Dipuji atasannya, si barista tersenyum. Nyonya Calisa memegang tepi cangkir kopi, bersiap membawanya.

"Boleh saya saja yang antar? Ke meja berapa?" tawarnya halus.

"Meja 18, Nyonya."

Sehati-hati mungkin, Nyonya Calisa membawa cangkir itu. Ia melangkah anggun menuju meja 18. Di meja itu, duduk seorang pria berjas hitam. Si pria sibuk dengan laptopnya. Wajahnya tak kelihatan jelas.

"Permisi..." tukas Nyonya Calisa sopan. Meletakkan cangkir kopinya di meja.

Si pria otomatis mengangkat wajah. Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Nyonya Calisa menahan napas. Pria itu tersenyum memandang Nyonya Calisa.

"Thanks Calisa," ujarnya, masih melempar senyuman.

"Wahyu?" desis Nyonya Calisa.

"Yups, this is me. Kenapa kaget? Tadi aku lewat depan cafe, trus lihat mobilnya Calvin. Aku yakin, kamu pasti ada di sini juga. Makanya aku mampir."

Jemari tangan Nyonya Calisa terasa dingin. Ia mengedarkan pandang ke sekitarnya. Amat khawatir Tuan Calvin melihatnya. Seakan bisa membaca pikirannya, Wahyu berkata.

"Tenang....Calvin lagi ketemu suplier. Dia nggak akan lihat kita."

"Wahyu, please jangan buat masalah. Kita tidak terikat hubungan apa pun lagi. Aku ingin fokus mendampingi Calvin. Kamu tahu, kan? Calvin sakit?" ucap Nyonya Calisa panik.

Kepanikan mantan kekasihnya ditanggapi Wahyu dengan tenang. "Aku sudah tahu semuanya. Duduklah, Young Lady. Aku ingin bicara."

Young Lady, mengapa harus panggilan yang telah lama tidak didengarnya itu? Perasaan Nyonya Calisa mulai tak menentu. Namun ia bertekad bertahan. Masa lalu tak boleh membunuh masa depan.

"Tidak mau." tolak Nyonya Calisa resah.

"Sebentar saja, Calisa.  Please..."

Nada memohon berikut tatapan meyakinkan membuat Nyonya Calisa luluh. Wanita cantik yang juga punya tanggal lahir cantik itu duduk. Menanti Wahyu bicara.

"Well...aku sudah berpisah dengan Marla." Wahyu memulai. Nyonya Calisa tetap diam. Menunggunya selesai bicara.

"Kamu lihat anak yang baru masuk ke kids club itu?"

"Ya, aku lihat. Anak laki-laki berbaju merah yang tampan. Kenapa?"

"Dia anakku. Namanya Reinhart. Hasil pernikahanku dengan Marla."

"I see."

Sesaat hening. Jeda saat Wahyu meneguk coffee latte. Nampak sangat menikmati kebersamaan dengan cinta pertamanya.

"Reinhart sangat dekat denganku. Mudah bagiku untuk memenangkan hak asuhnya di pengadilan. Marla tak bisa berbuat apa-apa." Senyum tipis bermain di bibirnya saat Wahyu mengatakan itu.

"Lalu?"

"Sejak saat itu, aku tinggal bersama Reinhart. Kufokuskan hidupku untuk membesarkan dan membahagiakannya. Aku tahu, Reinhart sangat terpukul dengan perceraian kami. Dia masih kecil. Dia hanya korban dari keegoisan orang tuanya. Tapi Reinhart anak yang hebat dan berbakat. Dia paling tampan dan paling tinggi di antara teman-temannya. Dua bulan lalu, dia terpilih sebagai coverboy di majalah anak-anak. Aku sangat bangga padanya."

"Aku ikut bangga." Nyonya Calisa menjawab tulus.

"Kuputuskan untuk memperbaiki hidupku. Banyak berbuat baik. Fokus dengan bisnis dan anakku. So, aku ingin menawarkan sesuatu padamu. Izinkan aku melakukan tes kecocokan hati. Jika hasilnya cocok, aku akan mendonorkan hati untuk Calvin. Aku takkan meminta apa-apa, Calisa. Niatku murni ingin membantu."

Mendengar itu, hati Nyonya Calisa tersentuh. Sungguh ia tak menyangka Wahyu berniat setulus itu. Wahyu bukanlah Syarif. Dia tidak mencari kesempatan dalam kesempitan. Tidak memperdaya Tuan Calvin. Tidak memanfaatkan kelemahan Tuan Calvin untuk kepentingannya sendiri.

"Wahyu...terima kasih." bisik Nyonya Calisa. Menatap dalam-dalam mata pria pelukis masa lalunya itu.

"Sama-sama, Young Lady." Wahyu tersenyum lembut. Tak sengaja, tangannya bersentuhan dengan tangan Nyonya Calisa.

"Calvin pasti senang kalau tahu ini."

Tapi, benarkah Tuan Calvin akan senang?

Nyatanya, tepat pada saat itu Tuan Calvin melihat semuanya. Tatapan penuh arti dari Nyonya Calisa dan sentuhan tangan Wahyu. Perasaannya tak menentu. Sedih, kecewa, dan cemburu. Ya, cemburu. Tuan Calvin cemburu pada Wahyu dan Nyonya Calisa.

Pikirannya mulai berkecamuk. Mungkinkah mereka sengaja membuat janji? Merencanakan pertemuan terselubung tanpa sepengetahuannya? Tuan Calvin berusaha menetralisir emosi negatif yang memenuhi pikirannya. Jangan sampai cemburu menjadi motivasi negatif. Ia harus kuat.

Akan tetapi, pemandangan itu sungguh tak tertahankan. Beginikah sikap Nyonya Calisa di belakangnya? Masih seringkah ia bertemu Wahyu? Mungkinkah Nyonya Calisa letih merawatnya, lalu berpaling kembali pada cinta pertama?

Berbagai tanda tanya menyesakkan batinnya. Tuan Calvin sedih dan terluka. Sepertinya, sudah ada dua cinta dalam satu hati.

**    

Mengobati kekacauan perasaannya, Tuan Calvin melangkah masuk ke kids club. Memperhatikan anak-anak yang asyik bermain di sana. Ia menyukai anak kecil. Melihat mereka bermain, bercanda, dan berbicara dengan penuh keceriaan membuat perasaannya jauh lebih baik.

Tiba-tiba seorang anak lelaki berpakaian merah dan berwajah tampan jatuh. Ia terluka. Tanpa ragu, Tuan Calvin bergegas mendekatinya. Membantunya berdiri.

"Hei Sayang...kamu nggak apa-apa? Mana yang sakit?" tanya Tuan Calvin, lembut dan penuh perhatian.

Anak lelaki itu menangis kesakitan. Memegangi kakinya yang terluka. Darah mengalir dari lukanya.

"Tenang ya? Ini hanya luka kecil. Sini, Sayang..." bujuk Tuan Calvin. Menggendong anak itu. Membawanya ke ruang kerjanya di lantai atas.

Anak kecil itu ia dudukkan di sofa. Ia obati luka di kaki anak itu. Sekali-dua kali terdengar tangis kesakitan. Tapi Tuan Calvin dapat menenangkannya dengan sabar.

"Nah...selesai." Tuan Calvin membalut luka itu.

"Terima kasih..." ujar si anak laki-laki berwajah tampan. Ekspresi kesakitan di wajahnya berangsur hilang.

"Sama-sama. Nama kamu siapa?"

"Reinhart."

"Wow...nama yang bagus, Sayang. Reinhart itu artinya Ksatria yang Berani."

"Iya, Papi juga pernah bilang gitu. Kalo Om Ganteng ini namanya siapa?"

Ini adalah sebuah pujian. Tuan Calvin tertawa mendengarnya. Penilaian anak-anak sangatlah jujur.

"Calvin."

Beberapa saat lamanya mereka saling bicara. Tuan Calvin dan Reinhart cepat akrab. Bahkan Reinhart merasa nyaman bersama Tuan Calvin.

Kehangatan, perhatian, dan kesabaran Tuan Calvin membuat Reinhart nyaman. Ia merasa aman dan terlindungi. Nuraninya yang polos mengatakan bahwa sosok pria dewasa di dekatnya ini berhati tulus dan penyayang.

Masih tersimpan beberapa mainan anak-anak di ruang kerja Tuan Calvin. Diajaknya Reinhart bermain bersama. Benar-benar tipikal hot daddy. Wanita mana pun akan dibuat meleleh dengan tingkahnya. Setiap anak pasti senang punya tipe ayah sebaik itu.

Mungkin karena kelelahan, Reinhart tertidur. Tuan Calvin membaringkannya di sofa. Memperlakukannya seperti anak sendiri.

Sepi kembali menyelimuti ruangan itu. Tuan Calvin membereskan sejumlah mainan dan mengembalikannya ke tempat semula. Kesepian ini kembali mengingatkannya pada momen yang dilihatnya tadi.

Baby piano di sudut ruangan belum tersentuh. Refleks pria rupawan itu menarik kursi. Duduk di depannya, lalu mulai memainkan piano. Melampiaskan perih hatinya.

Akhirnya kusadari

Bila diri ini telah masuk dalam permainanmu

Kini kusadari

Bukan hanya diriku

Yang telah menjadi sandaran hatimu

Dua cinta dalam satu hati

Tak bisa aku terima dua cinta dalam satu hati

Tak pernah kausadari

Bila dirimu

Telah menghancurkan perasaanku

Bagaimana tidak

Kekasih yang kusayangi

Kulihat bermanja dipeluk yang lain

Dua cinta dalam satu hati

Tak bisa aku terima

Dua cinta dalam satu hati

Tiada lagi maaf dariku

Kini ku kan pergi tinggalkanmu

Dua cinta dalam satu hati

Tak bisa aku terima

Dua cinta dalam satu hati (Calvin Jeremy-Dua Cinta Dalam Satu Hati).

Tepat ketika ia selesai membawakan lagu itu, pintu ruangan diketuk. Tertangkap ketergesaan dalam ketukan itu. Reinhart gelisah dalam tidurnya. Cepat-cepat Tuan Calvin menggendong Reinhart sambil menenangkannya. Lalu beranjak membukakan pintu. Di ambang pintu, berdirilah Wahyu dan Nyonya Calisa.

"Calvin, gawat. Anaknya Wahyu tidak ada di kids club. Oh Calvin...siapa anak itu?" Nyonya Calisa tak dapat menahan kepanikan dalam suaranya.

"Nah, itu anakku! Trims Calvin!" Wahyu berseru senang, bersyukur karena anaknya baik-baik saja.

Sungguh, dunia itu sempit. Tuan Calvin tak menyangka. Anak kecil yang menyentuh hatinya dengan rasa empati itu ternyata anak dari pria yang menjadi masa lalu istrinya.

**      

Cemburu, jangan dijadikan sebagai motivasi negatif.

Salam,

Hanya sekedar berbagi

Calvin Wan berbagi

Tuan Calvin mengakhiri artikelnya. Memberi label, lalu mempostingnya. Ia pun tengah berusaha menetralisir rasa cemburu di sudut hati.

Nyonya Calisa tertegun membaca tulisan Tuan Calvin. Sekelebat tanya melintas di hatinya. Mengapa Tuan Calvin menulis seperti ini? Ada pertanyaan, ada ketidaksetujuan. Seperti biasa, Nyonya Calisa lebih memilih diam. Tak ingin mengungkapkan apa yang ada di hatinya. Nyonya Calisa menghadapi ketidaksetujuannya dengan diam dan anggun. Atau cukup mengiyakannya saja. Sebab ia tak ingin merusak semuanya hanya karena perbedaan kecil. Lebih baik hatinya sakit dibanding harus mengungkapkannya dan berpotensi memicu hal-hal yang tidak diinginkan. Nampaknya, memendam perasaan adalah langkah terbaik bagi wanita blasteran itu.

Satu jam berikutnya, Nyonya Calisa menerima e-mail. Ternyata pertanyaan dan tawaran yang sama dari cinta pertamanya.

"Bagaimana, Young Lady? Sudah kamu bicarakan dengan Calvin?"

Tanpa membalas e-mail itu, Nyonya Calisa menutup laptopnya. Ia harus segera membicarakannya dengan Tuan Calvin.

Ragu-ragu ia menghampiri Tuan Calvin di balkon. Tempat favorit mereka. Di sinilah mereka sering bicara dari hati ke hati. Sebelum Nyonya Calisa angkat bicara, Tuan Calvin lebih dulu bertanya.

"Dia masih memanggilmu Young Lady. Apa yang diinginkan Wahyu darimu?"

Apakah ini kamuflase atau tidak. Nyonya Calisa dapat melihat luka dalam tatapan mata Tuan Calvin. Sungguh, Nyonya Calisa tak tega. Melihat Tuan Calvin sakit dan terluka saja, ia tak bisa.

**      

https://www.youtube.com/watch?v=jspPwzkFA-s

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun