Hanya sekedar berbagi
Calvin Wan berbagi
Tuan Calvin mengakhiri artikelnya. Memberi label, lalu mempostingnya. Ia pun tengah berusaha menetralisir rasa cemburu di sudut hati.
Nyonya Calisa tertegun membaca tulisan Tuan Calvin. Sekelebat tanya melintas di hatinya. Mengapa Tuan Calvin menulis seperti ini? Ada pertanyaan, ada ketidaksetujuan. Seperti biasa, Nyonya Calisa lebih memilih diam. Tak ingin mengungkapkan apa yang ada di hatinya. Nyonya Calisa menghadapi ketidaksetujuannya dengan diam dan anggun. Atau cukup mengiyakannya saja. Sebab ia tak ingin merusak semuanya hanya karena perbedaan kecil. Lebih baik hatinya sakit dibanding harus mengungkapkannya dan berpotensi memicu hal-hal yang tidak diinginkan. Nampaknya, memendam perasaan adalah langkah terbaik bagi wanita blasteran itu.
Satu jam berikutnya, Nyonya Calisa menerima e-mail. Ternyata pertanyaan dan tawaran yang sama dari cinta pertamanya.
"Bagaimana, Young Lady? Sudah kamu bicarakan dengan Calvin?"
Tanpa membalas e-mail itu, Nyonya Calisa menutup laptopnya. Ia harus segera membicarakannya dengan Tuan Calvin.
Ragu-ragu ia menghampiri Tuan Calvin di balkon. Tempat favorit mereka. Di sinilah mereka sering bicara dari hati ke hati. Sebelum Nyonya Calisa angkat bicara, Tuan Calvin lebih dulu bertanya.
"Dia masih memanggilmu Young Lady. Apa yang diinginkan Wahyu darimu?"
Apakah ini kamuflase atau tidak. Nyonya Calisa dapat melihat luka dalam tatapan mata Tuan Calvin. Sungguh, Nyonya Calisa tak tega. Melihat Tuan Calvin sakit dan terluka saja, ia tak bisa.
** Â Â Â