Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Chika, Aku Tidak Bisa Melihat Wanita Menangis

23 Februari 2017   06:09 Diperbarui: 24 Februari 2017   00:00 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terkenang oleh seseorang yang sangat baik.

**    

You're my twin

We stick together through thick and thin

No matter what I do

I'm always stuck with you

And if trouble comes our way

I know my twin will save the day

Wherever you may be

You're always stuck with me

When you're feeling sad and blue

Call my name, and I'll find you

We have a bond that's tried and true

You and me

Me and you

Two by two (Amber and James-Two by Two ost Sofia The First).

**    

“Pak, ini dokumen-dokumennya. Silakan ditandatangani.”

Sekretaris berpenampilan modis dengan polesan make up minimalis di wajahnya mendekat. Meletakkan setumpuk dokumen di atas meja. Pria tampan berjas dan berdasi hitam itu tersenyum. Berterima kasih pada sekretarisnya. Mulai mempelajari berkas satu per satu.

Jujur, terkadang ia jemu dengan urusan pekerjaan di kantor. Sudah lama ia tidak traveling. Traveling keliling Indonesia, itulah salah satu hobinya. Hobi yang sejalan dengan side job-nya sebagai fotografer.

Telepon di meja kerjanya berdering. Diangkatnya telepon itu.

“Albert, gawat. Ada yang menyusup masuk ke galeri fotomu. Dia mencuri beberapa foto penting,” Suara Erwin di seberang sana terdengar panik.

Bukannya panik, ia justru tetap tenang. “Kamu sudah lihat CCTV?”

“Sudah. Pelakunya...salah satu pengunjung galeri. Orangnya sangat mirip denganmu. Hanya saja, dia memakai kacamata.”

Albert mengerutkan dahinya. Lalu ia teringat sesuatu.

“Okey. Nanti aku ke sana.”

Klik. Telepon ditutup. Albert perlahan mulai merangkai beberapa kemungkinan, mengurai benang kusut itu. Mungkinkah pencurinya adalah...?

Setelah membereskan semua pekerjaannya, ia bergegas meninggalkan kantor. Mengemudikan Mercy-nya dengan kecepatan tinggi. Menyusuri ruas-ruas jalan raya yang dipadati kendaraan. Melewati tol dalam kota. Sampai akhirnya tiba di sebuah rumah kecil beratap bugenvil dengan cat krem. Halamannya tidak begitu luas, namun rapi. Pot-pot mungil berisi bunga aster, mawar, dan Kamboja Jepang berderet rapi.

Dengan sopan, Albert membunyikan bel. Tak lama pintu terbuka. Menampilkan sesosok pria tinggi semampai berwajah Indo di ambangnya. Ia mirip sekali dengan Albert. Wajah, bentuk tubuh, dan tinggi mereka sama. Bedanya, pria di ambang pintu itu berkacamata. Pakaiannya pun jauh lebih sederhana dibanding Albert.

“Mau apa kamu ke sini?” tanya pria itu datar.

“Saya hanya ingin memberikan ini...”

Sebuah kotak hitam berukuran sedang diulurkan. Ragu-ragu pria berkacamata itu menerimanya.

“Ini buat saya?” tanyanya.

“Iya. Coba kamu buka.”

Sepasang mata bening di balik kacamata minus persegi itu melebar tak percaya. Di dalam kotak itu, terdapat sebuah kamera. Kamera yang sangat diinginkannya.

“Saya tahu, kamu ingin jadi fotografer. Seperti saya. Well, kembar identik rupanya membawa sifat dan passion yang sama. Manfaatkan kamera itu, Albert Fast.”

Pria berkacamata itu tertegun. Menatap saudara kembarnya nanar. Beberapa jam lalu, ia berbuat jahat pada kembarannya. Namun kini, kejahatannya dibalas dengan kebaikan. Dibalas dengan pemberian yang sangat istimewa.

Tak banyak yang tahu jika fotografer dan CEO Bratawijaya Corp memiliki saudara kembar. Bahkan sepasang kembar identik itu mempunyai nama yang sama: Albert. Tepatnya Albert Fast dan Albert Arif. Hanya saja, keduanya terpisah dan memiliki nasib yang berbeda. Satu menjadi CEO dan hidup berlimpah kemewahan, satunya lagi hidup sangat sederhana. Bahkan bisa disebut kekurangan.

Hati pria berkacamata itu sedih sekaligus bahagia. Di saat frustasinya memuncak, di saat beban dan kesulitan hidup menghimpit kuat hingga ia terdorong mencuri foto-foto dari galeri kembarannya, justru kembarannya datang membawakan benda yang sangat diinginkannya. Beginikah rasanya punya saudara kembar? Saudara yang selalu menyayangi, memperhatikan, dan memahami kita apa adanya?

**    

Cintaku tak terukur dalamnya

Pengorbananku tak ada habisnya

Apa lagi yang harus kulakukan

Tuk yakinkan hanya kaulah satu-satunya

Karena hatiku mengatakan kamu

Yang paling mengerti di antara yang mengerti

Dan hidupku berharap padamu

Lewat lagu ini

Aku ungkapkan perasaanku (Iwan Fals ft Ryan D`Masiv-Satu-Satunya).

**    

Chika melirik jam di seberang ruangan. Pukul 17.00, waktunya pulang. Semua pekerjaannya sudah selesai. Barang-barang yang masuk telah didata. Begitu pula jumlah persediaan barang yang kurang.

Dilangkahkannya kaki meninggalkan supermarket. Setidaknya, hari ini ia tak perlu merasakan hardik kemarahan dari supervisornya. Ia bisa bekerja dengan tenang.

“Albert?”

Di pelataran supermarket, ia menjumpai pria berjas hitam itu. Albert tersenyum hangat. Ia datang tepat pada waktunya.

“Aku mau ajak kamu pulang bareng. Mau kan?” ajak Albert.

“Boleh,” jawab Chika salah tingkah.

Mereka pun melangkah bersisian meninggalkan pelataran. Chika mendadak menghentikan langkah.

“Kenapa, Chika?” tanya Albert.

“Maaf, biasanya kamu bawa mobil.”

“Mobilku dipinjam Albert Fast. Kita naik taksi ya.”

Jawaban Albert membuat Chika terdiam. Ia tahu persis siapa saudara kembar Albert itu. Pria berkacamata yang sering berbuat ulah. Membajak semua fasilitas mewah yang bukan haknya, mengaku-ngaku sebagai petinggi perusahaan dan fotografer ternama demi merebut hati para gadis.

“Aku...tidak bisa naik taksi. Aku biasanya naik metromini.” Chika berkata pelan tanpa memandang wajah Albert.

“Oh ya? Okey, kita naik metromini kalo gitu.”

“Tapi, memangnya kamu biasa naik metromini?” kilah Chika cemas.

“Kamu aja bisa terbiasa, kenapa aku nggak?” balas Albert retoris.

Pemandangan berikutnya sungguh mencengangkan. Seorang pria tampan dan kaya yang terbiasa membawa mobil pribadi beralih menggunakan transportasi publik. Alhasil, para penumpang metromini melayangkan tatapan penuh minat padanya. Dalam sekejap, Albert dan Chika menjadi pusat perhatian. Terlebih keduanya berdiri di antara jajaran bangku karena tak berhasil mendapatkan tempat duduk. Seorang pria Indo dengan Bahasa Indonesia beraksen British sangat jarang ditemui di dalam sarana transportasi publik seperti ini.

“Aduh, uangnya banyak banget Mas. Nggak ada uang kecil?” Lelaki 40 tahun berkaus hitam kebingungan saat Albert membayar dengan uang seratus ribu.

“Kembaliannya buat Bapak aja,” sahut Albert ramah. Justru ia senang bisa memberikan uang lebih.

Chika hanya tersenyum. Albert tak pernah berubah. Selalu baik, selalu murah hati.

Kebaikan Albert tak sampai di situ saja. Ketika seorang ibu di dekatnya kerepotan membawa barang-barang sekaligus menggendong anaknya yang masih kecil, tanpa ragu Albert menawarkan bantuan.

“Sini Ibu, biar saya yang gendong anaknya.” Tawar pria itu bersimpati.

Anak perempuan berbaju merah berumur sekitar 2 tahun itu berpindah tangan. Albert menggendongnya dengan lembut dan hati-hati.

“Hei...siapa nama kamu?” Albert menyapa gadis kecil itu. Ia tipe penyayang anak-anak.

“Nabila...”

Ternyata, Nabila cepat akrab dengan Albert. Nabila menyukai wangi Eau de Prep Tommy dari tubuh pria berwajah rupawan itu. Terlihat Albert sangat menikmati perjalanan pertamanya dengan transportasi publik.

**   

“Chika, naik transportasi publik ternyata seru juga ya?” komentar Albert.

Saat itu keduanya telah sampai di jalan depan rumah Chika. Chika tersenyum kecil.

“Baru pertama kali, ya?” gumamnya.

“Iya.”

Mereka memasuki pekarangan rumah Chika yang mungil. Chika mengajak Albert masuk ke dalam.

“Albert, gimana kalo aku masak sesuatu buat kamu? Sebagai ucapan terima kasih...”

Selama ini, Albert telah banyak menolong Chika. Berawal dari perkenalan mereka satu setengah bulan lalu. Saat itu, Chika baru saja kehilangan keluarganya. Rumah mereka kebakaran. Albert menyelamatkan Chika dari musibah itu. Beberapa hari lamanya Chika tinggal di rumah Albert. Sayangnya, keluarga tak menyukai kehadiran gadis innocent itu. Tak ingin merusak keharmonisan antara Albert dan keluarganya, Chika memutuskan pergi. Albert tak membiarkan Chika pergi begitu saja. Ia mencarikan Chika pekerjaan. Memberikan rumah lengkap dengan perabotannya. Tiap kali kedua orang tuanya atau orang-orang suruhan orang tuanya berbuat jahat pada Chika, Albert selalu melindunginya. Albert selalu melindungi dan menyelamatkan Chika dari siapa pun yang mencoba berbuat jahat padanya.

Tak lama kemudian, mereka sudah berada di dapur. Albert berkeras membantu Chika. Gadis cantik itu berencana memasak nasi goreng. Masakan Chika sangat lezat. Albert selalu menyukainya.

“Sini, biar aku aja.”

Seraya berkata begitu, Albert mengambil pisau dan beberapa macam sayuran dari tangan Chika. Cepat memotong sayuran dengan pisaunya.

“Salah motongnya,” koreksi Chika. Tersenyum geli melihat cara Albert memotong-motong sayuran.

Akan tetapi Albert tak peduli. Tekadnya hanya ingin menolong Chika. Saat mengiris bawang, matanya terasa perih. Ia belum terbiasa. Melihat itu, Chika mengambil kembali pisau dan sayurannya dari tangan Albert.

“Aku nggak kuat, Chika. Maaf...” kata Albert, mengusap air matanya.

“Nggak apa-apa. Sekarang aku yang terusin ya?”

Dua puluh menit berselang, mereka duduk berhadapan di meja makan. Menikmati sajian nasi goreng yang mereka buat.

“Masakan kamu enak, Chika.” Puji Albert.

“Bukan masakanku, tapi masakan kita berdua. Kita bersama-sama membuatnya.”

Albert terpaku. Desiran halus merayapi hatinya. Belum pernah ia sehidup ini. Sebahagia ini. Setenang ini. Hanya bersama Chika ia merasakannya.

**    

Tanaman-tanaman di rumah Chika sudah waktunya dirawat dan disirami. Sementara Albert mengambil pupuk yang tersimpan di dalam rumah, Chika menggunting rumput. Deru mobil mengalihkan perhatian Chika.

Sebuah Fortuner silver berhenti di depan pagar. Wanita anggun berambut keriting spiral turun dari mobil. Gaun, tas, dan aksesoris yang melekat di tubuhnya mencerminkan status sosial dan kemampuan finansialnya. Chika mengenali wanita itu.

“Nada? Ayo masuk,” sapa Chika halus.

Tak banyak yang tahu masa lalu Albert. Ia pernah menikah dan bercerai. Dalam usia masih muda. Nada Nicola Tahir adalah wanita di masa lalunya.

“Oh, bagus ya! Kamu di sini, sama mantan suami saya? Sama laki-laki yang masih saya cintai?!” seru Nada marah.

“Nada, dengarkan penjelasan saya dulu. Saya...”

“Apa yang kamu lakukan sampai Albert jatuh cinta sama kamu?! Keterlaluan kamu, Chika!”

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Chika. Nada menamparnya sekuat tenaga. Gadis itu nyaris saja terjatuh, andai saja...

“Chika, kamu baik-baik saja?”

Sepasang tangan kokoh menahan lembut tubuhnya. Albert datang di saat yang tepat.

“Mau apa kamu ke sini, Nada?” Albert bertanya dingin.

“Aku cari kamu, Albert. Aku ingin kita rujuk. Tapi gara-gara perempuan ini...”

“Jangan salahkan Chika. Aku nggak mau rujuk sama kamu. Cari pria lain yang lebih baik dariku.”

Wajah Nada memerah. Marah, sakit hati, dan kecewa menjajah hatinya. Melempar pandangan benci ke arah Chika, Nada berbalik. Membanting pintu mobilnya, lalu pergi.

Dalam pelukan Albert, Chika menangis. Ia menyesal. Ia merasa telah menghancurkan kebahagiaan orang lain. Sakit di pipinya tak sebanding dengan sakitnya hati Nada dan hatinya sendiri.

“Jangan sedih ya? Semuanya baik-baik saja. Aku akan selalu jaga kamu.” Albert menenangkan Chika dengan sabar.

“Maaf, Albert. Maaf...aku merusak kebahagiaan wanita lain. Seharusnya aku jangan masuk dalam kehidupanmu.” Isak Chika.

“Ini bukan salah kamu. Sebelum kamu datang, aku sudah bercerai dengan Nada. Semuanya sudah berakhir.”

Air mata Chika mengalir tanpa henti. Hatinya diliputi kesedihan dan rasa bersalah. Tanpa diduga, Albert mengusap lembut air mata Chika dengan jemarinya. Menghapus lembut sisa air mata yang membekas di pipinya.

“Chika, aku tidak bisa melihat wanita menangis,” ujarnya lembut.

**    

little girl, don’t despair

when you’re down look around

you’ll find happiness somewhere,

just believe in tomorrow…

and if today you feel that things are going wrong,

don’t turn away but find a way of growing stronger…

little girl, don’t be sad,

there’s always love

so come take my hand,

lets believe in tomorrow. (Kouchak Jason-Little Girl).

**   

Sisi lain Albert yang tak banyak diketahui orang lain adalah keaktifannya dalam sejumlah kegiatan sosial. Ia pernah menjadi fasilitator untuk pembangunan sebuah sekolah terpencil, menjadi donatur tetap untuk yayasan yang concern di bidang pendidikan, menyantuni anak-anak pengidap kanker dan HIV/AIDS, serta bergabung di komunitas profesional muda yang memperhatikan kelangsungan pendidikan anak. Salah satu agenda rutin dari komunitas ini adalah turun ke sekolah terpencil dan memotivasi para muridnya selama satu hari penuh. Kegiatan ini dinamakan Hari Berbagi.

Pernah terjun di dunia model dan entertainment, Albert terbiasa tampil di depan publik. Itulah sebabnya ia menjadi MC di acara pembukaan Hari Berbagi. Langsung saja para murid tersedot perhatiannya oleh aura pesona sang MC. Semua mata tertuju pada Albert. Puluhan murid menatapnya dari atas ke bawah dengan pandangan kagum. Mereka pun berharap Albert mengisi jadwal mengajar di kelas mereka.

Kelas pertama yang didatangi Albert adalah kelas 7C. Istimewa, karena di kelas itu salah satu muridnya berkebutuhan khusus. Anak perempuan itu tidak memiliki tangan.

“Pagi semuanya...” Albert memulai kelasnya dengan ceria.

“Pagi!” jawab anak-anak bersemangat.

“Kita kenalan dulu ya. Ayo, satu-satu maju ke depan. Siapa mau duluan?”

Murid di kelas ini cukup aktif. Mereka ekspresif dan tak segan bicara di depan banyak orang. Saat perkenalan, tahulah Albert kalau anak yang kehilangan kedua tangannya itu bernama Eryn.

“Kalian semua udah punya cita-cita belum?”

“Punya!”

Anak-anak berebutan menyebutkan cita-cita mereka. Ada yang ingin menjadi dokter, pilot, polisi, tentara, pengusaha, wartawan, dan masih banyak lagi. Hanya Eryn yang tetap diam. Albert menangkap itu semua. Dia berjalan ke bangku Eryn. Mengingat Eryn bertubuh mungil sementara Albert sendiri berpostur tinggi, ia lantas berlutut. Menyamakan tinggi tubuhnya dengan Eryn.

“Eryn mau jadi apa kalau sudah besar nanti?” tanya Albert.

Bukannya menjawab, Eryn justru menangis. Anak-anak menatapnya iba. Hati Albert tersentuh. Ia tak bisa melihat wanita menangis. Terlebih Eryn masih kecil. Diusap-usapnya rambut anak itu. Dirangkulnya hangat.

“Eryn nggak tahu mau jadi apa...Eryn pengen jadi dokter, tapi kan Eryn nggak punya tangan. Eryn nggak berguna! Nggak pantas punya cita-cita!” teriak Eryn frustasi.

Albert sudah siap dengan kemungkinan seperti ini. Ia telah terbiasa menghadapi anak-anak.

“Eryn, tiap orang harus punya cita-cita. Tiap orang juga berhak meraih cita-citanya. Termasuk kamu, Eryn. Eryn istimewa. Jadikan kekurangan Eryn sebagai kelebihan. Jangan menyerah...ya?”

Rupanya Eryn masih belum puas. Dia terus mengungkapkan isi hatinya. Albert sabar mendengarkan, sesekali membelai rambut Eryn.

“Eryn, percaya kalau suatu saat nanti semuanya akan lebih baik. Kelak Eryn akan mencapai cita-cita yang diinginkan. Eryn harus yakin dan percaya...ya? Yakin, percaya, dan berdoa. Jangan sedih, Eryn. Harus semangat, okey?”

Kata-kata Albert merasuk ke dalam hati. Tiap orang berhak mempunyai cita-cita dan meraihnya. Meski keadaan terbatas. Segala keterbatasan bisa ditembus bila ada kemauan.

Pagi ini, Albert berhasil memotivasi anak-anak. Mengobarkan semangat mereka. Memberi secercah optimisme di hati mereka. Dan menghapus kesedihan di hati Eryn, gadis kecil yang tak berdaya karena keterbatasannya.

Albert mencintai anak-anak itu. Ia percaya, kelak mereka dapat meraih semua impian dan cita-cita. Ia berharap motivasi yang diberikannya dapat membantu semua anak itu dalam perjuangan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun