Buliran bening terjatuh ke pipi gadis itu. “Albert, sampai kapan pun kamu tetap klienku dan itu tidak berubah. Aku percaya, pasti kamu akan sembuh.”
Setelah satu bulan sang biarawan menghilang tanpa kabar, ia kembali dengan ucapan-ucapan yang menyakiti perasaan gadis itu. Begitukah caranya melukai seorang gadis?
“Barang-barang pemberianmu akan saya kembalikan jika kamu memintanya kembali.”
“Tidak usah. Itu milikmu. Aku tidak akan memintanya kembali.” Cegah gadis itu.
Ia tak mengerti apa maksud Albert sebenarnya. Arif Albert yang penyabar dan lembut hati bisa berkata sekeras itu. Hati kecilnya menolak mempercayainya.
“Pasti ini hanya alasanmu saja. Bukankah aku tidak penting dan tidak berharga? Makanya kamu setega ini padaku? Kurasa, urusan akademis dan non akademis bisa berjalan seimbang. Aku juga sibuk, aku juga banyak tugas, tapi masih bisa cum laude. Masih bisa memperhatikan banyak orang, bukan hanya diri sendiri.”
“Kemampuan setiap orang berbeda. Kamu pintar, makanya kamu bisa cum laude...”
“Cukup cukup! Sudah takdirku untuk terus-menerus disakiti!” Gadis itu menyela, ia tak tahan lagi. Kini ia sudah tahu. Dirinya hanya pengganggu. Hanyalah anak kecil pengganggu di mata pria itu.
“Albert, seumur hidupku...aku tidak pernah mengatakan jika aku terganggu pada siapa pun. Yang mau curhat, tanya sesuatu, konsultasi, atau minta sesi terapi, pasti aku layani. Sesibuk apa pun aku. Meski aku sedih, terluka, patah hati, dan tertimpa banyak masalah. Sebab aku tahu, kalimat ‘saya terganggu’ itu akan menyakiti dan menjatuhkan mental orang lain. Tapi ironisnya, aku malah dianggap pengganggu oleh orang yang kucintai. Albert jahat!”
Dengan kata-kata itu, si gadis berbalik. Meninggalkan Albert dalam sepi.
**