Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sepenggal Cerita Gadis yang Menari Sendirian: Biarkan Aku Mencintaimu

29 Januari 2017   07:06 Diperbarui: 29 Januari 2017   08:11 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Tiap orang pernah merasakan kecemasan. Di saat seperti itu, pikiran negatif berperang dengan pikiran positif. Entah mana yang akan terbukti menjadi nyata. Ketika seseorang merasakan cemas, satu-satunya penetralisir adalah doa. Seperti yang dilakukan keluarga besar ini.

 Lorong rumah sakit itu hening. Keluarga besar berkumpul, saling bertukar pandang cemas. Apa yang terjadi dengan anak malang itu? Dia masih terlalu kecil untuk merasakan ujian yang begitu berat.

“Keluarga pasien Bradley Arif Riyadi?”

Suara mezosopran milik seorang suster mengagetkan mereka. Pintu UGD terbuka. Nampak seorang dokter dan dua orang suster melangkah keluar.

Tuan Yazid bergegas maju menghampiri tim medis. Mewakili Tuan Riyadi. Pasalnya, Tuan Riyadi dan Nyonya Bunga belum tiba. Kemacetan menghambat perjalanan mereka.

“Bagaimana keadaan Arif, Dokter?” tanya Tuan Yazid.

“Kondisinya sudah membaik. Arif mengalami mimisan anterior. Tapi...”

Sang dokter menggantung kalimatnya. Wajahnya berubah resah.

“Tapi kenapa, Dokter?” desak Tuan Yazid.

“Kami menemukan indikasi lain. Diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahuinya.”

“Indikasi apa?” Kali ini, Mama bertanya. Melangkah ke samping Tuan Yazid.

“Leukemia,”

Satu kata. Hanya satu kata. Namun menimbulkan efek bertambahnya kekhawatiran di hati mereka. Tuan Yazid beristighfar lirih diikuti anggota keluarga lainnya.

“Ini baru indikasi. Lebih cepat dilakukan pemeriksaan, lebih baik.” Kata dokter menenangkan.

“Lakukan sekarang, Dokter. Jika Arif terbukti mengidap Leukemia, berikan dia pengobatan yang terbaik. Berapa pun biayanya.”

Semuanya segera dipersiapkan. Mereka tak ingin membuang waktu lagi. Ketika Arif akan diambil darahnya, Tuan Yazid menggendongnya. Anak sekecil itu harus diambil darahnya. Menyedihkan.

Tuan Yazid tak tinggal diam. Ia merasakan Arif begitu ketakutan. Terlebih melihat jarum suntik di tangan suster. Memberi sugesti positif dan teknik terapi adalah hal pertama yang dilakukannya. Perlahan ia menanamkan sugesti positif pada anak itu, mempengaruhi pikiran bawah sadarnya. Alhasil, Arif begitu tenang saat proses pengambilan darah berlangsung. Ia bahkan tidak ketakutan atau menangis sama sekali.

Di dekatnya, gadis bermata biru itu mengawasi dengan kagum. Sejak tadi ia memperhatikan cara Tuan Yazid memberikan teknik terapi pada Arif. Jika ia memiliki klien anak-anak dengan kasus yang sama, ia akan mencobanya.

**    

Terlalu sadis caramu

Menjadikan diriku pelampiasan cintamu

Agar dia kembali padamu

Tanpa peduli sakitnya aku

Tega niannya caramu

Menyingkirkan diriku dari percintaan ini

Agar dia kembali padamu

Tanpa peduli sakitnya aku

Semoga Tuhan membalas semua yang terjadi

Kepadamu suatu saat nanti

Hingga kausadari sesungguhnya yang kaupunya

Hanya aku tempatmu kembali

Sebagai cintamu

Hanya aku tempatmu kembali

Semoga Tuhan membalas semua yang terjadi

Kepadaku suatu saat nanti

Hingga kausadari sesungguhnya yang kaupunya

Hanya aku

Sebagai cintamu (Afgan-Sadis).

**   

Sekujur tubuh gadis itu terasa dingin. Ia sengaja memisahkan diri dari keluarganya. Demi menemui pria tampan bermata teduh itu.

“Kamu jangan menelepon saya ke Seminari lagi. Saya terganggu,” ujar pria itu dingin.

Sepasang mata biru milik gadis itu melebar tak percaya. Shock mendengar Albert berkata sekasar dan sekeras itu.

“Beraninya...kamu mengatakan jika kamu terganggu?” desisnya tak percaya. Cairan hangat membasahi kelopak matanya.

“Saya berterima kasih atas semua bantuan yang kamu berikan. Sampai kapan pun, saya tidak akan bisa membalasnya.” Albert melanjutkan. Dingin. Tanpa perasaan.

Buliran bening terjatuh ke pipi gadis itu. “Albert, sampai kapan pun kamu tetap klienku dan itu tidak berubah. Aku percaya, pasti kamu akan sembuh.”

Setelah satu bulan sang biarawan menghilang tanpa kabar, ia kembali dengan ucapan-ucapan yang menyakiti perasaan gadis itu. Begitukah caranya melukai seorang gadis?

“Barang-barang pemberianmu akan saya kembalikan jika kamu memintanya kembali.”

“Tidak usah. Itu milikmu. Aku tidak akan memintanya kembali.” Cegah gadis itu.

Ia tak mengerti apa maksud Albert sebenarnya. Arif Albert yang penyabar dan lembut hati bisa berkata sekeras itu. Hati kecilnya menolak mempercayainya.

“Pasti ini hanya alasanmu saja. Bukankah aku tidak penting dan tidak berharga? Makanya kamu setega ini padaku? Kurasa, urusan akademis dan non akademis bisa berjalan seimbang. Aku juga sibuk, aku juga banyak tugas, tapi masih bisa cum laude. Masih bisa memperhatikan banyak orang, bukan hanya diri sendiri.”

“Kemampuan setiap orang berbeda. Kamu pintar, makanya kamu bisa cum laude...”

“Cukup cukup! Sudah takdirku untuk terus-menerus disakiti!” Gadis itu menyela, ia tak tahan lagi. Kini ia sudah tahu. Dirinya hanya pengganggu. Hanyalah anak kecil pengganggu di mata pria itu.

“Albert, seumur hidupku...aku tidak pernah mengatakan jika aku terganggu pada siapa pun. Yang mau curhat, tanya sesuatu, konsultasi, atau minta sesi terapi, pasti aku layani. Sesibuk apa pun aku. Meski aku sedih, terluka, patah hati, dan tertimpa banyak masalah. Sebab aku tahu, kalimat ‘saya terganggu’ itu akan menyakiti dan menjatuhkan mental orang lain. Tapi ironisnya, aku malah dianggap pengganggu oleh orang yang kucintai. Albert jahat!”

Dengan kata-kata itu, si gadis berbalik. Meninggalkan Albert dalam sepi.

**    

Kembali bersama keluarganya, pikirannya kacau. Mulai timbul berbagai pertanyaan dalam dirinya. Benarkah ia seorang pengganggu? Serendah itukah posisinya?

Kejadian dengan Albert memberinya pelajaran berharga. Ia tak akan pernah mengucapkan jika ia terganggu pada orang lain. Sungguh menyakitkan disebut pengganggu. Bentuk perhatian yang tulus, uluran tangan untuk melanjutkan sesi terapi penyembuhan, dianggap hal yang mengganggu. Ternyata ia memang ditakdirkan untuk selalu disalahkan, disakiti, dilukai, dan dianggap pengganggu. Setiap tindakannya selalu salah. Meski demikian, Albert tetap klien istimewanya. Ia tetap merindukan dan mencintai pria itu, apa pun yang terjadi. Seperti cinta Ginny Weasley pada Harry Potter, Arwen pada Aragorn, Haruno Sakura pada Uchiha Sasuke, dan Landon Carter pada Jamie Sullivan.

Di ujung koridor, ia bertemu Nyonya Dionesia. Wanita berkalung salib itu akan memeluknya, namun ia tepis jauh-jauh. Ia tak suka dipeluk dan disentuh oleh orang yang tidak bisa dipercaya. Orang yang merebut harta keluarganya termasuk satu dari sekian banyak kategori orang yang tidak bisa dipercaya.

“Kamu kenapa, Non? Mata kamu merah...” Mama bertanya khawatir. Mengusap-usap lembut rambutnya.

“Iya, kamu kenapa?” Della, Dani, dan Tuan Yazid mendekat. Terlihat Tuan Yazid masih menggendong Arif.

Gadis itu tak menjawab. Hanya tersenyum kecil, lalu membelai pelan rambut Arif. Mencium kedua pipinya. Anak kecil berparas tampan itu balas tersenyum. Imut sekali.

Begitulah yang dilakukannya tiap kali merindukan Arif Albert. Rasa rindu dan kasih sayangnya ia curahkan pada Bradley Arif Riyadi.

Dari ujung koridor, datanglah Keanu dan Chelsea. Fadil dan Rafif melangkah di belakang mereka. Begitu melihat Fadil, wajah Arif berubah pias seketika. Tuan Yazid memahami perasaan Arif. Didekapnya keponakannya itu erat.

“Tidak apa-apa, Sayang...tidak apa-apa. Mas Fadil nggak akan jahat lagi sama Arif. Mas Fadil sayang juga kok sama Arif...tenang ya?” kata Tuan Yazid lembut.

Chelsea dan Keanu mendekat. Tak tega melihat raut wajah Arif. Ikut menenangkan dengan cara mereka. Berhasil. Arif kembali tenang bersama Tuan Yazid, Keanu, dan Chelsea.

“Ayo kita ke makam Bradley dan Jasmine,” ajak Tuan Riyadi.

“Orang tua kandung Arif?” Tuan Yazid memastikan.

“Iya.”

Mereka pun beranjak meninggalkan rumah sakit. Berpamitan pada tim medis.

Di mobil, gadis itu melampiaskan rasa sedih dan sakit hati dengan memeluk bonekanya erat-erat. Ia duduk sendirian di bangku belakang. Sedangkan Mama-Papanya duduk di bangku depan.

“Kamu kenapa, Non? Kalo kamu nggak cerita, gimana Mama tahu? Mama nggak boleh tahu?” bujuk Mamanya sabar.

Gadis itu menggeleng kuat-kuat. Ia mengalihkan pembicaraan. Menanyai Papanya. Meminta pria berzodiak Leo itu menceritakan kehidupannya di lembaga pendidikan itu puluhan tahun lalu. Mamanya ikut teralihkan perhatiannya. Mendesak sang suami untuk bercerita.

“Hmm...apa ya?” Papa berpikir-pikir. Bingung apa yang harus diceritakan.

“Yang jelas...rutinitas di sana benar-benar terjadwal dengan sistematis. Pagi-pagi sekali, kami sudah bangun. Berkumpul di tempat ibadah, menjalani ritual ibadah pagi. Lalu...”

Setelah dibujuk, rupanya Papa bisa bercerita dengan lancar. Bahkan antusias. Tentang ketatnya peraturan di tempat itu, sarana komunikasi yang dibatasi, keheningan di saat-saat tertentu, kurangnya intensitas bertemu keluarga, dan kenakalan kecil yang dilakukan beberapa orang. Cerita terus berlanjut sampai akhirnya Papa keluar dari tempat itu, meninggalkan tembok-tembok tingginya yang angkuh dan angker.

“Sudah lama Papa tidak ke sana lagi...” desah Papa, mengakhiri ceritanya.

“Mungkin suatu saat nanti. Jika Papa ada waktu.”

Tanpa terasa, mereka tiba di pemakaman. Mobil Tuan Yazid dan anggota keluarga lainnya telah sampai lebih dulu. Mereka semua turun dari mobil. Menyusuri baris demi baris nisan. Mencari-cari makam Bradley dan Jasmine. Arif berjalan bergandengan tangan dengan Keanu dan Chelsea. Chelsea di kiri, Keanu di kanan. Tiga anak berwajah rupawan itu begitu dekat dan akrab.

“Ini dia,” bisik Nyonya Bunga.

Mereka berlutut di antara dua makam marmer itu. Menatapi ukiran nama Bradley dan Jasmine.

“Sayang, ini makam Ayah dan Ibu kandungmu. Ayo berdoa, Nak.” Tuan Riyadi merangkul pundak Arif.

Arif menurut. Mulai berdoa. Begitu pun Chelsea, Keanu, Della, Dani, dan gadis bermata biru itu. Para orang tua menaburkan bunga, lalu ikut berdoa bersama anak-anak mereka.

“Mami, itu makam siapa?” tunjuk Della pada makam mungil di samping makam Bradley.

“Kok namanya...Hellena Rose binti Bradley Nicholas?”

“Oh, Baby Rose. Dia anaknya Bradley dari wanita lain. Baby Rose meninggal saat berumur tiga bulan.” Jelas putri keempat.

“Ya Allah...”

Sejurus kemudian, putri keempat memperlihatkan foto Baby Rose. Terlihat seorang bayi perempuan berwajah Indo.

“Cantik ya,” puji Della.

**    

“Kamu mau belajar main piano? Sini...”

Dani meraih tubuh Arif ke pangkuannya. Tersenyum sabar. Mulai mengenalkan notasi. Mengajarkan kord. Memperlihatkan tombol-tombol hitam yang digunakan untuk memainkan nada kres.

“Aku juga mau diajarin!” seru Keanu dan Chelsea bersemangat.

“Iya, nanti ya? Pasti diajarin kok,” sahut Dani.

“Chelsea, nanti aku ajarin.” Gadis bermata biru itu menawarkan. Lembut memegang tangan Chelsea.

“Keanu sama aku ya? Aku juga udah bisa. Kan diajarin Mbak cantik ini,” Della melirik si gadis bermata biru. Tersenyum penuh arti.

Ya, ternyata Della masih ingat. Sewaktu mereka masih kecil, gadis bermata biru itulah yang mengajari Della bermain piano. Della sering bermain ke rumah si gadis untuk diajari bermain piano.

“Mbak Della, main piano itu gampang atau susah?” tanya Keanu.

“Gampang, asal rajin berlatih. Pakai perasaan juga waktu main pianonya.” Jawab Della.

“Makanya piano bisa bikin otak kanan dan otak kiri seimbang, Keanu.” Timpal gadis bermata biru itu.

Keanu mengangguk paham.

Selesai mengajarkan kord, Dani mengajak Arif bernyanyi dan bermain piano.

“Arif hafal lagu ini nggak?” Dani menyanyikan sepenggal lirik lagunya.

“Hafal,” jawab Arif mantap.

“Aku juga hafal!” Keanu dan Chelsea tak mau kalah.

“Okey. Kita nyanyi sama-sama ya?”

Piano berdenting lembut. Dimainkan oleh Dani dan Arif. Para sepupu itu pun mulai bernyanyi.

Hariku selalu ada hadirmu

Suka dan duka sudah kita jalani

Tapi waktu berkata

Kita harus terpisah

Takkan kulupakan kisah kita untuk selamanya

Terima kasih sahabat

Karena kau sahabat terbaik

Kuingin kita bertemu di suatu hari nanti

Simpan aku dalam hati

Jangan pernah lupakan aku

Kuingin kau sehat selalu

Sampai kita kan bertemu lagi

Terima kasih sahabat

Karena kau sahabat terbaik

Kuingin kita kan bertemu di suatu hari nanti

Simpan aku dalam hati

Jangan pernah lupakan aku

Kuingin kau sehat selalu

Sampai kita kan bertemu lagi

Terima kasih sahabat

Karena kau sahabat terbaik

Kuingin kita kan bertemu di suatu hari

Simpan aku dalam hati

Jangan pernah lupakan aku

Kuingin kau sehat selalu

Sampai kita kan bertemu lagi

Sampai kita kan bertemu lagi (Aldi CJR-Terima Kasih Sahabat).

Terlihat Dani mengusap dua titik bening di sudut matanya. Ia pasti merindukan Rosline. Sahabatnya, sekaligus cinta sejatinya. Sahabatnya yang telah memutuskan menjadi biarawati.

Pipi gadis itu kembali basah. Albert bersama kenangannya akan tersimpan di dalam hati. Sekeras apa pun perkataannya, bagaimana pun perbuatannya, pria rupawan itu tetap memberi kesan yang baik di hatinya.

“Kau sahabatku, klienku, dan cintaku yang paling istimewa. Biarkan sang pengganggu ini mencintaimu.”

**   

Cintaku tak terukur dalamnya

Pengorbananku tak ada habisnya

Apa lagi yang harus kulakukan

Tuk yakinkan hanya kaulah satu-satunya

Karena hatiku mengatakan kamu

Yang paling mengerti di antara yang mengerti

Dan hidupku berharap padamu

Lewat lagu ini

Aku ungkapkan perasaanku (Iwan Fals ft Ryan D`Masiv-Satu-Satunya).

Entah siapa yang memulai, para sepupu memutuskan berdansa. Diiringi lagu favorit mereka. Memanfaatkan area luas di taman belakang. Dani berdansa dengan Vallen. Tangan Vallen memeluk mesra Dani, sementara Dani melingkarkan lengan ke pinggang gadis itu. Della berdansa dengan Dafa. Fadil dengan Sara. Keanu dengan Clara. Chelsea bersama Arif.

Si gadis bermata biru itu pun ikut menari. Hanya saja, ia menari sendirian tanpa pasangan. Bergerak anggun mengikuti iringan musik bertempo slow. Berputar dengan gerakan mulus, ujung gaunnya bergerak-gerak. Sesekali ia berganti gerakan. Sepasang matanya terpejam. Membayangkan betapa bahagianya bila punya pasangan dansa.

Saat membuka matanya, sekilas ia melihat Dani berdansa seraya memejamkan mata. Mungkin pemuda tampan 16 tahun itu berharap gadis yang tengah memeluknya mesra adalah Rosline. Sebaliknya, Della berulang kali mengerutkan dahi karena Dafa sering menginjak kakinya. Pemandangan yang menggelikan. Fadil dan Sara masih terlihat malu-malu saat berdansa. Keanu dan Clara rileks berdansa. Arif dan Chelsea sangat menikmati gerakan dansa mereka. Meski masih kecil, mereka belajar dengan cepat. Memperhatikan gerakan para sepupu yang lain.

“Kalo ada Mas Anton, kamu pasti dansa sama dia. Meski dia lebih tinggi darimu,” bisik Della. Menyeringai menggoda.

Gadis bermata biru itu tak peduli. Terus menari. Pada saat-saat tertentu, berputar dengan anggun. Sekali-dua kali berpose.

“Aku nggak percaya, Latifah Maurinta Wigati bisa berdansa.”

Tanpa terduga, Rafif datang. Menggabungkan diri di antara mereka. Menatap takjub gerakan gadis bergaun merah itu.

“Belajar dari mana?”

“Dari film, dari video di Youtube, dan selama karantina ajang pemilihan duta kampus.” Jawab si gadis singkat. Menyibakkan rambut panjangnya, lalu melanjutkan menari.

“Memangnya, gadis yang tidak bisa melihat dengan jelas tidak boleh dansa? No way!” kata gadis itu angkuh. Sebenarnya, ia tak bermaksud begitu. Ia menari dengan begitu bersemangat demi mengobati luka hatinya. Demi mengalihkan perhatian dari rasa sakit di hatinya. Demi meringankan beban berat di dasar hatinya.

“Kamu terlalu bersemangat. Sini, dansa sama aku.”

Dengan kata-kata itu, Rafif mengulurkan lengan kanannya. Gadis itu menolak. Ia ingin menari sendirian. Bila pun ia harus berdansa, ia hanya ingin berdansa dengan pasangan yang benar-benar bisa dipercayainya.

Dan...gadis itu pun kembali sendiri.

Bandung, 29 Januari 2016

Terinspirasi dari beberapa kejadian yang dialami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun