Istilah Desa, berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya tanah tumpah darah, dan perkataan Desa hanya dipakai di daerah Jawa dan Madura, sedang daerah lain pada saat itu (sebelum masuknya Belanda) namanya berbeda seperti gampong dan meunasah di Aceh, huta di Batak, nagari di Sumatera Barat dan sebagainya.
Pada hakikatnya bentuk desa dapat dibedakan menjadi dua yaitu desa geneologis dan desa teritorial. Sekalipun bervariasi nama desa ataupun daerah hukum yang setingkat desa di Indonesia, akan tetapi asas atau landasan hukumnya hampir sama yaitu adat, kebiasaan dan hukum adat (H.M.Arres Djainuri, Sitem Pemerintahan Desa).
Punden Mbah Sirna, Jejak Legenda
Desa Kuryokalangan (Kecamatan Gabus,Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Indonesia) dalam perspektif sejarah merupakan penggabungan dari dua desa, yakni Desa Kuryo dan Desa Kalangan, pada awal abad XIX M yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Dan, sejak saat itu hingga sekarang, masing-masing desa tersebut berkedudukan menjadi Dukuh, di bawah Pemerintah Desa Kuryokalangan. Karenanya, baik Kuryo maupun Kalangan memiliki sejarah (Legenda Desa) masing-masing.
Kali ini diuraikan mengenai legenda Desa Kuryo.
Sudah jamak dikenal bahwa terutama di Jawa, jejak legenda Desa, biasanya ada hubungannya dengan cerita tutur mengenai punden desa.Â
Adalah Punden Desa Kuryo yang dipersepsikan orang-orang sebagai tempat bersemayamnyacikal bakal (pendiri) desa Kuryo dikenal sebagai Punden mBah Sirna.
(Terletak di tepi jalan arteri Desa Kuryokalangan dukuh Kuryo).
Siapa mBah Sirna?
Konon, nama asli mBah Sirna adalah mBah Tiguna. Sementara nama mBah Sirna sendiri merupakan nama julukan.