Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

Sebelum diangkat menjadi abdi negeri, pernah mengajar di SMA TARUNA NUSANTARA MEGELANG. Sekarang mengguru di SDN Kuryokalangan 01, Dinas Pendidikan Kabupaten Pati Jawa Tengah, UPTKecamatan Gabus. Sebagian tulisan telah dibukukan. Antara lain: OPINI GRASSROOT SOAL PENDIDIKAN GRES; Si Playboy Jayanegara dan Bre Wirabhumi yang Terpancung. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id. HP (maaf SMS doeloe): 081226057173.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Substansi Legenda Desa Kuryo: Hijrah dan Mulia!

12 Desember 2016   09:12 Diperbarui: 25 Desember 2016   23:40 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.



masjid kuryo, kuryo qoryah thoyyibah (sumber: dokumen pribadi)

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Sejarah dan legenda, berbeda.

Kaitannya dengan tulisan ini, perlu disampaikan bahwa semula penulis berkeinginan mengambil perspektif sejarah. Tetapi di lapangan, data yang penulis temui ternyata lebih banyak didominasi oleh cerita tutur yang secara metodologi harus dikonfirmasi dengan sumber data lain yang lebih akurat.

Sementara data akurat yang dimaksud tersebut belum penulis ketemukan secara cukup. Oleh karena itu tulisan ini masih bertitik berat sebagai legenda, ketimbang sejarah.

Tapi tidak apalah. Jikapun masih bertitik berat sebagai legenda itu bisa merupakan petunjuk bararti bagi tahapan penulisan sejarah berikutnya. Toh, karena sejarah bukanlah proses yang ber-titik, melainkan selalu saja koma.

Terbentuknya Desa

Hal yang banyak dihadapi para peneliti soal terbentuknya Desa di Indonesia, hingga sekarang, ialah sulit diketahui secara pasti kapan awalnya? Kapan mulainya? Dan, pula bagaimana terjadinya?

Akan tetapi mengacu pada prasasti Kawali di Jawa Barat sekitar tahun 1350 M, dan prasasti Walandit di daerah Tengger Jawa Timur pada tahun 1381 M, maka Desa sebagai unit terendah dalam struktur pemerintahan Indonesia telah ada sejak dahulu kala dan murni Indonesia bukan bentukan Pemerintahan Kolonial Belanda.

Pada umumnya terbentuknya desa diawali dengan terbentuknya kelompok masyarakat akibat sifat manusia sebagai makhluk sosial, dorongan kodrat, atau sekeliling manusia, kepentingan yang sama dan bahaya dari luar.

Istilah Desa, berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya tanah tumpah darah, dan perkataan Desa hanya dipakai di daerah Jawa dan Madura, sedang daerah lain pada saat itu (sebelum masuknya Belanda) namanya berbeda seperti gampong dan meunasah di Aceh, huta di Batak, nagari di Sumatera Barat dan sebagainya.

Pada hakikatnya bentuk desa dapat dibedakan menjadi dua yaitu desa geneologis dan desa teritorial. Sekalipun bervariasi nama desa ataupun daerah hukum yang setingkat desa di Indonesia, akan tetapi asas atau landasan hukumnya hampir sama yaitu adat, kebiasaan dan hukum adat (H.M.Arres Djainuri, Sitem Pemerintahan Desa).

Punden Mbah Sirna, Jejak Legenda

Desa Kuryokalangan (Kecamatan Gabus,Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Indonesia) dalam perspektif sejarah merupakan penggabungan dari dua desa, yakni Desa Kuryo dan Desa Kalangan, pada awal abad XIX M yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Dan, sejak saat itu hingga sekarang, masing-masing desa tersebut berkedudukan menjadi Dukuh, di bawah Pemerintah Desa Kuryokalangan. Karenanya, baik Kuryo maupun Kalangan memiliki sejarah (Legenda Desa) masing-masing.

Kali ini diuraikan mengenai legenda Desa Kuryo.

Sudah jamak dikenal bahwa terutama di Jawa, jejak legenda Desa, biasanya ada hubungannya dengan cerita tutur mengenai punden desa. 

Adalah Punden Desa Kuryo yang dipersepsikan orang-orang sebagai tempat bersemayamnyacikal bakal (pendiri) desa Kuryo dikenal sebagai Punden mBah Sirna.

(Terletak di tepi jalan arteri Desa Kuryokalangan dukuh Kuryo).

Siapa mBah Sirna?

Konon, nama asli mBah Sirna adalah mBah Tiguna. Sementara nama mBah Sirna sendiri merupakan nama julukan.

Tidak ada keterangan jelas apakah yang dimaksud Punden mBah Sirna tersebut merupakan tempat disemayamkannya mBah Kakung sekaliyan mBah Putri Tiguna atau hanya salah satunya?

Mengingat, semula Punden mBah Sirna hanya berujud satu kesatuan tumpukan bata merah berbentuk balok membujur arah utara-selatan tanpa nisan. Dengan ukuran kira-kira, panjang 200 cm lebar 150 cm dan tinggi 120 cm. Mirip dengan punden berundak zaman megalitikum.

Namun belum lama ini ia sudah direnovasi layaknya kuburan sepasang suami-istri masa kini lengkap cungkup dan nisannya (kuburan muslim), dan sekarang cungkup beserta nisannya itu diratakan.

Punden mBah Sirna berdiri tunggal, artinya tidak dalam lingkungan kuburan umum. Sehingga menimbulkan pertanyaannya, apakah itu bekas rumahnya atau apa?

Menurut cerita tutur, Punden mBah Sirna tidak merupakan bekas tempat rumah dimasa hidupnya, melainkan tempat peristiwa kematiannya. Sementara itu rumah beliau yang sekaligus sebagai pusat pemerintahan Desa Kuryo pada waktu itu, konon, terletak di sekitar kuburan kidul arah barat daya.

Tempat peristiwa kematian mBah Tiguna?

Begini. Menurut cerita tutur, kala itu sedang berkecamuk perang antara Kerajaan Pati melawan Mataram di area pegunungan Kendeng Utara, kisaran Desa Cengkalsewu-Sukolilo-Pati. Di antara prajurit Pati itu adalah mBah Tiguna yang Ki Gede Kuryo itu.

Singkat cerita. Ada seseorang Penggedhe (pembesar) Pati yang terluka parah dan segera hendak di bawa pulang. Mbah Tiguna bersama adik sperguruannya, mBah Singgojoyo, bersama prajurit-prajurit pilihan lainnya mendapat tugas melaksanakan evakuasi itu.

Atas inisiatif mBah Tiguna, bahwa karena waktu itu dalam situasi perang, maka demi menghindari kejadian yang lebih buruk, ---karena tentu banyak mata-mata dan sebagainya, dan juga demi efisiensi jarak dan waktu tempuh, maka evakuasi itu diputuskan melalui jalan tikus.

Dan, jalan tikus itu, di antaranya meninggalkan jejak terjadinya Desa Bogorame (karena darah Penggedhe Pati tersebut mengucur deras bagai nira bogor dan dikerumuni banyak orang beramai-ramai). Kemudian, melewati Desa Kuryo, menuju Pati.

Dari berita Jaga Baya Desa Kuryo, mBah Nyai Tiguna mendengar berita itu. Maka mBah Nyai Tiguna berkeinginan menyambutnya. Karena, Penggedhe Pati yang terluka tersebut, konon ialah kadang sentana (kerabat) mBah Tiguna sendiri yang berarti kadang sentananya juga.

Pada waktu itu, mBah Nyai Tiguna  berkenan menyegat ditepian jalan (sekarang, tempat Punden Kuryo berada). Tapi apa dikata. Melihat kondisi parahnya luka kadang sentananya itu, mBah Nyai Tiguna tidak kuat. Sehingga sangat berempatinya, napasnya menjadi sesak hingga ruhnya sirna (hilang) alias wafat.

Melihat mBah Nyai Tiguna tewas, mBah Tiguna yang mungkin karena teguhnya beliau memegang komitmen sumpah setia sehidup sematinya pada istrinya itu, ajalpun menjeputnya pada waktu itu pula. Sirna pula ruh mBah Tiguna alias wafat.

Maka mungkin untuk mengenang peristiwa spektakuler tersebut, beliau dikenang dengan julukan mBah Sirna dan dikebumikan ditempat itu pula, yang selanjutnya hingga sekarang dikenal dengan Punden mBah Sirna.

Kesimpulannya. MBah Sirna adalah mBah Tiguna, kadang sentana Kerajaan Pati yang meninggal bersaman dengan peristiwa perang Pati vs Mataram .

MBah Tiguna

Dalam bausastra (kamus) Jawa, kata tiguna memang tidak diketemukan.

Namun demikian selain sebagai  nama tokoh punden Desa Kuryo, kata tiguna, juga digunakan sebagai nama desa di wilayah Kecamatan Pucakwangi Kabupaten Pati Jawa Tengah.

(Penulis, belum sempat mengkonfirmasi, bagaimana legenda Desa Tiguna? Dan, apakah ada kaitannya dengan mBah Tiguna Kuryo? Dan seterusnya).

Selanjutnya, bahwa kata Triguna (dengan R ---agak bergeser sedikit), ternyata merupakan salah satu ajaran di dalam agama Hindu.

Kemudian, dalam sejarah sastra juga disebut ada seorang mpu atau empu yang bernama Triguna, si pencipta Kakawin Kresnayana.

Sebelum menjelaskan apa ajaran Triguna dan siapa Empu Triguna serta apa ada kemungkinan hubungannya dengan mBah Tiguna Kuryo lebih lanjut, ada baiknya dijelaskan kenapa kata TIGUNA (tanpa R) dicoba disandingkan dengan kata TRIGUNA (dengan R)?

Bahwa di dalam tata bahasa Jawa, aksara R di tengah-tengah kata, kadang-kadang melebur atau menghilang. Sebagai contoh bisa disebut, kata TRIWIKRAMA ternyata dalam praktiknya biasa disebut juga TIWIKRAMA. Sehingga ada kemungkinan kata TRIGUNA juga malih menjadi TIGUNA…

Istilah Triguna di dalam konsep Hindu berasal dari dua kata yaitu TRI dan GUNA.Tri artinya tiga sedangkan Guna berati sifat, Sehingga Triguna diartikan tiga sifat yang mempengaruhi manusia atau seseorang dari sejak lahir sampai mati.

Pertama, Satwam adalah sifat dari pada manusia yang memancarkan sifat tenang, bahagia, tulus, dan tanpa pamrih. Kedua, Rajas adalah suatu sifat dari manusia yang memancarkan sifat ambisius, dinamis, gelisah, dan mengharapkan suatu imbalan. Dan, ketiga, Tamas adalah suatu sifat dari pada manusia yang memancarkan sifat pasit, malas, lamban.

Pertanyannya adalah apakah mBah Tiguna seorang penganut Hindu yang notabene penganut konsep Triguna?

Bahwa jika data cerita tutur benar bahwa mBah Tiguna merupakan kadang sentana ndalem Penggedhe Pati yang terluka ketika berperang di Cengkalsewu melawan Mataram, berarti mBah Tiguna adalah kerabat kerajaan Pati yang ketika itu dirajai Adipati Pragola II, yang notabene kerajaan Islam dan berada dalam masa Islam.

Diketahui, perang Pati vs Mataram yang terjadi di Cengkalsewu, menurut H.J.De Graaf dan juga petunjuk Babad Pati, terjadi pada tahun 1627M.

Oleh karenanya, bernama mBah Tiguna bukan karena beliau seorang penganut ajaran Hindu, Triguna.

Selanjutnya, kaitannya dengan Empu Triguna?

Sebagian cerita tutur ada yang menerangkan bahwa mBah Tiguna memiliki keahlian membuat barang-barang yang berhubungan dengan logam (seorang Pandhe).

Dikatakan pula, beliau memiliki senjata pusaka yang ampuh (sakti) yang berujud tombak, yang mungkin belakangan karena tombak itu milik atau warisan dari mBah Tiguna maka orang-orang menyebutnya sebagai Tombak Tiguna.

Terdengar pula ada yang mengaytakan Tombak Tiguna itu bernama Kyai Lokuwato (mungkinkah symbol singkatan salah kaprah dari kalimat lakhaula wala kuwwata illa billahil ‘aliyil adziim, yang sering orang Jawa (kuno) bilang wolo wolo kuwato itu?).

Pertanyaannya adalah karena ada informasi mBah Tiguna Kuryo punya kemampuan sebagai Pandhe tersebut, kemudian punya senjata pusaka sakti pula.

Sementara pada sisi lain ada tokoh terkenal, Empu Triguna itu. Kemudian arah penyimpulannya terinspirasi dengan Empu Gandring yang menelorkan keris Ken Angkrok, meski kata empu sendiri berarti pujangga. Lalu, apakah mBah Tiguna Kuryo ialah Empu Triguna itu?

 Bahwa jika masa hidup mBah Tiguna berdasar petunjuk cerita tutur di atas disimpulkan meninggal pada tahun 1627M maka mBah Tiguna Kuryo dipastikan tidak mungkin merupakan Empu Triguna si pengarang Kresnayana itu.

Sebab, sebagaimana diketahui, Kresnayana ditulis oleh Empu Triguna saat Prabu Warsajaya memerintah di Kediri pada kurang lebih tahun 1104 M. Artinya, selisih masa hidup mBah Tiguna dan Empu Triguna terjadi terlalu tajam. Sehingga arah analisa menyamakan mBah Tiguna dengan Empu Triguna menjadi tidak logis.

Namun dalam konteks lain bisa saja dimunculkan suatu pertanyaan tentang kemungkinan kisah pendirian Desa Kuryo terinspirasi oleh kisah-kisah dalam Kakawin Kresnayana-nya Empu Triguna sehingga beliau dikenal sebagai Tiguna. Untuk menelisiknya kiranya bisa dibaca synopsis Kisah di dalam Kresnayana.

Begini. Dewi Rukmini, putri prabu Bismaka di negeri Kundina, sudah dijodohkan dengan Suniti, raja negerei Cedi. Tetapi ibu Rukmini, Dewi Pretukirti lebih suka jika putrinya menikah dengan Kresna.

Maka karena hari besar sudah hampir tiba, lalu Suniti dan Jarasanda, pamannya, sama-sama datang di Kundina.

Pretukirti dan Rukmini diam-diam memberi tahu Kresna supaya datang secepatnya. Kemudian Rukmini dan Kresna diam-diam melarikan diri.

Mereka dikejar oleh Suniti, Jarasanda dan Rukma, adik Rukmini, beserta para bala tentara mereka.

Kresna berhasil membunuh semuanya dan hampir membunuh Rukma namun dicegah oleh Rukmini. Kemudian mereka pergi ke Dwarawatidan melangsungkan pesta pernikahan (Wikipedia.com).

Bahwa mencermati isi cerita di atas ternyata tidak ada disinggung-singgung sama sekali kata Kuryo, atau sekedar mirip-mirip sekalipun. Sehingga analisa yang mempertanyakan kemungkinan kisah pendirian Desa Kuryo terinspirasi oleh kisah-kisah dalam Kakawin Kresnayana-nya Empu Triguna sehingga tokoh pendiri Desa Kuryo itu dikenal sebagai mBah Tiguna (?), juga berjawab: tidak.

Sehingga dari penajaman analisa-analisa tersebut justru memperkuat kesimpulan bahwa mBah Tiguna alias mBah Sirna, yang dianggap sebagai pendiri sekaligus leluhur masyarakat Desa Kuryo itu ialah sentana ndalem (kerabat) Penggedhe Kerajaan Pati yang bermasa hidup bersentuhan dengan tahun 1627M.

Selanjutnya, logikanya, jika dikatakan mBah Tiguna adalah kerabat Penggedhe Pati, suatu pangkat berdasarkan geneologis, maka otomatis beliau merupakan Penggedhe Pati juga.

Pertanyaannya adalah mengapa jika mBah Tiguna merupakan Penggedhe Pati kok tidak dikenal menggunakan gelar kebangsawanan?

Mengenai hal ini, adalah fakta sejarah, bahwa banyak ditemui tokoh-tokoh bangsawan dalam menjalankan peran kesejarahannya justru menanggalkan gelar kebangsawanannya demi bebas bergaul masuk ke dalam kehidupan masyarakat biasa, sebagaimana dilakukan oleh Raden Sahid (Sunan Kalijaga atau Sunan Kadilangu).

Simpulan berikutnya adalah mBah Tiguna seorang yang beragama Islam. Karena Pati periode itu adalah kerajaan Islam yang diketahui hampir semua kerajaan Islam di Jawa berada di bawah Dewan Penasehat: Wali Sanga.

Bahkan, karenanya, para Penggedhe Kerajaan Pati, termasuk di dalamnya ialah mBah Tiguna, mestinya juga merupakan santri dari Wali Sanga.

Lalu, siapa kira-kira guru mBah Tiguna?

Jika ditunjuk karena faktor kedekatan wilayah maka sangat mungkin disimpulkan guru beliau ialah Sunan Kudus atau Sunan Muria.

Tapi, dalam perspektif politik, jika analisanya diarahkan ke Sunan Kudus, maka itu hampir tidak mungkin. Karena diketahui Sunan Kudus adalah satu-satunya sunan yang berpendapat bahwa yang berhak atas tahta Demak adalah Harya Penangsang. Bukan Hadiwijaya Pajang, yang notabene andil mendirikan Kerajaan Pati.

Maka dalam perspektif geografis dan politis di atas, ditambah juga dalam perspektif waktu (masa) yang menjelaskan bahwa mBah Tiguna yang bersinggungan dengan tahun 1627M, maka dapat ditarik kesimpulan kemungkinan besar  beliau ialah seorang santri yang berguru Sunan Muria.

Filosofi Desa Kuryo

Berikutnya, pertanyaan yang menarik untuk dijawab ialah bagaimana Desa Kuryo didirikan? Dan, mengapa disebut Kuryo? Apa filosofinya?

Pertama, bahwa di atas telah disimpulkan, mBah Tiguna merupakan penggedhe Kerajaan Islam Pati yang bersentuan dengan tahun 1627M. Beliau juga merupakan santri dari Wali Sanga, khususnya Sunan Muria. dan, beliau ialah pendiri Desa Kuryo.

Kedua, bahwa sebagaimana diteorikan, bahwa dibenak alam pikiran orang Jawa, dalam system kerajaan, raja dipersepsikan hampir memiliki kekuasaan absolute (mutlak).

Dan, sebaliknya, bagi rakyat, termasuk di dalamnya ialah kerabat kerajaan, pegawai kerajaan, prajurit kerajaan dan semua kawula rakyat memiliki kewajiban bersetia mutlak pada raja. Apapun di dalam kerajaan adalah kagungan dalem (milik raja).

Serta, apapun yang terjadi di dalam kerajaan harus atas palilah (ijin) dan demi kebesaran raja.

Sabda pandhita ratu (ucapan atau kehendak raja adalah hukum).

Dan, berangkat dari teori ini dan merujuk pada simpulan-simpulan tesebut di atas maka kejadian berangkat ke wilayah kidul kali, membuka hutan,lalu mendirikan Desa Kuryo oleh mBah Tiguna adalah atas tugas dan palilah Raja Pati dalam posisinya sebagai rakyat, wabilkhusus apalagi sebagai sentana ndalem demi kebesaran raja, kebesaran Kerajaan Pati.

Mengapa di Kidul Kali? Kuryo adalah wilayah kidul kali yang notabene menurut catatan yang diperoleh Graaf belumlah sebuah kota (permukiman) sebagaimana wilayah kota (lor kali) yang ketika Penjawi (kakek Adipati Pragola II) baru masuk Pati saja sudah berpenduduk 10.000 jiwa.

Jadi berangkat dari kondisi obyektif Pati pada saat itu mungkin saja dipilihnya wilayah kidul kali ialah dalam rangka pengembangan kerajaan demi kebesaran raja dan kerajaan.

Atau mungkin ada kemungkinan yang lain.

Misalnya, bisa saja mBah Tiguna diberi kebebasan oleh sang Adipati Pati untuk memilih lokasi babad alasnya sesuai dengan kata hati atau pertimbangan-pertimbangan pribadinya.

Kemudian, mengapa diberi nama Kuryo? Apa filosofinya?

Kata Kuryo tidak ada dalam bausastra Jawa. Tapi secara geografis, kata Kuryo digunakan pula sebagai nama suatu wilayah selain untuk Desa Kuryo wilayah Kecamatan Gabus Kabupaten Pati ini.

 Sepengetahuan penulis, ada salah satu wilayah (lingkungan) di Kelurahan Jatipurno Kecamatan Jatipurno Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah, yang bernama juga, Kuryo.

Selain itu secara social kata Kuryo juga digunakan sebagai nama orang, bahkan orang ini merupakan juga merupakan tokoh pendiri desa, yakni Desa Tunggu, berada di wilayah Kecamatan Penawangan Kabupaten Grobogan Provinsi Jawa Tengah, namanya mBah Kuryo.

Cerita singkatnya begini. Ada tiga orang yaitu Sojoyo (anak Kepala Desa Watu Pawon), Mbah Kuryo, dan Mbah Mengir dari Sekar Lor. Pada masa kekuasaan Hindia Belanda tahun 1825, konon Mbah Mengir pindah ke suatu tempat.

Dia menunggu kedua temannya (Sojoyo dan Mbah Kuryo), yang terlambat datang. Sehingga atas peristiwa itu, akhirnya wilayah tersebut dinamakan 'Tunggu' (Wikipedia.com).

Pertanyaannya adalah apakah nama wilayah Kuryo di Jatipurno dan nama tokoh mBah Kuryo di desa Tunggu tersebut ada hubungannya dengan proses berdirinya Desa Kuryo Gabus Pati, khususnya dengan penamaannya yang memilih kata Kuryo?

Hingga kini penulis belum menjumpai data sebagai instrumen yang melengkapi analisa hingga ke kesimpulan itu.

Bahwa secara umum, penamaan sesuatu merupakan buah dari pola pikir, kehendak dan sikap (kepribadian) seseorang, yang bisa pula ia dipengaruhi lingkungan.

Sementara kepribadian seseorang dapat dipengaruhi oleh latar belakang pengalamannya dan seterusnya.

Dan, berdasar simpulan data-data yang ada, sebagaimana mBah Tiguna merasa punya kewajiban mengemban visi Kerajaan Pati yang Islam di bawah nasehat Wali Sanga, mBah Tiguna yang seorang santri Sunan Muria.

Sementara itu berkaitan dengan bahasa (termasuk penamaan suatu tempat), diteorikan oleh sejarah bahwa sejak awal kedatangannya, orang-orang muslim di nusantara mengembangkan dan memperbanyak perbendaharaan bahasa local (termasuk bahasa Jawa) maupun bahasa Melayu, sebagai linguafranca, dengan kata-kata yang diambil dari bahasa Arab (Pusponegoro, Marwati Djoened, Sejarah Nasional Indonesia III, BP, 1993, hal. 178).

Maka jawaban atas pertanyaan mengapa diberi nama Kuryo barangkali bisa dipahami dari ilustrasi sebagai berikut.

Bahwa setelah hutan dibuka dan permukiman selesai dibangun, mBah Tiguna mendirikan sholat malam dan mohon petunjuk Alloh SWT. Begitu selesai salam maka disambung ritual dzikir hingga, ---mungkin karena kecapekan, beliau tertidur.

Dan, dalam tidurnya itu beliau bermimpi bertemu ayah gurunya, alias guru sepuh Kanjeng Sunan Kadilangu yang berkenan berkeliling, melihat-lihat permukiman yang baru saja dibangunnya itu sembari memuji-muji, “Qoryah thoyyibah, qoryah thoyyibah, qoryah thoyyibah…”.

Begitu selesai berujar “qoryah thoyyibah” hingga tiga kali tersebut, Kanjeng Sunan Kadilangu menghilang dari hadapan mBah Tiguna. Sontak Ki Tiguna terbangun.

“Asytaghfirulloh…! Asyaghfirullohil’adziiim.. Hm… Alhamdulillah… Rupanya Gusti Alloh SWT berkehendak memberi petunjuk melalui guru sepuh Kanjeng Sunan Kadilangu… Em… Qoryah thoyyibah? Desa yang baik? Desa yang berdaya?”.

Pagi harinya Ki Tiguna mengumpulkan segenap pengikutnya dan berpidato.

“Wahai para pengikutku… Alhamdulillah, kita tak henti-hentinya memuji syukur kehadirat Gusti Alloh SWT yang karena atas keridlaann-Nya, kita telah berhasil mengemban tugas, membuka hutan, membangun permukiman, demi kebesaran kerajaan kita, Kerajaan Pati… Maka atas petunjuk Gusti Alloh SWT melalui guruku, ya guru sepuh Kanjeng Sunan Kadilangu… desa ini saya beri nama Qoryah Thoyyibah!...”.

Bagi para pengikut mBah Tiguno yang rata-rata pada waktu itu ilmu agamanya (khusunya ilmu kebahasaan arabnya) memang masih sangat kurang, maka penamaan desa dengan kata Qoryah Thyyibah tersebut, menjadi saling salang-surup di indra dengar mereka.

“Apa?.. Qoryah?!..”, tanya yang satu. “Ya!.. Kuryo!!!...”, sahut keras yang lainnya.

Maka segera saja diikuti teriakan para temannya yang duduk di belakang beramai-ramai bahagia menyambut peresmian desa mereka itu sembari juga meneriakkan nama desa baru mereka tersebut, tentu sependengaran sesuai dengan persepsi mereka pula, berulang-ulang kali.

“Kuryo!... Kuryo!... Kuryo!... Kuryo!...Kuryo!... Kuryo!...Kuryo!... Kuryo!...Kuryo!...!...”.

MBah Tiguno yang sangat mengerti tingkat pemahaman agama para pengikutnya itu, kontan saja memaklumi dan balik mengiyakan penyebutan nama desa itu.

“Ya… ya… ya… Kuryo… Kuryo… Kuryo…, desa Kuryo!..., desa Kuryo!..., desa Kuryo!....”

Maka resmi mulai saat itu terbentuklah desa Kuryo!

Kuryo dan Makna Konstekstualnya

Sebagaimana kata mBah Tiguna tentang filosofi Kuryo, “Em… Qoryah thoyyibah? Desa yang baik? Desa yang berdaya?”.

Maka pertanyaan berikutnya ialah apa makna kontekstual dari filosofi itu?

Dalam litaratur Islam memang ada paradigma Qoryah Thoyyibah.

Secara harfiah, qoryah thoyyibah diartikan sebagai desa yang indah, baik, berdaya dan mulia seterusnya.

Pertanyaannya adalah apakah secara kontekstual desa Kuryo sudah layak disebut sebagai berada dalam track paradigm qoryah thoyyibah, sebagaimana konsep awal penamaannya tersebut?

Bahwa ada orang bilang, sudah sejak lama masyarakat Desa Kuryo merupakan salah satu masyarakat yang paling religious (muslim) di Kecamatan Gabus Kabupaten Pati Provinsi Jawa tengah.

Religious dalam parameter yang bagaimana (?) tentu masih perlu dijabarkan lebih lanjut.

Kemudian kaitannya dengan nama Kuryo, ada yang mengakronimkan (gothak gathuk mathuk) kata Kuryo versi Jawa, sebagai mungkur mulya, yang terjemah bebasnya ialah hijrahlah maka akan mulia (thoyyibah).

Konsep Kuryo sebagai hijrah ini sebenarnya diiyakan pula oleh legenda Desa Kuryo, dengan symbol menyeberangnya mBah Tiguna dari lor kali ke kidul kali untuk kebesaran raja, kebesaran Kerajaan Pati, demi kebaikan, kemuliaan (thoyyibah).

Sehingga menurut penulis, akronim Kuryo versi Jawa dan paradigm qoryah thoyyibah dalam koridor legenda Desa Kuryo tersebut, merupakan dua konsep yang saling memiliki relevansi dan berpotensi berposisi sangat strategis sebagai modal spiritual pembangunan di masyarakat Kuryo pada khususnya dan di Desa Kuryokalangan pada umumnya.

Ada fakta menarik berkaitan dengan hal ini. Yakni, entah kebetulan yang dimitoskan atau merupakan suatu barokah dari penamaan Desa Kuryo tersebut, bahwa kini orang Kuryo yang sukses (ukurannya bisa subyektif, tentunya) rata-rata adalah buah dari mungkur (hijrah), misalnya merantau, pindah tempat dulu kemudian baru pulang, dan seterusnya.

Dalam konteks yang lebih luas tentu saja makna hijrah tidak harus dalam arti fisik, pindah tempat. Berubah fikiran menjadi lebih baik, menjadi lebih maju dan seterusnya juga merupakan makna hijrah.

Selanjutnya, perlu disampaikan, bahwa menurut cerita tutur pula di Kuryo dikenal ada tempat-tempat yang memiliki nama-nama unik tersendiri dan konon, juga berpenghuni tersendiri.

Dikatakan, bahwa di bantaran kali etan desa, sungai alur jembatan Guder ada tempat yang disebut Bokong Semar. Kata sebagian orang, ia merupakan tempat tinggal makhluk ghaib yang disebut Kyaine berupa sesosok macan.

Kemudian di bantaran kali kulon desa, sungai alur jembatan Jethis, katanya merupakan tempat tinggalnya makhluk ghaib yang diidentifikasi sebagai thengel dan ubel. Thengel dibayangkan mirip bocah berambut merah dan ubel mirip-mirip bengkung, kain panjang yang dipakai sabuk para wanita Jawa.

Di sawah bengkok Bayanan, kata sebagian orang juga merupakan tempat tinggal makhluk ghaib yang dikenal dengan nama Soireng yang dibayangkan seperti gorilla tinggi besar.

Kemudian di sawah tepi permukiman desa bagian tengah barat juga dikatakan ada tempat makhluk ghaib yang disebut dengan istilah ngLebur.

Di persawahan di timur desa ada gundukan tanah yang disebut Kepundhung. Konon katanya, di situ kadang-kadang pada tengah malam ada suara gaduh, orang bercakap-cakap.

Dan, di persawahan arah tenggara desa, di tepi jalan menuju desa Kedalingan, dulunya, katanya juga ada tempat yang disebut Kuburan Kampak (kawak?).

Apa arti informasi mengenai tempat dan makhluk-makhluk ghaib itu, khususnya kaitannya dengan Legenda Desa Kuryo?

Dalam hal ini jika dikaitkan dengan konsep hijrahnya akronim Kuryo, paradigm qoryah thoyyibahnya legenda desa Kuryo dan filosofi senjata pusaka Tumbak Lokuwato-nya mBah Tiguno yang menegaskan bahwa tidak ada kekuatan yang sejati terkecuali kekuatan dari Alloh SWT yang Mahaagung itu.

Maka apa yang dikatakan sebagai tempat-tempat dan makhluk-makhluk ghaib itu, jika pun benar adanya, dan bila pun mungkin pada awal-awalnya menghalangi kiprah mBah Tiguna dalam babad alas dan kemudian ditaklukkan dengan menjadi tetap hidup berdampingan (saling mengerti posisi dan proporsi kemakhlukannya di hadapan Tuhan).

Bisa saja system kepercayaan yang masih ada pada sebagian orang tersebut secara antropologis merupakan symbol bahwa dalam berhijrah demi kebaikan (thoyyibah) kadang-kadang harus melewati rintangan-rintangan.

Yang terpenting, bagaimana mengelola rintangan itu menjadi berdaya guna untuk mendukung tujuan, atau minimal di-nolkan, tidak lagi menghambat.

Demikian. Kurang lebihnya mohon maaf. Ditunggu masukannya. Terimakasih.***

CATATAN:

Sumber cerita tutur: Cerita tutur mengenai berdirinya Desa Kuryo ini diambil dari berbagai nara sumber. Namun sumber utamanya ialah dari Bapak H. Thoyib (lahir: 1931M) yang bersanad cerita dari Mbah H. Noor Hadam (1863-1958M), ayah beliau dan mBah H. Ahmadi, paman beliau. Adapun mBah H. Noor Hadam dan mBah H. Ahmadi merupakan anak dari mBah buyut Sadiyo (1833-1915) bin Petinggi Pondhok.

Istri mBah buyut Sadiyo, mBah buyut Khatimah (1843-1926M) merupakan anak perempuan Petinggi Desa Kuryo ke-5, mBah canggah Kalidin (1747-1843M) dan Nyai canggah Burik.

Sementara, Nyai canggah Burik adalah anak perempuan dari Petinggi Desa Kuryo ke-4, mBah udheg-udheg siwur Kasat (1722-1810M).

Dan, mBah udheg-udheg siwur Kasat merupakan anak dari Petinggi Desa Kuryo ke-3, yakni mBah Tiguna III, cucu mBah Tiguna II, dan buyut dari Sang Babad Alas Bokong Semar ya pendiri Desa Kuryo, mBah Tiguna alias mBah Sirna (-1627M).

PENULIS sedang menggarap Legenda Desa Kuryo ini dengan gaya NOVEL.***
 Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/khoeriam/substansi-legenda-desa-kuryo-hijrah-dan-mulia_584e0482af927342078b4569

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun