Sementara itu berkaitan dengan bahasa (termasuk penamaan suatu tempat), diteorikan oleh sejarah bahwa sejak awal kedatangannya, orang-orang muslim di nusantara mengembangkan dan memperbanyak perbendaharaan bahasa local (termasuk bahasa Jawa) maupun bahasa Melayu, sebagai linguafranca, dengan kata-kata yang diambil dari bahasa Arab (Pusponegoro, Marwati Djoened, Sejarah Nasional Indonesia III, BP, 1993, hal. 178).
Maka jawaban atas pertanyaan mengapa diberi nama Kuryo barangkali bisa dipahami dari ilustrasi sebagai berikut.
Bahwa setelah hutan dibuka dan permukiman selesai dibangun, mBah Tiguna mendirikan sholat malam dan mohon petunjuk Alloh SWT. Begitu selesai salam maka disambung ritual dzikir hingga, ---mungkin karena kecapekan, beliau tertidur.
Dan, dalam tidurnya itu beliau bermimpi bertemu ayah gurunya, alias guru sepuh Kanjeng Sunan Kadilangu yang berkenan berkeliling, melihat-lihat permukiman yang baru saja dibangunnya itu sembari memuji-muji, “Qoryah thoyyibah, qoryah thoyyibah, qoryah thoyyibah…”.
Begitu selesai berujar “qoryah thoyyibah” hingga tiga kali tersebut, Kanjeng Sunan Kadilangu menghilang dari hadapan mBah Tiguna. Sontak Ki Tiguna terbangun.
“Asytaghfirulloh…! Asyaghfirullohil’adziiim.. Hm… Alhamdulillah… Rupanya Gusti Alloh SWT berkehendak memberi petunjuk melalui guru sepuh Kanjeng Sunan Kadilangu… Em… Qoryah thoyyibah? Desa yang baik? Desa yang berdaya?”.
Pagi harinya Ki Tiguna mengumpulkan segenap pengikutnya dan berpidato.
“Wahai para pengikutku… Alhamdulillah, kita tak henti-hentinya memuji syukur kehadirat Gusti Alloh SWT yang karena atas keridlaann-Nya, kita telah berhasil mengemban tugas, membuka hutan, membangun permukiman, demi kebesaran kerajaan kita, Kerajaan Pati… Maka atas petunjuk Gusti Alloh SWT melalui guruku, ya guru sepuh Kanjeng Sunan Kadilangu… desa ini saya beri nama Qoryah Thoyyibah!...”.
Bagi para pengikut mBah Tiguno yang rata-rata pada waktu itu ilmu agamanya (khusunya ilmu kebahasaan arabnya) memang masih sangat kurang, maka penamaan desa dengan kata Qoryah Thyyibah tersebut, menjadi saling salang-surup di indra dengar mereka.
“Apa?.. Qoryah?!..”, tanya yang satu. “Ya!.. Kuryo!!!...”, sahut keras yang lainnya.
Maka segera saja diikuti teriakan para temannya yang duduk di belakang beramai-ramai bahagia menyambut peresmian desa mereka itu sembari juga meneriakkan nama desa baru mereka tersebut, tentu sependengaran sesuai dengan persepsi mereka pula, berulang-ulang kali.