Mohon tunggu...
Keanu Gerald
Keanu Gerald Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Bakrie

Saya adalah Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas bakrie.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Efektivitas Strategi Kontra-Pemberontakan (Counterinsurgency) Pemerintah Nigeria terhadap Kelompok Boko Haram

13 Juli 2022   23:55 Diperbarui: 14 Juli 2022   00:27 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Intan Lestari - 1191004070

Keanu Gerald Johanes Prakoso - 1191004070

ABSTRAK

Kelompok pemberontak Boko Haram adalah gerakan fundamentalis Islam yang menentang peradaban barat (Eropa) termasuk metode mata pencaharian, sistem politik, dan pendidikan mereka. Boko Haram melakukan kekerasan untuk menggulingkan sistem politik Nigeria. 

Kelompok ini ingin mengatur sistem dan merestrukturisasi sistem sosial-ekonomi Nigeria melalui kepatuhan yang ketat terhadap doktrin-doktrin Islam dari Al-Qur'an dan Hadits. 

Akibatnya, dalam penyebaran kampanyenya, Boko Haram terlibat dalam serangan berdarah terhadap warga sipil termasuk konfrontasi sengit dengan anggota pasukan keamanan Nigeria. Tulisan ini bertujuan menganalisis efektivitas strategi kontra-pemberontakan (counterinsurgency) yang dilakukan oleh pemerintah Nigeria dalam menghadapi kelompok Boko Haram. 

Berdasarkan hasil analisis, disimpulkan bahwa enemy-centric approach dalam strategi kontra-pemberontakan (counterinsurgency) untuk menumpas Boko Haram sejauh ini belum efektif atau bahkan tidak efektif. 

Konsekuensi penggunaan kekerasan dalam memerangi Boko Haram tidak hanya mengurangi dukungan penduduk terhadap kekuatan kontra-pemberontak, namun juga mengubah integritas pemerintah. Pemerintah Nigeria harus mengubah pendekatannya dari enemy-centric approach menjadi population-centric approach.

Kata Kunci: Boko Haram, Counterinsurgency, Nigeria, Pemberontak

LATAR BELAKANG

Pemberontakan di sub-kawasan Afrika Barat telah menjadi masalah keamanan utama bagi masing-masing negara dan Komisi Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat (ECOWAS) sebagai organisasi regional. Kegiatan pemberontak di Afrika Barat telah menyebabkan pemberontakan di banyak negara, salah satunya  di Nigeria (Bala & Tar, 2021). 

Selama lebih dari dua dekade atau lebih, masyarakat Nigeria telah berada di bawah peningkatan tantangan ketidakamanan yang disebabkan oleh kegiatan jahat kelompok pemberontak Boko Haram, kelompok teroris Ansaru dan Negara Islam Provinsi Afrika Barat (ISWAP), serta ancaman para penggembala Fulani, bandit bersenjata, perampokan bersenjata, dan sindikat penculikan (Oluka, 2022).

Kelompok pemberontak Boko Haram adalah gerakan fundamentalis Islam yang menentang peradaban barat (Eropa) termasuk metode mata pencaharian, sistem politik, dan pendidikan mereka. Boko Haram melakukan kekerasan untuk menggulingkan sistem politik Nigeria. 

Kelompok ini ingin mengatur sistem dan merestrukturisasi sistem sosial-ekonomi Nigeria melalui kepatuhan yang ketat terhadap doktrin-doktrin Islam dari Al-Qur'an dan Hadits. Akibatnya, dalam penyebaran kampanyenya, Boko Haram terlibat dalam serangan berdarah terhadap warga sipil termasuk konfrontasi sengit dengan anggota pasukan keamanan Nigeria (Gana et al., 2018).

Konfrontasi Boko Haram dengan pasukan keamanan Nigeria menyebabkan kerusakan kolosal pada mata pencaharian sosial ekonomi dan politik banyak orang Nigeria. Rata-rata sejak 2009, sekitar 30.000 orang dibantai (Agbiboa, 2015). Selain itu, lebih dari 2 juta orang mengungsi secara paksa sebagai Internally Displaced Persons dan pengungsi (UNHCR, 2016). 

Pada tahun 2017, terlepas dari repatriasi ribuan orang, Badan Pengungsi Dunia (UNHCR) melaporkan keberadaan 219.305 pengungsi Nigeria di Kamerun, dan lebih dari 90.000 di Republik Chad (Gana et al., 2018)

Sejak Boko Haram menggencarkan gerakannya, banyak tindakan kontra-pemberontakan (counterinsurgency) yang diambil oleh Pemerintah Nigeria dan kelompok sipil untuk menangani kelompok tersebut. Namun, hingga saat ini tindakan tersebut belum benar-benar berhasil menangani Boko Haram. 

Aaron (2015) menyebutkan bahwa strategi kontra-pemberontakan yang dilakukan oleh pemerintah Nigeria dianggap belum efektif. Langkah Nigeria belum mencapai banyak keberhasilan dalam melawan Boko Haram.
Nigeria telah mengalami rasa tidak aman dalam beberapa tahun terakhir. 

Pasukan keamanan memerangi pemberontakan bersenjata 13 tahun oleh kelompok Boko Haram di timur laut negara itu dan geng kriminal bersenjata berat yang beroperasi di barat laut. Kekerasan secara bertahap bergerak menuju pusat negara, Abuja.

Terbaru, Boko Haram telah menyerbu sebuah penjara di dekat ibu kota Nigeria pada 5 Juli 2022. Atas insiden tersebut, lebih dari 600 narapidana telah melarikan diri, namun setengahnya telah ditangkap kembali. 

Menurut pihak yang berwenang, Boko Haram datang untuk membebaskan anggotanya yang ditahan di penjara (Al Jazeera, 2022). Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas strategi kontra-pemberontakan (counterinsurgency) yang dilakukan oleh pemerintah Nigeria dalam menghadapi kelompok Boko Haram. 

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan dijawab dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana strategi kontra-pemberontakan yang dilakukan oleh pemerintah Nigeria dalam menghadapi kelompok Boko Haram?

2. Seberapa efektif strategi kontra-pemberontakan yang dilakukan oleh pemerintah Nigeria dalam menghadapi kelompok Boko Haram?

KERANGKA TEORI

1. Konsep Dasar Pemberontakan (Insurgency)

A. Definisi

Istilah pemberontakan sering memunculkan interpretasi yang sangat berbeda di tangan para ahli dan pakar. Makna yang diterima secara umum tetap sulit dipahami dengan kebingungan konseptual yang dapat diprediksi. Istilah pemberontakan terus digunakan secara bergantian dan tidak tepat dengan perang tidak teratur, 

perang tidak konvensional, perang revolusioner, perang gerilya, dan bahkan terorisme. Pertukaran istilah dapat dimengerti, mengingat sifat dan kemampuan beradaptasi yang beragam dari mereka yang melakukan pemberontakan dan sifat-sifat yang tumpang tindih dari jenis konflik ini (Moore, 2007).

Pemberontak menggunakan taktik gerilya dan teroris, mendukung penyebab revolusioner dan radikal, menimbulkan ancaman asimetris terhadap kekuatan konvensional modern, beroperasi di tepi hukum dan moral masyarakat, dan mengaburkan perbedaan antara warga sipil dan kombatan. 

Penggunaan istilah pemberontakan menciptakan kebingungan hukum, karena menyiratkan tingkat legitimasi yang dapat menimbulkan masalah politik bagi pemerintah yang berkuasa (Moore, 2007).

Kamus Oxford mendefinisikan pemberontakan sebagai pemberontakan bersenjata terhadap otoritas yang dibentuk ketika mereka yang mengambil bagian dalam pemberontakan tidak diakui sebagai pihak yang berperang.

 Sementara itu, Departemen Pertahanan Amerika Serikat mendefinisikan pemberontakan sebagai gerakan terorganisir yang bertujuan untuk menggulingkan suatu pemerintahan melalui cara-cara subversif dan konflik bersenjata. 

Implikasi dari definisi ini adalah bahwa kelompok-kelompok pemberontak menggunakan cara-cara rahasia dan melawan hukum untuk mencapai suatu tujuan, yang bisa berupa politik, agama, sosial atau bahkan ideologis (Kingsley, 2019).

Kilcullen dalam (Kingsley, 2019) mendefinisikan pemberontakan sebagai perjuangan untuk mengontrol ruang politik yang diperebutkan, antara negara atau sekelompok negara atau kekuatan pendudukan, dan satu atau lebih penantang non-negara yang berbasis populer.

Walaupun demikian, Kilcullen menarik garis antara pemberontakan klasik dan kontemporer. Dia mengatakan bahwa pemberontakan kontemporer berusaha untuk menggantikan tatanan yang ada, sedangkan pemberontakan klasik kadang-kadang berusaha untuk mengusir penjajah asing dari wilayah mereka atau berusaha untuk mengisi kekosongan kekuasaan yang ada.

Drew (1988) mendefinisikan pemberontakan tidak lebih dari sebuah revolusi bersenjata melawan tatanan politik yang mapan. Menurut US Army-Marine Corps Counterinsurgency Field Manual (FM 3-24), pemberontakan sebagai perjuangan politik-militer yang terorganisir dan berlarut-larut yang dirancang untuk melemahkan kontrol dan legitimasi pemerintahan yang mapan, kekuasaan pendudukan, atau otoritas politik lainnya.

Berdasarkan definisi-definisi yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemberontakan adalah konflik kekerasan yang berkepanjangan di mana satu atau lebih kelompok berusaha untuk menggulingkan atau secara mendasar mengubah tatanan politik atau sosial di negara bagian atau wilayah melalui penggunaan kekerasan berkelanjutan, subversi, gangguan sosial, dan tindakan politik. 

B. Penyebab

Penyebab pemberontakan sering berfokus pada beberapa masalah yang dapat  diidentifikasi dan implikasinya dapat diperbaiki. Secara struktural, pemberontakan paling sering terjadi dalam kondisi politik, sosial, atau ekonomi yang kurang berkembang atau tidak adil. 

Mereka mungkin diperburuk oleh rezim yang menindas atau korup, faksionalisme etnis, kurangnya sumber daya alam atau perbedaan dalam distribusi mereka, stratifikasi sosial, atau pendudukan militer. Gangguan yang disebabkan oleh modernisasi atau globalisasi seringkali menyoroti kelemahan politik dan ekonomi pribumi. 

Urbanisasi dengan ketidakadilan politik dan sosial yang terkait telah berkembang menjadi faktor penting dalam mendorong kerusuhan. 

Kesenjangan struktural menjadi semakin besar dan terdistorsi oleh pandangan dunia yang bersaing, mitos sejarah, prasangka sosial yang telah lama dipegang, dan radikalisme, terutama yang mendukung intoleransi etnis atau agama dan eksklusivitas budaya sebagai solusi untuk masalah yang mereka tuduhkan (Moore, 2007).

Secara historis, pemberontakan yang paling keras dan berdarah berakar pada keyakinan ekstremis dan eksklusif tentang identitas, terutama etno-nasionalisme, eksklusivitas budaya, agama, atau kombinasi dari ketiganya. Identitas individu dan kelompok, 

dan sering dikaitkan dengan pandangan dunia, sikap, dan mitos sejarah yang dipegang secara radikal (terutama jika itu melibatkan tragedi masa lalu) jarang meninggalkan ruang untuk kompromi. 

2. Kontra-Pemberontakan (Counterinsurgency)

A. Definisi

Kontra-pemberontakan (counterinsurgency) merupakan kebailkan dari pemberontakan (insurgency). Counterinsurgency didefinisikan sebagai kombinasi tindakan yang dilakukan oleh pemerintah sah suatu negara untuk mengekang atau menekan pemberontakan yang dilakukan terhadapnya. 

Jadi, ketika pemberontak misalnya mencoba untuk menghapus atau menggulingkan otoritas politik yang ada, kekuatan kontra-pemberontak mencoba untuk mengembalikan struktur politik yang ada (Liolio, 2013).

Kontra-pemberontak perlu untuk menegakkan hukum dan ketertiban, sesuatu yang secara teknis membatasi tindakan potensial mereka dalam memerangi pemberontakan. Di sisi lain, pemberontak dicirikan oleh kurangnya sumber daya atau kekuatan serta kurangnya tanggung jawab secara umum dalam menghancurkan properti negara saat meluncurkan keluhan mereka (Kingsley, 2019). 

Akibatnya, pemberontak jauh lebih bebas untuk melanggar undang-undang negara atau norma-norma sosial, menargetkan warga sipil serta memutuskan di mana dan kapan konflik dimulai.

Kontra-pemberontakan didefinisikan sebagai tindakan militer, paramiliter, politik, ekonomi, psikologis, dan sipil yang diambil oleh pemerintah untuk mengalahkan pemberontakan (Siegel, 2007). 

Kilcullen (2006) mengatakan kontra-pemberontakan paling baik didefinisikan sebagai istilah 'payung' yang menggambarkan rangkaian lengkap tindakan yang diambil pemerintah untuk mengalahkan pemberontakan. 

Menurut Panduan Kontra-pemberontakan Pemerintah AS, kontra-pemberontakan dapat didefinisikan sebagai upaya sipil dan militer komprehensif yang dilakukan secara bersamaan untuk mengalahkan dan mengatasi pemberontakan dan mengatasi akar penyebabnya.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kontra-pemberontakan adalah seperangkat tindakan politik, ekonomi, sosial, dan keamanan terpadu yang dimaksudkan untuk mengakhiri dan mencegah terulangnya kekerasan bersenjata, menciptakan dan mempertahankan struktur politik, ekonomi, 

dan sosial yang stabil, dan menyelesaikan penyebab yang mendasari pemberontakan untuk membangun dan mempertahankan kondisi yang diperlukan untuk stabilitas yang langgeng. 

B. Sifat

Kontra-pemberontakan adalah pendekatan proaktif yang melibatkan semua elemen kekuatan nasional, bahkan sampai ke tingkat taktis. Operasi kontra-pemberontakan berusaha untuk mencapai kesatuan upaya di antara banyak organisasi bersama, antar lembaga, antar pemerintah, dan multinasional. 

Kontra-pemberontakan mencakup perencanaan taktis, pengembangan dan analisis intelijen; pelatihan, bantuan material, teknis, organisasi, nasihat, pembangunan infrastruktur, operasi tingkat taktis, dan keterlibatan informasi. Kontra-pemberontakan adalah upaya kompleks yang mengintegrasikan berbagai badan sipil dan militer. 

Seringkali lebih berpusat pada populasi (berfokus pada mengamankan dan mengendalikan populasi atau populasi tertentu) daripada berpusat pada musuh (berfokus pada mengalahkan kelompok musuh tertentu) (Kingsley, 2019).

3. Jenis-Jenis Pendekatan Strategi Kontra-Pemberontakan (Counterinsurgency)

Dari kontra-pemberontakan yang dilakukan selama satu abad terakhir, hampir 40% berhasil baik menekan pemberontak ke titik yang terbukti dapat dikelola oleh pasukan keamanan lokal atau mengakhiri pemberontakan sama sekali. Secara umum, hasil ini mencerminkan dua pendekatan strategis dasar, yaitu sebagai berikut (Moore, 2007):

A. Pendekatan yang Berpusat pada Musuh (Enemy-Centric Approach)

Pendekatan ini berfokus pada pemusnahan total para pemberontak atau formasi dan kader gerilya mereka sambil meminimalkan pentingnya pembangunan bangsa serta langkah-langkah untuk mendapatkan dukungan rakyat. 

Meskipun terkadang berhasil mengakhiri kekerasan, pendekatan ini membutuhkan kekuatan yang luar biasa dan kemauan untuk menerapkan tindakan ekstrem terhadap tidak hanya para pemberontak, tetapi juga penduduk secara keseluruhan. Sayangnya, pendekatan ini juga menghasilkan rezim yang represif dan otoriter.

B. Pendekatan yang Berpusat pada Populasi (Population-Centric Approach)

Pendekatan ini terbukti paling berhasil dalam mencapai stabilitas jangka panjang, berupaya menyelesaikan konflik dalam semua dimensinya. Dalam pendekatan ini, kontra-pemberontakan terutama bukan tentang kekalahan musuh bersenjata, 

melainkan, tujuan utamanya berpusat pada pembentukan stabilitas yang langgeng di suatu negara bagian atau wilayah. Pendekatan ini berfokus dalam melindungi populasi dan mempertahankan atau memenangkan dukungannya.

Pendekatan strategi ini mencapai tiga tujuan, yaitu: (1) Kekerasan dan subversi dibawa ke tingkat yang dapat dikelola oleh pasukan keamanan lokal, (2) Institusi politik, ekonomi, dan sosial dibangun untuk mengatasi banyak masalah struktural yang memicu ketidakstabilan, dan (3) Kebencian, ketidakpercayaan, dan prasangka yang menyulut konflik berubah.

Singkatnya, akar penyebab pemberontakan telah diatasi dan diselesaikan. Kemenangan tidak hanya terletak pada kekalahan pasukan pemberontak, namun melibatkan hasil yang jauh lebih luas yang memulihkan dan kemudian mempertahankan stabilitas, 

menghalangi pemberontakan muncul kembali bukan karena pejuangnya telah terbunuh atau ditekan, tetapi karena kondisi yang memicu pemberontakan konflik tidak ada lagi. Jika pemberontakan disebabkan oleh tindakan, struktur, dan keyakinan yang memicu pada ketidakstabilan, maka kontra-pemberontakan harus memerangi penyebab tersebut dalam semua dimensinya. 

4. Tugas Strategi Kontra-Pemberontakan (Counterinsurgency)

Strategi kontra-pemberontakan yang efektif terdiri dari beberapa tugas penting yang bila diintegrasikan, menyediakan jalan untuk menyelesaikan pemberontakan. Adapun tugas-tugas tersebut adalah sebagai berikut (Moore, 2007):

A. Membangun dan Menjaga Keamanan

Tugas ini terdiri dari tiga subkomponen yang saling terkait: perlucutan senjata, demobilisasi, dan reintegrasi. Dalam sebagian besar strategi kontra-pemberontakan, pemulihan keamanan pada awalnya dianggap sebagai kepentingan utama, terutama dalam kasus-kasus di mana serangan pemberontak atau efek kekerasan menimbulkan risiko keamanan manusia (human security) atau mengancam keberadaan pemerintah. 

Memulihkan keamanan mencakup lebih dari sekedar mengalahkan atau melenyapkan gerilyawan dan teroris atau pemberlakuan ketertiban secara paksa. Ini mencakup semua tindakan yang diambil untuk mengalahkan pemberontak, mengakhiri kekerasan faksi, menekan kerusuhan sipil, dan menghilangkan aktivitas kriminal.

Memulihkan keamanan seringkali terbukti sangat sulit, dan cenderung membutuhkan tenaga kerja yang intensif dengan penekanan yang besar pada keterampilan dasar individu dan unit kecil. Ini menuntut pasukan terlatih, kesadaran situasional, budaya, keterlibatan presisi, dan menahan diri dalam penggunaan kekuatan. 

B. Memberikan Bantuan Kemanusiaan dan Layanan Penting

Tugas ini memberikan bantuan segera dan membangun kembali infrastruktur penting yang rusak dan hancur sambil membina dan mendukung kapasitas lokal dan nasional untuk mempertahankan jaringan dan kemampuan komersial, transportasi, utilitas, komunikasi, dan layanan sosial yang diperlukan. 

Tugas ini sering meningkatkan efektivitas pasukan keamanan dengan meminimalkan kerentanan penduduk sipil dan mengurangi efek operasi militer yang seringkali merusak. Rekonstruksi pembangunan kembali infrastruktur seringkali merupakan langkah pertama dalam membangun pembangunan politik dan ekonomi jangka panjang.

C. Mempromosikan Tata Kelola yang Efektif

Dimulai secara lokal dan meluas ke tingkat nasional, operasi kontra-pemberontakan yang efektif memupuk pengembangan dan keberlanjutan lembaga-lembaga politik dan hukum yang mampu menyediakan pemerintahan di dalam supremasi hukum, memenuhi kebutuhan sosial dasar masyarakat, dan memberikan keamanan internal dan eksternal kepada rakyat. negara. 

Namun, alih-alih memasang apa yang disebut demokrasi, strategi kontra-pemberontakan paling sering mencari pemerintahan yang menciptakan kontrak sosial yang mengikat (di mana kepemimpinan politik dan birokrasi melihat sebagai tugas utamanya meningkatkan kesejahteraan rakyat sementara warga negara menganggapnya sebagai tugas utama). 

Pemerintah secara sah mewakili kepentingan mereka dan dengan demikian layak mendapat dukungan dan kesetiaan rakyat. Membangun pemerintahan yang efektif dimulai di kota-kota utama dan kota-kota besar.

D. Mempertahankan Pembangunan Ekonomi

Tugas membangun dan mempertahankan pembangunan ekonomi, seringkali merupakan kunci untuk akhirnya menyelesaikan penyebab utama pemberontakan, dibangun di atas upaya lain, terutama yang terkait dengan menjaga stabilitas, melakukan rekonstruksi, 

dan membangun pemerintahan yang efektif. Ini menciptakan dan mendukung struktur, praktik, dan sikap ekonomi yang memfasilitasi pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran jangka panjang. Pasukan militer memainkan peran kunci dalam melindungi pertumbuhan ekonomi, memulai perkembangannya di tingkat lokal, dan memastikan kondisi tetap matang untuk ekspansi.

E. Mendukung Rekonsiliasi

Agar kondisi-kondisi yang mendasari pemberontakan dapat diselesaikan, luka-luka psikologis dan sosial yang tak terhindarkan yang menyertai pemberontakan harus ditangani. Tujuan rekonsiliasi berpusat pada penyatuan kembali populasi dan negara-negara yang menderita akibat kekerasan internal selama bertahun-tahun dan luka psikologis yang ditimbulkan olehnya. 

Kebencian, ketidakpercayaan, dan permusuhan yang berkepanjangan antara penduduk dan aparat keamanan dan kelompok-kelompok pemberontak, antara etno-nasionalis atau faksi agama, atau diarahkan pada individu atau kelompok harus dijinakkan dan akhirnya diatasi. Balas dendam yang dilakukan di zona yan diamankan oleh pasukan keamanan hampir selalu memicu kekerasan baru. 

Rekonsiliasi terbukti merupakan proses jangka panjang dan berkelanjutan yang mencakup pelaksanaan investigasi, komisi kebenaran, pengadilan kejahatan perang, dan pengadilan militer, menengahi perselisihan lokal, memukimkan kembali dan mendukung orang-orang dan penduduk yang dipindahkan, menegakkan reparasi dan restitusi, serta membangun kapasitas lokal untuk penyelesaian konflik dan perselisihan.

F. Mendorong Perubahan Sosial

Pada akhirnya, kontra-pemberontakan yang berhasil membawa perubahan politik dan sosial. Jarang terjadi pemberontakan dalam masyarakat atau negara yang stabil dan diatur secara efektif. Penyebab dari mana mereka muncul biasanya memiliki setidaknya beberapa inti validitas. 

Oleh karena itu, kontra-pemberontakan yang berusaha mempertahankan status quo jarang berhasil; kondisi dan struktur sosial yang sudah ada sebelumnya, serta sikap, menuntut perubahan untuk mencapai stabilitas yang langgeng.

Ini tidak berarti memaksakan konsep demokrasi Barat tentang liberalisme politik, yang berkali-kali terbukti kontraproduktif, setidaknya jika tidak diterjemahkan ke dalam konteks budaya konflik. Sayangnya, perubahan sosial seringkali menimbulkan disrupsi, terutama bagi masyarakat tradisional, 

jika dilakukan terlalu cepat dengan seenaknya. Perubahan hanya bisa terjadi dalam norma budaya masyarakat dan dengan demikian tidak bisa dipaksakan. Meskipun demikian, menerapkan perubahan sosial tetap menjadi bagian penting dari kontra-pemberontakan. 

PEMBAHASAN DAN ANALISIS

1. Sepak Terjang Kelompok Boko Haram

Asal usul Boko Haram terlacak pada tahun 2003 di Kota Maiduguri, Nigeria. Bapak pendirinya bernama Malam Mohammed Yusuf, seorang ulama Salafi radikal muda yang lahir di Desa Girir negara bagian Yobe. Pertempuran kelompok pertama kelompok Boko Haram terjadi di Kanamma, sebuah kota di sepanjang perbatasan Nigeria dan Republik Niger di negara bagian Yobe.

Pada tanggal 23 Desember 2003, beberapa murid Yusuf yang tidak puas dengan politik demokrasi dan pemerintahan konstitusional yang baru dipasang pada tahun 1999 setelah sekitar dua dekade kediktatoran militer mundur ke Kanamma sebagai protes dan tetap terisolasi untuk mempraktikkan kehidupan yang kasar. 

Namun, sengketa hak penangkapan ikan dan lahan pertanian antara anggota Boko Haram dan masyarakat tuan rumah mengakibatkan tindakan polisi. Namun, polisi melakukan perlawanan dan kewalahan yang berujung pada kematian dua petugas polisi (Gana et al., 2018).

Eksistensi Boko Haram menjadi perhatian global pada tahun 2009 ketika muncul dalam pemberontakan kekerasan di Kota Maiduguri. Kekerasan berlangsung selama satu minggu. Tindakan keras militer dan polisi yang berlebihan menimbulkan kerugian manusia dan kerugian yang parah baik pada kelompok tersebut maupun pada penduduk setempat. 

Beberapa perkiraan telah menunjukkan tindakan keras militer telah mengakibatkan kematian lebih dari 1000 orang yang sebagian besar adalah anggota kelompok pemberontak (Bamidele, 2016).

Pada paruh pertama tahun 2014, Blanchard (2014) menunjukkan bahwa kelompok Boko Haram bersalah atas kematian lebih dari 2000 orang. Insiden ini adalah yang paling merusak dalam rangkaian serangan itu adalah pembantaian di Kota kuno Baga. Bukti lokal mengklaim lebih dari 2000 orang terbunuh dan properti yang tidak dapat dihitung dihancurkan. 

Amnesty International secara khusus menggambarkan serangan di Baga sebagai yang terburuk dalam sejarah pemberontakan Boko Haram. Kelompok penelitian Action on Armed Violence menunjukkan bahwa Boko Haram bersalah atas 15 ledakan yang melibatkan 25 bunuh diri pada kuartal pertama 2017 (Gana et al., 2018). 

Hal yang mengkhawatirkan adalah jumlah itu terus bertambah yang menyebabkan kerusakan manusia dan korban jiwa yang tidak terhitung jumlahnya. Pemberontak Boko Haram telah mempengaruhi lebih dari enam juta orang Nigeria. 

2. Strategi Kontra-Pemberontakan (Counterinsurgency) Pemerintah Nigeria Dalam Menghadapi Kelompok Boko Haram

Pemberontakan Boko Haram di Nigeria menghasilkan dampak kemanusiaan yang tidak main-main. Rasa ketidakamanan membelenggu penduduk Nigeria karena kehadiran kelompok tersebut. Adapun strategi kontra-pemberontakan (counterinsurgency) pemerintah Nigeria dalam menghadapi kelompok Boko Haram adalah sebagai berikut:

A. Tindakan Militer

Banyak literatur tentang kontra pemberontakan Nigeria melawan Boko Haram menunjukkan taktik militer keras sebagai taktik kontra pemberontakan utama Nigeria (Abdulazeez, 2016). Fokus ini jenis strategi ini menurut Folade (2016) adalah kinetik, yakni kategori peperangan yang mengutamakan penggunaan kekuatan koersif dalam menumpas kekerasan pemberontak dengan menetralisir pelaku dugaan.

Penekanan pada respon militer terhadap Boko Haram oleh pemerintah Nigeria pertama kali muncul pada tahun 2003 ketika pertempuran pertama kelompok muncul di Kanamma di Negara Bagian Yobe. Tindakan pemerintah Nigeria ditunjukkan melalui pengerahan pasukan secara besar-besaran untuk mengatasi situasi tersebut. 

Lebih jauh lagi, bahkan dengan pembubaran kelompok, pasukan khusus militer Operasi Flush diresmikan untuk menangkap pemberontak yang melarikan diri di Maiduguri dan kota-kota besar lainnya di timur laut.

Ada sebuah kepercayaan umum bahwa pendekatan brutal oleh anggota Operasi Flush diinkubasi untuk pemberontakan Boko Haram pada tahun 2009 (Adeniran, 2014). Sejak itu pemerintah terus memperluas dan memperkuat pasukannya di timur laut. 

Misalnya antara 2009 dan 2011 tidak kurang dari 36.000 anggota angkatan bersenjata Nigeria (Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut) memerangi pemberontak di timur laut (Folade, 2016). Selain itu, pada tahun 2015, jumlah ini telah berkembang menjadi lebih dari 100.000 (Raphael & James, 2016) dan sejak itu terus bertambah.

Pada Januari 2015, anggota blok ekonomi regional Danau Chad (Republik Nigeria, Chad, Kamerun, Niger, dan Benin) menandatangani perjanjian yang mewajibkan pembentukan 8700 tentara Satuan Tugas Gabungan Multinasional (MNJTF). Ini adalah kekuatan regional untuk memerangi pemberontak Boko Haram (Gana et al., 2018).

MNJTF sangat berpengaruh dalam merebut kembali banyak kota di sepanjang kontrol perbatasan Nigeria oleh pemberontak. Contohnya: pada Maret 2015 MNJTF menaklukkan Kota Damasak yang dikuasai Boko Haram pada November 2014 (Folade, 2016). 

Pasukan ini juga disebut-sebut bertanggung jawab untuk merebut kembali Gambori-Ngala dan Dikwa di sepanjang perbatasan Chad di negara bagian Borno. Namun, keberhasilan ini tidak bertahan lama karena sebagian besar wilayah yang dibebaskan kemudian diambil Kembali oleh kelompok pemberontak. 

Berbagai tantangan yang terjerat dalam logistik, keuangan, dan politik dianggap telah menghambat keberlangsungan tempo kontra-pemberontakan MNJTF. 

B. Tindakan Non-Militer

Selain tindakan militer, pemerintah Nigeria juga mengambil langkah non-militer. Pemerintah memberlakukan tindakan kontra terorisme yang melibatkan hukuman keras terhadap kelompok pemberontak, kolaborator, pemodal dan simpatisan. 

Nigeria menerbitkan Undang-Undang Kontra Terorisme. Adapun ketentuan dalam undang-undang tersebut diantaranya adalah hukuman mati bagi anggota pemberontak dan hukuman penjara tidak kurang dari 20 tahun bagi pemodal, simpatisan, dan kolaborator. 

Undang-undang tersebut memperbolehkan surat perintah yang tidak terbatas bagi aparat keamanan untuk menggeledah rumah dan menangkap serta menyita barang dan uang yang diduga milik pejuang nyata dan atau potensial. Namun undang-undang ini mendapat kritik keras. 

Banyak orang menggambarkan tindakan pemerintah sebagai bermotif politik daripada kepentingan yang sebenarnya membendung kelompok pemberontak. Terlepas dari kritik luas, undang-undang yang semula rata-rata selama enam bulan diperpanjang berturut-turut untuk dua periode berikutnya. Undang-undang ini berakhir pada tahun 2014.

Berdasarkan uraian strategi di atas dikaitkan dengan kerangka teori, maka kita dapat melihat bahwa pendekatan strategi kontra-pemberontakan (counterinsurgency) yang digunakan oleh pemerintah Nigeria dalam menghadapi kelompok Boko Haram adalah enemy-centric approach. 

Seperti yang sempat diuraikan di atas bahwa pendekatan yang berpusat pada musuh berfokus pada pemusnahan total para pemberontak atau formasi dan kader gerilya mereka sambil meminimalkan pentingnya pembangunan bangsa serta langkah-langkah untuk mendapatkan dukungan rakyat. 

Sayangnya, pendekatan ini juga menghasilkan rezim yang represif dan otoriter. Operasi militer Nigeria sangat ketat dalam menghadapi Boko Haram. 

3.  Efektivitas Strategi Kontra-Pemberontakan (Counterinsurgency) Pemerintah Nigeria Dalam Menghadapi Kelompok Boko Haram

Boko Haram seperti banyak pemberontakan modern lainnya meletus dalam serangkaian masalah kompleks yang melintasi lingkungan sosial, politik dan ekonomi. Hal ini sejalan dengan pendapat Moore (2007) bahwa secara struktural, pemberontakan paling sering terjadi dalam kondisi politik, sosial, atau ekonomi yang kurang berkembang atau tidak adil.

Dalam operasi kontra-pemberontakan, Nigeria menggunakan kekuatan militer yang berlebihan. Kekuatan militer tersebut tidak hanya menyasar kelompok Boko Haram, namun juga masyarakat yang dicurigai terlibat dengan kelompok tersebut. 

Pemberontak dan penduduk lokal yang dieksekusi melalui pembunuhan tanpa pandang bulu, penangkapan massal, dan penahanan tanpa pengadilan sangat signifikan dalam merusak efektivitas kontra-pemberontakan yang dilakukan oleh pemerintah Nigeria.

Dalam melawan pemberontakan Boko Haram di Nigeria, operasi keamanan telah melepaskan serangan brutal terhadap warga sipil tak berdosa dan pemberontak. Warga menderita pelanggaran hak asasi manusia terus-menerus. Salah satu pelanggaran hak asasi manusia paling berat yang dilakukan oleh pasukan keamanan pemerintah selama operasi kontra-pemberontakan adalah pembunuhan warga sipil.

Pelanggaran hak hidup rakyat Nigeria, khususnya di timur laut telah menjadi ciri utama serangan gencar pemerintah terhadap pemberontakan Boko Haram. Contoh: Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR) mendokumentasikan bahwa serangan oleh pasukan keamanan yang menyebabkan banyak korban sipil telah dilaporkan, terutama di Baga, Nigeria, 

pada April 2013, di mana warga sipil dilaporkan ditembak oleh petugas keamanan. Selain itu, kasus-kasus eksekusi di luar hukum dan ringkasan, penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, penghilangan paksa dan pemerkosaan telah dilakukan oleh pasukan keamanan nasional (Kingsley, 2019).

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki Moon memperingatkan pemerintah Nigeria untuk menghentikan tindakan represif. Ini menunjukkan bahwa aksi militer hanya dapat melemahkan pemberontak, tetapi tidak dapat memberikan solusi. Oleh karena itu, kita dapat melihat bahwa enemy-centric approach dalam strategi kontra-pemberontakan untuk menumpas Boko Haram sejauh ini belum efektif atau bahkan tidak efektif.

Pemerintah Nigeria mengutamakan kekerasan dalam menumpas pemberontak. Konsekuensi penggunaan kekerasan dalam memerangi Boko Haram tidak hanya mengurangi dukungan penduduk terhadap kekuatan kontra-pemberontak, namun juga mengubah integritas pemerintah. 

Persoalan integritas pada pemerintah seperti yang dicermati sebelumnya merupakan penghalang bagi berbagai pembicaraan damai antara pemerintah dan kelompok pemberontak.

Isu integritas juga menguras harapan dan kepercayaan publik terhadap keberadaan negara. Misalnya: karena kepercayaan yang terhambat pada integritas pemerintah, banyak orang di utara Nigeria terkena dampak pemberontak jarang berbicara melawan pemberontak. 

Lebih buruk lagi, masyarakat lokal lebih memilih dukungan dan membocorkan intelijen untuk pemberontak daripada bekerja sama dengan kekuatan kontra. Dukungan yang tidak puas dari penduduk setempat pada pendekakatn kontra-pemberontakan adalah apa yang biasa digunakan oleh pemerintah dan militer untuk membenarkan pukulannya terhadap warga sipil biasa di utara Nigeria. 

Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa kekuatan yang berlebihan oleh militer Nigeria dalam menghadapi kelompok pemberontak Boko Haram kontraproduktif dalam mencapai tujuan yang diinginkan untuk mengekang kelompok pemberontak. Hal ini senada dengan pendapat Dixon (2012) adalah bahwa kekerasan hanya akan melemahkan legitimasi negara dan menggalang dukungan untuk pemberontakan.

Lantas, apa yang harus dilakukan pemerintah Nigeria? Mereka harus mengubah pendekatannya dari enemy-centric approach menjadi population-centric approach. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa pendekatan yang berpusat pada populasi terbukti paling berhasil dalam mencapai stabilitas jangka panjang, berupaya menyelesaikan konflik dalam semua dimensinya. 

Dalam pendekatan ini, kontra-pemberontakan terutama bukan tentang kekalahan musuh bersenjata, melainkan, tujuan utamanya berpusat pada pembentukan stabilitas yang langgeng di suatu negara bagian atau wilayah. Population-centric-approach berfokus dalam melindungi populasi dan mempertahankan atau memenangkan dukungannya.

Tanggapan militer ketat terhadap Boko Haram itu tidak cocok lagi. Oleh karena itu, dukungan masyarakat sangat diperlukan. Militer dan pemerintah Nigeria harus mendesain ulang taktik counterinsurgency mereka pada pendekatan yang berpusat pada populasi. 

Pemerintah juga dapat membawa ranah pemerintahan kepada penduduk lokal melalui penyediaan layanan sosial dasar untuk memperbaiki kesulitan yang ditimbulkan oleh konfrontasi pemberontak dengan pasukan keamanan pemerintah. 

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dan analisis di atas, kesimpulan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

  1. Kehadiran Boko Haram menjadi perhatian global pada tahun 2009 ketika muncul dalam pemberontakan kekerasan di Kota Maiduguri. Kekerasan berlangsung selama satu minggu. Tindakan keras militer dan polisi yang berlebihan menimbulkan kerugian manusia dan kerugian yang parah baik pada kelompok tersebut maupun pada penduduk setempat.
  2. Pendekatan strategi kontra-pemberontakan (counterinsurgency) yang digunakan oleh pemerintah Nigeria dalam menghadapi kelompok Boko Haram adalah enemy-centric approach dengan mengutamakan taktik militer yang keras.
  3. Enemy-centric approach dalam strategi kontra-pemberontakan untuk menumpas Boko Haram sejauh ini belum efektif atau bahkan tidak efektif. Konsekuensi penggunaan kekerasan dalam memerangi Boko Haram tidak hanya mengurangi dukungan penduduk terhadap kekuatan kontra-pemberontak, namun juga mengubah integritas pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Aaron. (2015). Nigeria's Elusive Peace: How Culture Influence Counterinsurgency. School of Advanced Air and Space Studies Air University. 


Abdulazeez, M. A (2016). The Inadequacies of Exclusive Military Action: Countering Boko Harams Terrorism with Alternative Strategy. In Selected papers Terrorism Experts Conference (TEC) 2016, Center of Excellence Defence Against Terrorism.
Adeniran, L.R (2014). Socio - Economic Effects of Boko Haram Violence on Oyo State, Nigeria, Journal of Humanities And Social Science, 19(11), 61-65. 


Al Jazeera. (2022). Armed attackers raid prison on outskirts of Nigerian capital. Retreived from: https://www.aljazeera.com/news/2022/7/6/armed-group-forces-jailbreak-in-prison-near-nigerian-capital 


Bala, B., & Tar, U. (2021). Regional Cooperation in West Africa: Counter-Terrorism and Counter- Insurgency. African Security, 1--22. https://doi.org/10.1080/19392206.2021.1929747 


Bamidele, O. (2016). Civilian Joint Task Force (CJTF) - A Community Security Option: A Comprehensive and Proactive Strategy to Counter-Terrorism. Journal for Deradicalization, 7, 124--144. 


Blanchard, L.R. (2015). Nigeria 2015 Elections and the Boko Haram Crisis. Congressional Research Service, 7, 1-16. 


Dixon P. (2012) Beyond Hearts and Minds: Perspectives on Counterinsurgency. In: Dixon P. (eds) The British Approach to Counterinsurgency. London: Palgrave Macmillan. 


Drew. (1988). Insurgency and Counterinsurgency: American Military Dilemmas and Doctrinal Proposals' in Report No. AU-ARI-CP-88-1. 


Gana, M. L., Hasnita, K., Ku, B., Mahadee, M., & Ismail, B. (2018). Counterinsurgency Responses in Nigeria: Unveiling the Constraining Challenges. International Journal of Arts Humanities and Social Sciences, 3(6), 1--8. 


Kingsley, N. (2019). Counter-Insurgency and Human Rights Violations in Nigeria. Journal of Law, Policy and Globalization, 85, 15--23. https://doi.org/10.7176/jlpg/85-02 


Kilcullen. (2006). Three Pillars of Counterinsurgency in Government Counterinsurgency Conference held at Washington D.C.

 
Liolio. (2013). Rethinking Counterinsurgency: A Case Study of Boko Haram in Nigeria. European Peace University. 


Moore, S. R. (2007). The Basics of Counterinsurgency. Small Wars Journal, 1--24. 


Oluka, N. L. (2022). Covid-19 , Global Crisis and the Challenges of Human Security Management in Nigeria. Indonesian Journal of Advocacy and Legal Services, 4(1), 161--194. https://doi.org/10.15294/ijals.v4i1.56427 


Raphael, E.C & James, A.E (2016). Nigeria Security Challenges and the Role of Non- Conventional Security Outfit in the War against Terrorism: A Study of The Civilian Joint Task Force (JTF) on the War Against Boko Haram in North East of Nigeria. Journal of Arts, Humanities and Social, 4(5), 473-481. 


Siegel. (2007). Criminology: Theories, Patterns and Typologies. Belmount, CA: Wadsworth Cengage Learning.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun