Pelanggaran hak hidup rakyat Nigeria, khususnya di timur laut telah menjadi ciri utama serangan gencar pemerintah terhadap pemberontakan Boko Haram. Contoh: Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR) mendokumentasikan bahwa serangan oleh pasukan keamanan yang menyebabkan banyak korban sipil telah dilaporkan, terutama di Baga, Nigeria,Â
pada April 2013, di mana warga sipil dilaporkan ditembak oleh petugas keamanan. Selain itu, kasus-kasus eksekusi di luar hukum dan ringkasan, penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, penghilangan paksa dan pemerkosaan telah dilakukan oleh pasukan keamanan nasional (Kingsley, 2019).
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki Moon memperingatkan pemerintah Nigeria untuk menghentikan tindakan represif. Ini menunjukkan bahwa aksi militer hanya dapat melemahkan pemberontak, tetapi tidak dapat memberikan solusi. Oleh karena itu, kita dapat melihat bahwa enemy-centric approach dalam strategi kontra-pemberontakan untuk menumpas Boko Haram sejauh ini belum efektif atau bahkan tidak efektif.
Pemerintah Nigeria mengutamakan kekerasan dalam menumpas pemberontak. Konsekuensi penggunaan kekerasan dalam memerangi Boko Haram tidak hanya mengurangi dukungan penduduk terhadap kekuatan kontra-pemberontak, namun juga mengubah integritas pemerintah.Â
Persoalan integritas pada pemerintah seperti yang dicermati sebelumnya merupakan penghalang bagi berbagai pembicaraan damai antara pemerintah dan kelompok pemberontak.
Isu integritas juga menguras harapan dan kepercayaan publik terhadap keberadaan negara. Misalnya: karena kepercayaan yang terhambat pada integritas pemerintah, banyak orang di utara Nigeria terkena dampak pemberontak jarang berbicara melawan pemberontak.Â
Lebih buruk lagi, masyarakat lokal lebih memilih dukungan dan membocorkan intelijen untuk pemberontak daripada bekerja sama dengan kekuatan kontra. Dukungan yang tidak puas dari penduduk setempat pada pendekakatn kontra-pemberontakan adalah apa yang biasa digunakan oleh pemerintah dan militer untuk membenarkan pukulannya terhadap warga sipil biasa di utara Nigeria.Â
Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa kekuatan yang berlebihan oleh militer Nigeria dalam menghadapi kelompok pemberontak Boko Haram kontraproduktif dalam mencapai tujuan yang diinginkan untuk mengekang kelompok pemberontak. Hal ini senada dengan pendapat Dixon (2012) adalah bahwa kekerasan hanya akan melemahkan legitimasi negara dan menggalang dukungan untuk pemberontakan.
Lantas, apa yang harus dilakukan pemerintah Nigeria? Mereka harus mengubah pendekatannya dari enemy-centric approach menjadi population-centric approach. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa pendekatan yang berpusat pada populasi terbukti paling berhasil dalam mencapai stabilitas jangka panjang, berupaya menyelesaikan konflik dalam semua dimensinya.Â
Dalam pendekatan ini, kontra-pemberontakan terutama bukan tentang kekalahan musuh bersenjata, melainkan, tujuan utamanya berpusat pada pembentukan stabilitas yang langgeng di suatu negara bagian atau wilayah. Population-centric-approach berfokus dalam melindungi populasi dan mempertahankan atau memenangkan dukungannya.
Tanggapan militer ketat terhadap Boko Haram itu tidak cocok lagi. Oleh karena itu, dukungan masyarakat sangat diperlukan. Militer dan pemerintah Nigeria harus mendesain ulang taktik counterinsurgency mereka pada pendekatan yang berpusat pada populasi.Â