"Bagaimana dengan Afrika? Bahama?", dia tersenyum lagi, semakin sinis.
"Cuma Jakarta, Shanghai, Jakarta, dan Bali! Kamu udah Pergi! Hanya itu Sayang?", airmata mengalir lagi membasahi wajah Luna.
"Aku tidak akan gila Do! Aku tidak akan gila! Aku tidak akan gila!", Luna mulai berbaring di pantai dan menutup mata, membayangkan hari ketika Aldo pergi bersama ombak ke laut lepas.
"Luna, bangun sayang. Ayo bangun. Anak manis, ayo sayang. Kalau Luna mau tidur, di kamar aja yuk.", bujuk Mama dengan lembut. Luna diam saja.
"Aldo, bawa aku bersamamu!", bisik Luna.
***
Tujuh belas tahun sudah sejak hari itu. Tujuh belas tahun pernuh airmata, kegilaan, dan keputusasaan.
"Kalau bukan Tuhan, aku sudah gila Do!", bisik Luna sambil memandangi foto Aldo yang tersenyum lebar.
"Hanya dua bulan kita bertemu, kita menikah! Hanya dua minggu masa pernikahan kita! Bulan madu saja gak sempat! Apa gak pantas kalau aku gila Do?", airmata mengalir lagi di pipi Luna.
"Tiap hari, aku hanya diam. Kadang aku tidak berfikir apapun, tapi air mataku mengalir deras. Di jalan, di bis, di taksi, di mobil, di kamar. Aku heran, kenapa airmataku gak habis-habis Do?", kata Luna lirih.
"Orang-orang melihatku, berfikir aku stress, aku gila! BTW Hun, you know what? I've never been to Bali for these seventeen years, not at all! Not even any single beach I have visited since the moment you dissapeared!", suara Luna menggerung.