"Ini anak perempuaaaan! Menang?" tanya dokter Widhodho.
"Menang!" jawab saya dengan lantang dan keras.
Sosok dokter yang terekam dalam ingatan ini adalah pria yang tidak pernah tersenyum. Tetapi, sejak kanak saya tahu sekali bahwa dokter sangat mengkhawatirkan saya.
Hari itu masih jelas di dalam ingatan saat berdua mama naik bajaj. Tiba-tiba, saat bajaj berjalan makin mendekat ke arah bangunan besar peninggalan Belanda, mama sambil menunjuk ke arah itu berkata,"Itu rumah sakit. Dokter Widhodho kerja di dalam sana. Nanti kapan-kapan waktu sakit, kita pergi berobat ke sana. Kita lihat tempat kerja dokter di rumah sakit."
Selama ini setiap anak-anak sakit selalu dibawa mama pergi berobat ke tempat praktek dokter anak - dokter Widhodho yang tidak jauh dari rumah kami.Â
Saya yang tidak pernah pergi ke rumah sakit, jadi senang sekali mendengar mama mau mengajak ke sana.
"Dokter, nanti waktu sakit lagi kita boleh berobat ke rumah sakit?" tanya mama saat membawa saya datang berobat.
Reaksi dokter saat ditanya seperti itu hingga kini, masih teringat dengan jelas di pelupuk mata saya. Mama pun hingga kini masih mengingat dengan jelas jawaban dokter.
"Jangan pernah pergi ke sana! Di sini saja. Di sana tempatnya kotor, kumuh, dan jorok!" jawab dokter dengan ekspresi kesal, sedih dan marah.Â