Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Gemini Syndrome, Episode Berdansa di Kota Romantis Bagian Kelima

23 Juni 2024   12:04 Diperbarui: 23 Juni 2024   12:10 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sasak Bereum-Foto: Irvan Sjafari

 

Patrol-Sasak Bereum-Ujungberung  31  Juli 2014

 

"Berapa jarak Patrol ke Ujungberung?" tanyaku pada seorang warga.

"Akang mau jalan kaki?" seorang pria berusia sekitar 30 tahun terkejut.

"Iya, ingin lihat Kebun Kina, Hutan Eucalyptus, sekitar 3-4 jam kan? Sama dengan Jayagiri-Tangkuban Parahu? Itu kata peta," ujar aku.

 

"Nggak atuh! 32 kilometer, bisa sampai malam Akang  kalau kuat jalan? Naik ojek saja. Lagipula sudah siang?" kata pria itu. 

Akhirnya aku menyewa ojek dengan catatan berhenti di berapa titik. Nama tukang ojek itu Ayi.   Titik  pemberhentian pertama ialah Kebun Kina yang berada di atas puncak bukit.  Kebun Kini peninggalan  Franz Wihelm Junghuhn? Tugunya ada di Taman Hutan Raya.   Aku menikmati suasana sepi dengan udara pegunungan Bukit Tunggul  dengan pohon-pohon kurus jangkung berderet-deret di bukit.

Bagaimana daerah ini ketika Kina pertama kali ditanam? Mungkin masih ada macan tutul dan harimau berkelairan?  Tetapi orang-orang Belanda menggunakan kuda. Apakah ada penduduk sekitar sini pada waktu itu? Pasti lebih dingin.

Setelah berfoto sebentar aku ikut menumpang ojek ke titik berikutnya hutan eucalyptus  atau pohon minyak kayu putih. Tingginya lebih dari sepuluh meter, daun-daunnya tipis. Amboi, pemandangan yang eksotis. Seolah-olah aku ada di zaman Jurassic. 

"Orang Sunda menyebut daerah ini sebagai Sasak Bereum atau jembatan merah," tutur Ayi.

Dia juga ceita bahwa malam hari daerah ini angker.  Banyak cerita aneh.  Mungkin saja. Aku patuh pada kearifan lokal. Seandainya harus berjalan malam. Ya, ikuti saja jalan yang sudah ada. Jangan macam-macam.  Mereka yang suka hilang di gunung, kan tidak punya pengalaman cukup untuk buat jalur, cari jalur padahal perbekalan tidak cukup.

Sayang saya kesiangan tiba di Patrol.  Kemarin malam "hotel asrama" itu berisik sekali. Akhirnya aku tidur larut malam mengobrol dengan beberapa turis cewek dari Denmark. Satu di antaranya menarik, tubuhnya mungil dan rambutnya pirang. Mereka sebetulnya ingin aku ajak menjelajah kawasan ini.  Tetapi aku sendiri tidak tahu medannya. 

Sudah itu jalan ke Lembang macet minta ampun. Ini kan hari Kamis? Bisa-bisanya gerombolan Jakarta berplat B ini memenuhi jalan.

"Sudah selesai foto-fotonya Kang?" Kang Ayi mengingatkan aku.

Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke titik berikutnya ketika hutan eucalyptus berlahan berubah menjadi hutan pinus.  Kira-kira sepertiga perjalanan.  Ini panorama yang mirip dengan Jayagiri namun sudah dibelah jalan.  Titik berikutnya ini menjelang Kampung Palintang yang tampak begitu menakjubkan dari atas.

Allah hu Akbar, seandainya aku berkeluarga,  aku punya keinginan punya rumah di sini  dan tinggal setiap akhir pekan dan turun ke Bandung di hari kerja. Tentu menyenangkan, karena Bandungnya sendiri mulai sumpek.  Asal saja gerombolan itu tidak menjadikan daerah ini sebagai wisata komersil seperti di bawah yang menerabas lahan seenaknya saja tanpa memperhitungkan dampak ekologis.

Sayang setelah dua pertiga jalanan mulai banyak perumahan hingga pemandangan tidak terlalu memikat. Kecuali ibu petani berpakaian kebaya  dan persawahannya yang masih diolah tradisional.

SMS dari Annisa Indah, harusnya janji wawancara di Bandung hari ini juga sehabis saya bertemu Sabrina Sameh. Tetapi dia rupanya tidak fit. Padahal rumahnya di Cigadung daerah  Bandung Utara. Dia hanya kasih Blackberry.

Tiba di Ujung Berung setelah tengah hari. Aku merogoh kocek Rp70 ribu carter ojek.  Dari Ujungberung ke kawasan Sultan Agung, sebuah distro untuk bertemu pembalap drag itu.

 

Jalan Sultan Agung, Bandung 15.30

Sejak duduk di bangku SD, Sabrina sudah mengenal sepeda motor. Like mother like daughter. Ketika duduk di bangku SMP kelas I sudah ikut balap liar. Pada usia 16 tahun bakatnya ditemukan sesepuh balap motor Bandung dan jadilah dia pembalap andal.

Aku menyebutnya sebagai "Sabrina Sang Pemberani".  Entah dia laki-laki yang terperangkap di tubuh perempuan. Tapi penampilannya tidak terlalu tomboi.  Dia  tinggal di Kiara Condong.  Tempat aku bertemu pertama kali dengan "R".

"Saya ikut kejuraan pertama  TPM Seri III pada 2012," katanya.  Lalu dia meraih prestasi Juara ketiga di Sentul dan diikuti prestasi lain, seperti Juara 4 di Brigif dan 2 di Klaten. Sabrina tahan segala medan termasuk tidak gentar terhadap hujan. Harap dicatat balap ini tidak dipisahkan gender. Jadi Sabrina bertanding dengan laki-laki.

Dia memakai jins belel  ketika menemuiku.  Aku kira memang mau balap apa saja ikut standar. Sabrina menjdi brand ambassador Racing Line.  Wawancara di sebuah toko milik  Martin Hidayat, jadi tempat nongkrong  penggemar drag racing.

"Kami seperti keluarga,"kata pemegang iPhone 5 ini.  Wawawancara dengan Sabrina untuk keperluan  Tabloid Ponsel. Anak ini juga penggemar Naughty Boy dengan single lagunya La..La..La..La...La.

"Lirik lagunya enak dan punya pesan agar tidak mendjudge orang lain dari penampilan luar," ucapnya. Walaupun tubuhnya mungil, matanya setajam Elang.

Dia sebenarnya menantangku wawancara di Punclut kemarin malam.  Dia bahkan akan memakai sepeda motornya dan mungkin bisa memperlihatkan keterampilannya.  Tapi aku terlalu lelah karena baru tiba di Bandung pukul tiga sore menumpang mobil adikku.

Telat makan agar tepat waktu  dari Ujungberung ke Sultan Agung. Padahal aku penderita darah rendah. Untungnya makan pagi cukup.  Aku menelusuri Jalan  Sultan Agung yang jadi sentra clothing.  Akhirnya tiba di BPIP  untuk makan paket nasi di McDonald seharga Rp30 ribuan.

"Assalamulaikum?" Tiba-tiba "R"  menegurku sambil membawa burger dan coca cola.  Dia duduk berhadapan denganku.

"Walaikumsalam. Dari mana kamu tahu aku di sini?"

"Kebetulan. Aku tidak menyangka, kamu ke Bandung. Tadi wawancara siapa?"

"Sabrina, anak Kiara Condong, anjeun kenal?"

"Tahu, geulis pisan kan? Coba kamu di Bandung, banyak yang seperti dia, cewek pemberani, tipe kamu kan? Gemini Cowok yang sok kuat, tetapi di sisi lain rapuh."

"Iya, Psikolog sudah bersabda."Sssh Orang Gemini hebat-hebat," kata aku.

"Siapa? Sukarno? Iya, memang dia founding father. Negara ini tidak akan ada tanpa dia. Tetapi soal perempuan melanggar komitmennya."

"Anjeun mau dipoligami?"

"Sejujurnya nggak. Tetapi kalau dia bilang pada aku terus terang, ada alasannya, mungkin aku terima."

Wajahnya murung. Kali ini dia mau curhat.

"Anjeun dipoligami?"

"Bagus, kalau dinikahi resmi. Masalahnya nggak? Dia selingkuh dengan perempuan Jakarta.  Dia bersikeras bilang menikahinya. Tetapi tidak ada buktinya surat nikah atau apa kek. Atau ada saksi yang bisa aku konfirmasi."

"Jadi?"

"Ya, kalau selingkuh seperti itu, ya tidak bisa dimaafkan."

"Kamu kan sudah punya anak?"

"R" mengangguk. "Aku bisa pelihara. Anak perempuan."

"Kalau cerai, kamu minta anak kamu dinafkahi, walau sudah pisah? "

"Nggak akan!" Suaranya mengeras. Aku takut seiisi restoran mengeras. "Aku mampu!  Aku tidak mau terima nafkah  dari dia walau itu untuk anaknya!"

Tiba-tiba dia melihat wajahku."Kang Irvan mau cerita apa? Ada ya, seperti itu?"

Kesempatan aku konfirmasi. "Adik kelasku juga dikihanati sama suaminya?"

"Kamu simpati? Malah mungkin lebih? Cerita dong! Ya, kalau kamu mau deketin, sekarang jangan timbang sana, timbang sini. Atau ada yang kamu incar di Bandung?"

"Mmmh tidak tahu," kataku. "Aku bingung antara suka, simpati, sayang, kasihan,tetapi tampaknya belum jatuh cinta. Aku hanya ingin dekat."

"Jangan lama-lama. Nanti  banyak yang deketin loh!  Memangnya hanya kamu dia curhatin? Jangan-jangan ada yang lain!"

"Dia juga punya anak, anak laki-laki."

"Kamu penggemar janda rupanya?" Dia mulai tersenyum.

"Aku pikir janda adalah perempuan yang kuat. Janda cerai. Aku sebetulnya suka dengan perempuan yang kuat."

"Seperti Sukarno,yang kamu gembar-gemborkan sebagai Gemini Sejati? Mungkin alasannya membutuhkan Ibu Inggit karena itu? Lalu dengan Dewi juga begitu. Mengaku kuat tetapi sebetulnya rapuh!  Kamu nggak apa janda punya anak?"

"Aku ngak apa jadi ayah sambung." Aku melihat wajahnya. Tetapi dia meminta untuk tidak berlebihan.

"R" tersenyum. "Kalau kamu masih timbang sana timbang sini, jangan menikah dulu."

"Iya, sih," kataku. "Bagaimana kalau ada alternatif lain? Aku ingin punya anak perempuan sebetulnya. Walau itu anak sambung? Tetapi  anak laki juga tidak apa? Asal usianya masih anak-anak. Biar aku punya kontribusi ikut membesarkan!"

Dia hanya tersenyum dan diam saja.

Kemudian aku bergegas dan dia juga selesai makan.  Kami berpisah di pintu keluar. Mataku terus meliriknya. 

"Aku bisa baca pikiranmu anak Jakarta. Sok, ateuh kalau merasa  sudah siap. Tetapi tidak pacaran ya? Datang saja ke rumah ngobrol dulu, kemudian baru bawa keluarga dan selanjutnya  kamu cari sendiri di internet apa itu namanya?"

"Tapi perlu pengenalan.."

"Alaa... memangnya mereka yang pacaran itu terbuka? Pasti sisi buruknya akan mereka sembunyikan masing-masing ? Lagian gampang di zaman internet ini aku bisa tahu siapa kamu.  Masih anak baik-baik sih! Aku yakin adik kelasmu itu juga sudah mempelajari kamu. Pertanyaannya, kamu sudah tahu dia banyak, belum?"

Aku terdiam.

"Assalamulaikum!" Katanya dengan santai.

Wow! Pernyataannya tegas.  Aku kemudian bergegas kembali ke hotel.

Bandung, 9 Maret 1957,  Sasak Bereum.

"Widy! Jalan kamu cepat!"  Syafri tertinggal cukup jauh.   Dia mengejar  Mojang itu  yang tertawa kecil.  "Sok, susul aku?  KaNg Syafri kurang tidur. Katanya mau jadi imam aku?"

Syafri jadi panas. Dia mempercepat langkahnya.  Dia menyesali tas parasutnya yang cukup berat.  Sementara Widy hanya  membawa air minum dan sejumlah makanan.

"Kamu masukan apa ke tasku tadi waktu berangkat? Perasaan aku hanya membawa satu baju dan celana pendek kalau hujan tiba-tiba, juga ponco?"

"Aku masukan baju aku juga. Satu pasang."

Dia merasa berbunga.  Itu simbol dia harus menanggung beban Widy, walau tidak tahu jadi apa tidak mereka menikah.  Syafri inginnya Widy sampai sarjana muda dulu.

Mereka akhirnya tiba  kebun kina.   Ada dua orang penjaga melihat mereka. Tetapi Syafri dengan cepat menghampiri bahwa mereka hanya jalan-jalan menembus Ujung Berung.

"Lama atuuh!  Hati-hati, walau jarang suka ada gerombolan menyerang daerah ini!" salah seorang di antara mereka memperingatkan.

"Nuhun Kang!"

"Boleh kebun kini sebentar Aa?" sela Widy.

Penjaga itu mengangguk. Mereka mengawal Syafri dan Widy melihat hamparan Kebun Kina.  Keduanya memakai celana panjang dengan bahan seperti digunakan tentara.  Bahkan Herland sendiri yang mencarinya buat mereka. Katanya kalau hujan cepat kering.

"Sore kalian sudah pulang ya?" Pesannya.

Syafri heran mengapa Widy memilih rute ini melalui hutan pinus.  Mengapa tidak Gunung Gede sebenarnya?  Tetapi tadi Ayah dan Ibunya mengizinkan jalan bersama Widy, begitu juga ketika menjemputnya subuh tadi.  Bahkan Herland mengantarkan mereka dengan jip dinas bersama seorang kawan ke kampung Patrol.

"Kalau tidak ada kina, bisa banyak yang meninggal karena malaria," gumam Widy.

"Aku ragu apakah  kina  ini ditanam untuk kepentingan rakyat kita?  Apa bukan untuk orang-orang Eropa agar bisa merasa aman di daerah tropis?" ucap Syafri. "Mereka membawa bibitnya jauh dari Amerika Latin. Kebetulan ketinggiannya cocok."

"Hein, teman kita orang Belanda."

"Dia mainnya sama kita. Beda dong!"

Mereka melanjutkan perjalanan dan tiba di sebuah sawung setelah empat jam berjalan menembus hutan. Udara tidak terasa dingin. Mereka berhenti di sebuah saung bambu yang ditempati dan duduk berdekatan.  Peluh bercucuran.  Syafri merasa haus. Widy tampaknya juga begitu. Mereka bersamaan minum dari botol kaleng yang mereka bawa beberapa teguk.

"Mau makan sekarang?" ajak Widy.

Mereka masing-masing bawa bekal. Syafri membawa nasi dengan sayur Nangka dan ikan goreng balado.  Widy dibekali ayam goreng, nasi dan tumis kangkong.

"Saling tukar Yuk?" ajak Syafri.

Widy memandang. "Iya, Akang, kita harus saling berbagi."

Mereka pun saling berbagi makanan.  Syafri makan dengan lahap dan cepat.

"Rakus sekali Kang!" timpal Widy tertawa lepas.

"Iya, harus menanggung beban sih!" kata Syafri.

"Nanti bebannya lebih berat!"

Syafri merasa tertohok.

"Nggak lah, kita berbagi beban nanti," ujar Widy menghibur.  Dia tertawa.

Lalu mereka melanjutkan makan dan minum. "Anjeun sudah lulus ya? Kok masih sekolah?"

"Iya, aku, Putri dan Maria mengajar adik-adik kelas main angklung.  Kami juga mengajar menari.  Barudak angkatanku suka main terutama anak-anak kesenian sambil menunggu kuliah.  Maria sudah diterima di Fakultas Sastra UI, tetapi dia malah ingin sekolah akademi pariwisata. Putri masuk Farmasi, sekolah teknik. Irma sekolah pariwisata. Aku menunggu Universitas Padjadjaran mulai buka."

"Aku senang kawanan kamu perempuan-perempuan mau maju!"

"Akang tidak takut tersaingi istri. Jika pendidikannya sama?"

"Lebih pintar pun senang," jawab Syafri. "Malah aku lebih senang anjeun lebih pintar!"

Matanya menatap tajam pada Widy. Gadis itu diam. Syafri mendekatkan wajahnya ke Widy. Dia diam saja. Dia makin merapat. Widy sudah membaca pikirannya.

"Lebih baik nanti.  Keluargamu sudah ada di rumahku Kang Syafri.  Mereka melamarku untuk kamu.  Aku memang diminta mengajak kamu ke tempat ini!"

"Ah!" Syafri terperanjat. "Jadi bertemu di Rumah Makan Naga Mas serius?"

Widy mengangguk. "Aku percaya, kamu akan mengizinkan aku tetap kuliah. Cuma lagi diputuskan sebelum atau sesudah puasa."

Syafri minum lagi.

"Kamu mau sekarang? Setidaknya kamu minta baik-baik tidak seperti Hardja, menjebak di vila dia. Lebih asyik nanti habis Akad, kita bisa berdansa di kamar. Aku janji!"

Dia menatap Widy. Gadis itu menunggu keputusan Syafri.

"Kita ada di alam Widy," Syafri tersadar.

"Kalau ada apa-apa aku menemanimu, ikut menanggung."

Syafri pun berlutut di kaki Widy yang duduk. "Aku bersumpah tidak akan menyakiti hati Widy.  Biar aku diazab Tuhan apabila aku mengkihanatimu.   Kalau ada perempuan lain yang ingin masuk atau aku dipaksa meninggalkanmu, lebih baik aku mati di gunung."

Widy berdiri dan terperanjat. Dia terdiam.  Dia membiarkan Syafri memeluk kakinya. Tangannya kemudian membelai rambutnya.

Lalu dia berkata."Kita ada di alam bebas. Aku percaya itu keluar dari hati Aa. Hargai perempuan ya? Aku hanya minta itu! Sok atuuh berdiri! Yuk kita jalan lagi!"

"Ya, aku jadi pengawal Widy."

"Mmh, kamu tahu tidak perceraian di Jawa Barat itu tinggi? Itu membuat aku takut cepat menikah.  Kebanyakan yang cerai itu yang menikah muda!"

"Iya, tetapi banyak alasan ekonomi. Tetapi juga ada yang laki-lakinya menikah lagi begitu saja! Bahkan ada yang tidak menafkahi anaknya. Aku pernah wawancara!"

"Kamu tidak akan begitu ya? Ingat sumpah kamu tadi!"

"Iya!"

Mereka kemudian membereskan tas dan melanjutkan perjalanan.

"Mati di gunung, gagah juga!" Gumam Widy. "Aku juga pernah berpikir mendapatkan kematian di gunung. Lalu ruh ku bersemayam ikut menjaga alam."

"Pantas sepupu dari ayah aku pada berdatangan dari Padang dan Jakarta," kata Syafri. "Aku pikir hanya kumpul-kumpul menjelang puasa.  Dua hari lalu aku diminta pergi katanya rapat para orangtua. Ya aku jalan bersama Angga dan Hein."

"Mereka yang mengenalkan atuuh!"

Mereka salat zuhur di rumah penduduk. Widy meminta Syafri jadi Imam.  Untuk pertama kalinya.

Keduanya tiba di Ujungberung Bada Asar.  Syafri terkejut, ternyata sebuah jip menunggu.  "Uda Zainal?"

Dia dari Padang, seorang sepupu ayah. Seorang tentara yang bertugas di Sumatera Tengah.  Yang lebih mengejutkan lagi dia bersama Herland, sepupu Widy.

"Jemputan datang!" Herland tertawa.

"Kalian sudah kenal?" tanya Widy.

"Aku satu Angkatan dengan Herland.  Kami pernah bersama di bawah komando Kawilarang tetapi hanya sebentar," kata Herland.

"Malah satu pertempuran lawan gerombolan bersenjata itu di mana itu Bung Herland?"

"Di Subang, Maret 1952" kata Herland. "Kami dalam otobis trayek Bandung-Subang-Pamanukan. Otobis kami ditembaki belasan orang bersenjata. Tentara datang, mengejar mereka termasuk aku dan Zainal. Kami kehilangan seorang rekan."

"Aku masih di Jakarta ya? Aku sudah kuliah."

"Aku sudah SMP ya?  Tetapi aku tahu Pak Kawilarang. Dia itu kiper Tim Polo Air Indonesia waktu di Singapura.  Teman-teman renangku mengaguminya. Gagah orangnya."

"Ah, anjeun juga pernah ikut kejuaraan renang."

"Iya!" Sahut Widy.  "Di Cihampelas. Tetapi yang jago itu Carla Oen."

Mereka tiba di Rumah Widy. Di sana Geng Bandung Memang Hebat, sudah berkumpul berkumpul bersama keluarga Syafri dan keluarga Widy dan bertepuk tangan.

"Dua Petualang kita sudah datang!"  Sorak Angga dan Hein.

Ibu Widy sudah menunggu. "Pokoknya, Kalian hanya tinggal tahu beres."

"Minggu depan, ya!" kata  Hanief yang jadi juru bicara keluarga Syafri.

"Ah! Sebelum Puasa!"

"Iya, Wahang berhenti jadi wartawan kan kalau sudah bersama Widy!"  kata Bapak Syafri senang. "Permintaan Wahang sudah dikabulkan!"

Tawaran yang tidak bisa ditolak.  Dia melirik Widy.  Gadis itu mengangguk. "Aku juga takut Akang kalau bertugas meliput  penyelundupan beras dan berada di daerah gerombolan!" 

Syafri menyerah.  Bapaknya benar-benar menghajarnya dengan senjata pamungkas. (Bersambung)

 

Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun