"Lama atuuh!  Hati-hati, walau jarang suka ada gerombolan menyerang daerah ini!" salah seorang di antara mereka memperingatkan.
"Nuhun Kang!"
"Boleh kebun kini sebentar Aa?" sela Widy.
Penjaga itu mengangguk. Mereka mengawal Syafri dan Widy melihat hamparan Kebun Kina. Â Keduanya memakai celana panjang dengan bahan seperti digunakan tentara. Â Bahkan Herland sendiri yang mencarinya buat mereka. Katanya kalau hujan cepat kering.
"Sore kalian sudah pulang ya?" Pesannya.
Syafri heran mengapa Widy memilih rute ini melalui hutan pinus. Â Mengapa tidak Gunung Gede sebenarnya? Â Tetapi tadi Ayah dan Ibunya mengizinkan jalan bersama Widy, begitu juga ketika menjemputnya subuh tadi. Â Bahkan Herland mengantarkan mereka dengan jip dinas bersama seorang kawan ke kampung Patrol.
"Kalau tidak ada kina, bisa banyak yang meninggal karena malaria," gumam Widy.
"Aku ragu apakah  kina  ini ditanam untuk kepentingan rakyat kita?  Apa bukan untuk orang-orang Eropa agar bisa merasa aman di daerah tropis?" ucap Syafri. "Mereka membawa bibitnya jauh dari Amerika Latin. Kebetulan ketinggiannya cocok."
"Hein, teman kita orang Belanda."
"Dia mainnya sama kita. Beda dong!"
Mereka melanjutkan perjalanan dan tiba di sebuah sawung setelah empat jam berjalan menembus hutan. Udara tidak terasa dingin. Mereka berhenti di sebuah saung bambu yang ditempati dan duduk berdekatan. Â Peluh bercucuran. Â Syafri merasa haus. Widy tampaknya juga begitu. Mereka bersamaan minum dari botol kaleng yang mereka bawa beberapa teguk.