"Dia juga punya anak, anak laki-laki."
"Kamu penggemar janda rupanya?" Dia mulai tersenyum.
"Aku pikir janda adalah perempuan yang kuat. Janda cerai. Aku sebetulnya suka dengan perempuan yang kuat."
"Seperti Sukarno,yang kamu gembar-gemborkan sebagai Gemini Sejati? Mungkin alasannya membutuhkan Ibu Inggit karena itu? Lalu dengan Dewi juga begitu. Mengaku kuat tetapi sebetulnya rapuh! Kamu nggak apa janda punya anak?"
"Aku ngak apa jadi ayah sambung." Aku melihat wajahnya. Tetapi dia meminta untuk tidak berlebihan.
"R" tersenyum. "Kalau kamu masih timbang sana timbang sini, jangan menikah dulu."
"Iya, sih," kataku. "Bagaimana kalau ada alternatif lain? Aku ingin punya anak perempuan sebetulnya. Walau itu anak sambung? Tetapi  anak laki juga tidak apa? Asal usianya masih anak-anak. Biar aku punya kontribusi ikut membesarkan!"
Dia hanya tersenyum dan diam saja.
Kemudian aku bergegas dan dia juga selesai makan. Â Kami berpisah di pintu keluar. Mataku terus meliriknya.Â
"Aku bisa baca pikiranmu anak Jakarta. Sok, ateuh kalau merasa  sudah siap. Tetapi tidak pacaran ya? Datang saja ke rumah ngobrol dulu, kemudian baru bawa keluarga dan selanjutnya  kamu cari sendiri di internet apa itu namanya?"
"Tapi perlu pengenalan.."