“Mbak,” katanya datar.
Aku berhenti, lalu menoleh ke arah Safira.
“Mbak, aku tahu yang Mbak pikirkan, kenapa Mbak tidak begitu respek sama Tyo dan Andika, dan Mbak tidak membolehkan kami pacaran. Sebenarnya bukan karena Mbak gak mau melihat kami gagal, tapi karena Mbak punya dendam sama laki-laki!!” tuding Safira lantang. Kata-katanya begitu menusuk hatiku. Aku terhenyak.
“Apa maksud Kamu?!” tanyaku sambil menatap Safira. Tapi ia malah membalas tatapanku.
“Mbak, aku bukan anak kecil lagi! Aku tahu, selama ini Mbak menyimpan kebencian pada laki-laki karena masa lalu Mbak, hingga akhirnya Mbak mengajak kami untuk ikut membenci mereka! Begitu, kan?!”
“Itu gak adil Mbak! Mbak gak bisa berbuat seperti itu! Karena kami juga punya hak untuk menentukan bagaimana hidup kami! Mbak jangan bawa-bawa kami dalam masalah pribadi Mbak!” kata Safira masih lantang.
Hatiku semakin tertusuk. Tak kusangka, Safira akan berkata senekat itu padaku.
“Aku ingat, dulu Mbak juga berbuat hal yang sama padaku, saat aku mulai pacaran sama Tyo. Tapi Mbak lihat kan?! Sampai saat ini Tyo masih setia padaku. Dan Mbak tahu? kami sudah menjalani hubungan ini hampir 5 tahun! Apakah ini tak cukup sebagai bukti kalau tidak semua laki-laki itu brengsek seperti yang Mbak pikirkan!”
Degh! Hatiku semakin tertusuk. Sakit. Tak kusangka Safira begitu berani.
“Safira! Kamu berani ngomong begitu sama Mbak?! Siapa yang ngajarin Kamu menjadi begini, heh?! Pasti si Tyo sialan itu, kan?! Lihat... ini yang Kamu bilang dia tidak brengsek! Apa Kamu tidak sadar, heh?!” Aku tak bisa lagi menahan emosi.
“Bukan! Ini aku sendiri, Mbak! Karena aku sudah tidak tahan dengan sikap Mbak yang selalu memandang Tyo dengan sebelah mata!”