Tapi aku tak bisa membuka lagi pintu hatiku yang sudah terkunci rapat. Aku tak bisa! Terlalu banyak alasan untuk itu. Tiga kali dikhianati, ditinggalkan dan dicampakkan oleh laki-laki membuat aku yakin dengan kesimpulan bahwa semua laki-laki itu brengsek! Tidak ada yang bisa dipercaya!
***
Jam tanganku menunjukkan pukul 7.40 malam saat mobilku memasuki pekarangan rumah. Pekerjaan yang menumpuk dan jalanan yang macet sudah cukup menjadi alasan kenapa aku pulang terlambat dari biasanya. Bagi bidang pekerjaanku, akhir tahun merupakan masa-masa yang sangat melelahkan, karena semua laporan yang menyangkut keuangan harus selesai dan sesuai. Agar pendapatan dan pengeluaran bisa terlihat, jadi mudah untuk dianalisa, apakah kecenderungannya surplus atau malah merugi. Untuk itu, aku dan divisi harus bekerja ekstra agar semuanya bisa selesai tepat waktu. Tak terkecuali hari Sabtu, kami tetap bekerja lembur!
Hembusan angin malam menerpa wajahku saat aku membuka pintu mobilku. Dan setelah memastikan tidak ada bawaanku yang tertinggal, akupun segera turun. Udara malam di bulan Desember ini cukup dingin, seperti biasanya.
Setelah mengunci pintu mobil, aku bergegas masuk ke rumah. Tak kuat berlama-lama di luar. Dinginnya cukup menusuk. Di teras rumah, aku bertemu dengan Safira, adikku yang nomor tiga, dia masih kuliah semester 5. Safira tidak sendirian, tapi bersama Tyo, pacarnya, dan sepertinya mereka sudah bersiap mau pergi. Mengetahui kedatanganku, Tyo tersenyum dan mengangguk sopan padaku.
“Baru pulang, Mbak?” tanya Safira.
“Iya, mau kemana kalian?” Aku menyelidik.
“Ke depan Mbak, sekalian mau nonton,” jawab Tyo, tetap menaruh hormat padaku.
“Ooh, ya udah. Hati-hati. Pulangnya jangan terlalu malam.” Aku mengingatkan.
“Iya Mbak, mari...” Tyo pamit.
“Aku pergi dulu ya Mbak, daaagh.” Safira menimpali.