“Kemana Mas?” tanya kondektur sambil menengadahkan tangan.
“Pasar Sampangan,” jawabku memberi uang pecahan lima ribu.
“Sampangan? Mana cukup. Sepuluh ribu sekarang,” katanya.
Aku panik. Tak ada lagi uang dari dalam saku. Antara malu dan buncah. Kondektur terus menadahkan tangan. Ia memainkan uang receh. Seakan kode supaya cepat-cepat membayar. Tangan masih ripuh merogoh-rogoh saku. Meski nihil.
“Pak, Maaf. Uang saya kurang lima ribu,” ucapku menunduk tersipu.
“Ini kekurangannya,” wanita di sebelahku menyodorkan uang.
Aku melirik. Kedua mata kami bertemu. Bertatapan. Berbola mata sungguh indah. Pandangan menunduk ulang. Ia berusaha tersenyum menggoda. Baru tersadar begitu rapuhnya imanku. Sedari tadi mata mengamati tingkah wanita berpakaian serba merah.
“Siapakah dia?” tanyaku dalam hati.
Angkot pun berhenti di Pasar Sampang. Semua penumpang turun. Aku memanggil wanita berbaju merah untuk sekadar mengucapkan terimakasih. Ia mengangguk dan melempar senyum. Lagi-lagi hati meleleh karenanya.
“Mas jualan apa?” tanyanya melihat sekarung beras bawaanku.
Aku mengelap keringat di kening dengan punggung tangan,”Beras Mbak,” jawabku sedikit ngos-ngosan.