Aku tersenyum belaka sambil mengangguk. Ia tau maksudku, tak hendak bersentuhan tangan.
Vaivy menunjuk ke arah kursi,“ Duduk dulu di situ.”
Aku pun duduk. Vaivy duduk menyebelahiku. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompet. Sesekali menyibakkan rambut. Menarik-narik pakaian. Sudah pasti keketatan. Bentuk lekuk tubuhnya saja terlihat jelas.
“Ini, uangnya.”
Aku menerima uang pemberiannya. Setelah berbasa-basi, aku langsung pamit pulang.
Pertemuan dengan Vaivy begitu membekas dalam ingatan. Sempat beberapa kali kyai memintaku menjual beras ke kota. Sayang, aku tiada berjumpa sosoknya lagi. Lalu lalang pembeli sekadar mengembuskan angin di sekitar badanku. Bau parfum dan aroma amis ikan berkolaborasi. Tak satu pun ada yang menawar daganganku.
Aku menaruh sekarung beras. Peluh sudah merebas, kulap dengan lengan baju. Terlihat asap mengepul membubung tinggi. Beberapa orang berlarian. Keras teriakan “Kebakaran!” membuatku penasaran. Kaki ini melangkah menuju pusat kerumunan. Kulihat sosok Vaivy bersimpuh di tanah. Ia menangis sesengukan. Terdengar suara bersahut-sahutan.
“Dasar wanita nakal, perebut suami orang!”
Belum lagi bapak-bapak dengan emosi terus menyulutkan api. Vaivy menangis dan memekik. Sejumlah orang menjambak rambutnya. Mendorongnya hingga terjatuh-jatuh. Seseorang melempar lumpur ke wajah manisnya.
Cekatan aku berlari mendekat kerumunan. Meleraikan tangan-tangan penyiksa dan penista. Diriku terkena getah. Pukulan dan tendangan menyasar ke perut dan wajah. Entah siapa pelakunya. Hanya berusaha melindungi Vaivy. Badai amarah melingkupi. Kicauan nyaring teruntai indah melalui lidah-lidah mereka.
“Kamu siapa? Warga mana?! Heh! Kurus! Ngapain sok jadi pahlawan?! Pakaian alim begitu kok melindugi setan!” nyinyir seseorang.