“Terimakasih Mas,” ucapnya lembut. Entah sudah berapa kali ia menitikkan air mata. Mushaf masih dalam keadaan terbuka di atas meja kayu, beberapa lembar basah oleh tetesan air mata. Bidadari di hadapanku tak mampu menyembunyikan tangis bahagia. Meski masih terbata-bata, aku menyimak alunan huruf demi huruf yang terbaca.
“Sepertinya ada yang salah,” bisikku di telinga kanan. Bersama, duduk berhadapan. Jarak antar kepala kami begitu dekat. Seketika bacaan terhenti. Ia menatapku. Mengerutkan dahi penuh tanya.
“Apa dia salah menangkap maksudku?” hatiku bertanya. Ia masih membisu. Mungkin menunggu penjelasanku.
“Kenapa berhenti?”
Bukannya menjawab, malah Ia menunduk malu.
“Kenapa Dik?” Ku ulangi dengan kalimat lain. Mungkin saja bisa membuatnya bicara.
Ia menggeleng,”Maaf Mas,” katanya dengan penuh penyesalan.
“Bukan itu,” jelasku.
“Lantas?” Ia menatapku sambil mengernyitkan dahi.
Sungguh tatapan bola mata yang memancar sangat meneduhkan. Aku mengusap lembut pipinya. Ada sisa tetesan air mata. Kemudian membenahi jilbabnya. Dikira sebuah kesalahan fatal.
Sudah berjam-jam lidah ini tiada mengecap makanan. Perut kian memberontak, tapi lapar memasung dirinya. Suara lantunan ayat suci Al-Quran bergema di ruang tamu. Jendela kaca menganga, rintik-rintik hujan melingsir. Aku belum cukup tangguh menyaksikan jasad ibu terbungkus kain kafan. Bagiku, cuma ada satu sosok orangtua. Iya, ibuku lah sosok itu. Ayah yang seharusnya hadir, justru lari dari tanggungjawab.
Dengan menggendong tas ransel hitam. Paksaan mengusirku pergi. Dua orang utusan bank menyita rumah. Ibu terlilit hutang. Pikiran lopak-lapik. Langkahku terjebak di depan sebuah warung makan. Menjelangak dari etalase. Sesekali ludah tertelan. Gemingku nian lama. Merogoh-rogoh saku celana. Berharap ada sisa uang terselit di sana.
Dari dalam warung makan ada seorang lelaki mengamatiku. Ia berbaju putih, lengkap dengan kopiah hitam menjengul dari dalam warung. Aku terperanjat saat ia menghampiriku.
Kami terlibat percakapan panjang, pun menuai jawaban sosok lelaki itu, Kyai Cholil. Ia menawarkan untuk tinggal bersama. Awalnya aku menolak. Tapi ia berusaha meyakinkan. Dengan hela napas panjang, ku terima tawarannya.
Perjalanan menuju rumah pak kyai butuh ratusan menit. Perjalanan ditempuh dengan bus ekonomi. Setelah itu kami pindah menggunakan mikromini dan terakhir masih harus naik becak.
Aku takjub. Rumah pak kyai sangat besar dan luas. Bagian depannya terdapat gerbang besi menjulang. Mungkin lebih tepat disebut gapura. Beberapa lama kemudian, ada seorang yang membukakan gerbang. Ia menjabat dan mencium tangan Kyai Cholil. Kemudian Kyai Cholil mengajakku masuk. Kami bersama lelaki pembuka gerbang.
Sungguh di luar dugaan. Di balik gerbang tinggi, ada bilik-bilik seperti ruang kelas berderet. Di depan tiap bilik, beberapa teras dan lorong menghubungkan ruang-ruang. Tepat di tengah gedung, ada sebuah lapangan. Lapangan berbalut rumput hijau nan subur. Bendera merah putih berkibar di atas tiang bercat putih. Posisi tiang bendera di bagian tepi lapangan. Letaknya menjelang gedung utama.
Aku menjejaki setiap bilik. Melintasi lorong-lorong. Menyentuh-nyentuh dindingnya. Dari luar bilik kelas terdengar lantunan ayat suci al-Qur’an bersahutan. Kyai Cholil mampu menangkap rasa bingungku. Ia pun berhenti.
“Nak, mari kita masuk,” ucapnya sambil mengetuk pintu salah satu ruangan.
Dari balik pintu seorang laki-laki membukakan pintu. Pakaiannya sama dengan Kyai Cholil, hanya tak bersarung. Memakai celana panjang hitam. Penuh hormat, Ia menjabat tangan Kyai Cholil.
“Kenapa Qorib? Apa kamu tidak suka jika kuajak tinggal di sini?” tanya Kyai Cholil.
“Bukan itu,” kataku.
“Lalu?”
Mulutku terpasung. Pandanganku tertuju pada orang-orang di dalam kelas.
“Oh, mereka santri-santri pesantren ini,” jelas Kyai Cholil.
“Jadi…”
Kyai Cholil mengangguk,” Iya, kamu akan dididik di pesantren ini. Sama seperti teman-temanmu di sana,” kata Kyai Cholil.
Di tempat inilah episode baru kehidupanku bermula. Tak hanya gedung dan sebuah lapangan, pada bagian belakang pesantren juga terdapat pekarangan luas. Ada kandang-kandang dari bambu. Juga ratusan ekor ayam kampung dipelihara. Selain berternak, semua santri diajar bertani. Sekitar 200 meter dari pesantren ada hamparan sawah. Sehingga beras yang kami konsumsi merupakan beras hasil pertanian milik pesantren.
Aku menikmati kehidupan pensatren, tak lagi merasa sepi. Apalagi ada Miftah, kita berteman akrab. Miftah adalah sosok lelaki yang membukakan gerbang saat aku baru datang ke pesantren. Banyak ilmu bertebaran di pesantren. Tersedia beragam ilmu agama bak samudra. Luas dan dalam.
“Man ijtihada fa asaaba fa lahu ajrani, fa man ijtihada fa akhta’a lahu ajrun wahidan.”
Seorang ustadz sedang memberi penjelasan di depan kelas.
“Barang siapa yang mencari kebenaran hukum akan mendapat dua pahala jika benar. Dan mendapatkan satu pahala jika salah,” jelas sang ustadz bersuara pelan, penuh kesungguhan.
Sebegitu indah didikan ustadz dan Kyai Cholil. Waktu memang kejam. Memaksa langkah kaki melukis kenangan. Berangsur kesedihan pun terlepas. Sekejap jugalah bahagia singgah ke dalam hati.
Selesai belajar aku pergi ke sawah. Embusan angin semilir mengoyak wajah.
“Rib, ayo sini!” terlihat teman-teman memanggil.
Mereka sedang berkutat dengan panen padi milik pesantren. Bulir padi menguning membawa angin segar bagi kami. Sebab dari lahan inilah kebutuhan santri terpenuhi. Aku bertugas menadah gabah padi hasil gilingan. Terlihat kyai berdiri di pematang. Serupa, berkopiah hitam dan sarung bermotif kotak-kotak. Ia memanggilku. Memerintah untuk mendekat.
“Nanti sekarung beras ini kamu jual ke pasar. Tapi lokasinya agak jauh. Miftah dan teman yang lain akan mengantarmu. Ini bekal untukmu, ambilah,” tutur kyai.
Tanganku menengadah. Beberapa uang receh diberikan. Semoga saja cukup. Miftah dan beberapa teman mengantarku sampai tempat pemberhentian angkot. Sebuah angkot berwarna kuning berhenti.
Suara klakson terdengar dan sopir pun menyapa, “Kemana Mas?”
“Pasar Sampang, Pak!”
Sang sopir mengangguk. Aku pun naik. Miftah membantu menaikkan beras ke atas angkot.
“Hati-hati Rib,” katanya.
“Bismillahi tawakkaltu ‘alallah …” ucapku dalam hati.
Angkot yang kunaiki lumayan tua. Suara mesinnya memekak telinga. Belum lagi keadaan badan angkot penuh karatan. Jok-jok nampak sudah jebol. Tapi lumayan lah, dari pada harus naik delman.
Angkot terus melaju melewati hamparan sawah, kebun dan rumah-rumah. Begitu sampai di jalan raya, beberapa penumpang turun. Ada pula yang naik. Aku menggeser posisi duduk, tepat di belakang sopir. Sehingga posisiku dan sopir saling memunggungi. Kondektur berteriak-teriak mencari penumpang. Angkot berhenti lumayan lama di dekat jalan raya menuju kota. Satu per satu penumpang naik.
“Pasar Sampangan?” tanya seorang wanita pada kondektur.
“Iya, ayo!”
Ia pun melongokkan kepala ke dalam angkot. Aku tertegun. Pakain serba merah yang dikenakan mengundang perhatian. Bayangkan saja. Di tempat umum, ia memakai rok mini dan atasan you can see.
“Bisa geser Mas?” tanyanya dengan ekspresi genit.
Aku mengangguk dan menggeser posisi duduk.
Ia duduk menyilangkan kaki. Kaki jenjang, kulit mulus dan bulu mata lentik terlihat jelas di depan mataku. Ini godaan luar biasa.
Ia menyibakkan rambut panjangnya. Beberapa helai sempat mengenai pipiku. Aku berusaha menggeser posisi. Ia melirik ke arahku, tersenyum manis. Senyumnya sungguh menggetarkan hati.
“Astaghfirullah,” bisikku.
Sopir mulai menjalankan angkot. Kondisi angkot yang tua membuat tubuh sering bergoyang. Aku membuang pandangan. Wanita itu terlihat sangat menikmati perjalanan. Ia tidak risih saat segala mata menatapnya. Malah sesekali ia menebar senyum. Berkedip berselimut godaan.
Kondektur mulai menarik ongkos. Aku merogoh saku. Mengambil uang bekal dari kyai.
“Kemana Mas?” tanya kondektur sambil menengadahkan tangan.
“Pasar Sampangan,” jawabku memberi uang pecahan lima ribu.
“Sampangan? Mana cukup. Sepuluh ribu sekarang,” katanya.
Aku panik. Tak ada lagi uang dari dalam saku. Antara malu dan buncah. Kondektur terus menadahkan tangan. Ia memainkan uang receh. Seakan kode supaya cepat-cepat membayar. Tangan masih ripuh merogoh-rogoh saku. Meski nihil.
“Pak, Maaf. Uang saya kurang lima ribu,” ucapku menunduk tersipu.
“Ini kekurangannya,” wanita di sebelahku menyodorkan uang.
Aku melirik. Kedua mata kami bertemu. Bertatapan. Berbola mata sungguh indah. Pandangan menunduk ulang. Ia berusaha tersenyum menggoda. Baru tersadar begitu rapuhnya imanku. Sedari tadi mata mengamati tingkah wanita berpakaian serba merah.
“Siapakah dia?” tanyaku dalam hati.
Angkot pun berhenti di Pasar Sampang. Semua penumpang turun. Aku memanggil wanita berbaju merah untuk sekadar mengucapkan terimakasih. Ia mengangguk dan melempar senyum. Lagi-lagi hati meleleh karenanya.
“Mas jualan apa?” tanyanya melihat sekarung beras bawaanku.
Aku mengelap keringat di kening dengan punggung tangan,”Beras Mbak,” jawabku sedikit ngos-ngosan.
“Kalau begitu, aku beli semua ya Mas,” ucapnya.
Aku kaget sekali,”Mbak mau beli?” tanyaku.
Ia mengangguk,”Tolong bawakan ke rumah ya,” ia kembali bersedekah senyum.
Aku tecengang, cuma bisa mengangguk. Bahkan lupa menawarkan harga.
Kami berdua berjalan beriringan. Menapaki gang-gang cekak. Beberapa kali para lelaki bersiul-siul. Ya, siapa yang tidak tertikam pakaian seksi. Sampailah kami berdua di sebuah rumah. Bangunannya sudah cukup lawas. Ada sebuah gambar bibir di bagian dinding depan rumah. Di teras ada dua kursi dan meja kecil. Dua wanita sedang duduk sambil mengisap rokok.
“Nah, turunkan di sini saja.” Katanya
Aku menurunkan sekarung beras.
Wanita yang duduk itu segera menyingkir. Mereka berdua saling memberi isyarat. Entah apa, aku juga tak paham.
“Mas siapa tadi?” tanyanya.
“Qorib Mbak, Fathul Qorib,”jawabku dengan napas tersendat-sendat.
“Iya, Qorib. Panggil aku Vaivy,” menjulurkan tangan.
Aku tersenyum belaka sambil mengangguk. Ia tau maksudku, tak hendak bersentuhan tangan.
Vaivy menunjuk ke arah kursi,“ Duduk dulu di situ.”
Aku pun duduk. Vaivy duduk menyebelahiku. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompet. Sesekali menyibakkan rambut. Menarik-narik pakaian. Sudah pasti keketatan. Bentuk lekuk tubuhnya saja terlihat jelas.
“Ini, uangnya.”
Aku menerima uang pemberiannya. Setelah berbasa-basi, aku langsung pamit pulang.
Pertemuan dengan Vaivy begitu membekas dalam ingatan. Sempat beberapa kali kyai memintaku menjual beras ke kota. Sayang, aku tiada berjumpa sosoknya lagi. Lalu lalang pembeli sekadar mengembuskan angin di sekitar badanku. Bau parfum dan aroma amis ikan berkolaborasi. Tak satu pun ada yang menawar daganganku.
Aku menaruh sekarung beras. Peluh sudah merebas, kulap dengan lengan baju. Terlihat asap mengepul membubung tinggi. Beberapa orang berlarian. Keras teriakan “Kebakaran!” membuatku penasaran. Kaki ini melangkah menuju pusat kerumunan. Kulihat sosok Vaivy bersimpuh di tanah. Ia menangis sesengukan. Terdengar suara bersahut-sahutan.
“Dasar wanita nakal, perebut suami orang!”
Belum lagi bapak-bapak dengan emosi terus menyulutkan api. Vaivy menangis dan memekik. Sejumlah orang menjambak rambutnya. Mendorongnya hingga terjatuh-jatuh. Seseorang melempar lumpur ke wajah manisnya.
Cekatan aku berlari mendekat kerumunan. Meleraikan tangan-tangan penyiksa dan penista. Diriku terkena getah. Pukulan dan tendangan menyasar ke perut dan wajah. Entah siapa pelakunya. Hanya berusaha melindungi Vaivy. Badai amarah melingkupi. Kicauan nyaring teruntai indah melalui lidah-lidah mereka.
“Kamu siapa? Warga mana?! Heh! Kurus! Ngapain sok jadi pahlawan?! Pakaian alim begitu kok melindugi setan!” nyinyir seseorang.
“Duh Gusti, kuatkan imanku.”
Rumah Vaivy hancur, rata dengan tanah. Menyisakan puing-puing hangus. Menghalau kerumunan berangsur bubar. Vaivy masih tersedu-sedu. Lengan kirinya berdarah. Entah karena goresan entah cakaran. Bajunya sobek-sobek. Darah bercampur lebam melukis pelipis.
Hujan menopengi tangisnya. Isak masih berderai melunturkan bedak dan lipstik Vaivy. Aku membangunkannya. Menuntun ke tempat ia mangkal, sejenak berteduh. Tak banyak yang ku perbuat. Setelah kedua temannya datang, punggung ini lenyap tertelan kelokan jalan.
Sejak peristiwa kebakaran, sulit sekali menemuinya. Pernah suatu ketika bertemu, keadaannya tak mengenakkan. Ia sedang melayani pelanggan. Duduk bermesraan dengan pria perlente. Kata temannya, jam terbang Vaivy tidak seperti dulu. Ia sering sakit-sakitan.
Sekelibat ada Vaivy yang melintang dalam benakku. Keprihatinan menjadi-jadi. Mengapa ia masih berterbangan menjual kemolekan tubuh tanpa berdosa.
“Aku harus ke tempat itu,” batinku menggugat.
Kerap kali, satu jam aku mengunjungi Vaivy. Menemuinya, disaksikan dua wanita lain berparas kesinisan.
“Eh, Mas ngapain juga sering ke sini?” tanyanya sambil berkacak pinggang,”Pergi sana!” bentaknya dengan mata melotot.
Dua wanita lain yang diam sontak menertawaiku.
“Teruskan hingga kamu merasa jemu,” kalimat yang selalu ku sampaikan.
Vaivy mungkin jenuh. Ia jengah padaku. Tapi aku selalu bersikeras melakukan pendekatan. Hanya untuk mengajaknya berhenti.
“Datang lagi, datang lagi. Mas ini mau kami layani apa gimana sih?” ucap teman Vaivy setiap kali aku datang.
“Sudah saatnya pulang ke rumah Mbak,” kataku.
“Cuih!” salah satu wanita meludah,“Halah Mas, kalau mau ceramah ya di masjid. Di sini tempat bersenang-senang. Orang pesantren kok berani benar ke tempat ini, kau punya uang? Baju kumal begitu, hahaha…” cacinya menusuk hati.
“Ada pesan dari guru saya Mbak,” jelasku.
“Halah, pesan apa?!” Mengibas-ngibas tangan, “Mau pesan wanita seperti apa?! Biar kita kirim ke pesantren. Heh! Kerempeng! Punya uang tidak. Hahaha…” cemoohnya.
“Pesan apa?” Vaivy keluar memecah ketegangan. Cuma handuk yang menudungi tubuhnya.
“Apa mau yang seperti Vaivy?!” hina teman Vaivy sambil cekikian.
“Sudah saatnnya berubah,” kataku sambil berbalik arah.
Ejekan sepanjang jalan meruah. Aku kasihan melihat mereka. Tak ingin meranggul mereka begitu lama dalam gulita. Pun memblengok mereka bernasib sama seperti ibu.
“Duh Gusti, kuatkan imanku,”
Tujuh senja telah ku saksikan. Perjuanganku membuahkan hasil. Ia memutuskan berhenti. Bukan tanpa alasan. Dua sahabat dekatnya terbunuh saat melayani tamu. Kini ia berganti mencariku. Menebalkan kembali tulisan agama. Kusambut niat itu dan menggores ingatannya. Tak henti menyemangati. Meski beberapa kali putus asa merayunya kembali ke lembah hitam.
Vaivy laksana pelita. Meski ia melukis gulita saban waktu, butiran cahaya terpatri dalam hatinya. Dunia menggelitik tawa dalam nestapa. Meski terkadang Tuhan menyiapkan hiburan berupa lara.
Benci? Aku tak pernah membencinya. Tetapi Tuhan gusar dengan perilakunya. Untuk itu, kujemput ia berbekal mahar hafalan Quran. Musim hujan berakhir menyisakan gumpalan embun di kaca jendela. Gulita buyar oleh nyala pelita. Sungguh terjal titian menemukan kehendak Tuhan dalam kehendak dirinya.
“Duh Gusti, kuatkan iman kami.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H