Dengan menggendong tas ransel hitam. Paksaan mengusirku pergi. Dua orang utusan bank menyita rumah. Ibu terlilit hutang. Pikiran lopak-lapik. Langkahku terjebak di depan sebuah warung makan. Menjelangak dari etalase. Sesekali ludah tertelan. Gemingku nian lama. Merogoh-rogoh saku celana. Berharap ada sisa uang terselit di sana.
Dari dalam warung makan ada seorang lelaki mengamatiku. Ia berbaju putih, lengkap dengan kopiah hitam menjengul dari dalam warung. Aku terperanjat saat ia menghampiriku.
Kami terlibat percakapan panjang, pun menuai jawaban sosok lelaki itu, Kyai Cholil. Ia menawarkan untuk tinggal bersama. Awalnya aku menolak. Tapi ia berusaha meyakinkan. Dengan hela napas panjang, ku terima tawarannya.
Perjalanan menuju rumah pak kyai butuh ratusan menit. Perjalanan ditempuh dengan bus ekonomi. Setelah itu kami pindah menggunakan mikromini dan terakhir masih harus naik becak.
Aku takjub. Rumah pak kyai sangat besar dan luas. Bagian depannya terdapat gerbang besi menjulang. Mungkin lebih tepat disebut gapura. Beberapa lama kemudian, ada seorang yang membukakan gerbang. Ia menjabat dan mencium tangan Kyai Cholil. Kemudian Kyai Cholil mengajakku masuk. Kami bersama lelaki pembuka gerbang.
Sungguh di luar dugaan. Di balik gerbang tinggi, ada bilik-bilik seperti ruang kelas berderet. Di depan tiap bilik, beberapa teras dan lorong menghubungkan ruang-ruang. Tepat di tengah gedung, ada sebuah lapangan. Lapangan berbalut rumput hijau nan subur. Bendera merah putih berkibar di atas tiang bercat putih. Posisi tiang bendera di bagian tepi lapangan. Letaknya menjelang gedung utama.
Aku menjejaki setiap bilik. Melintasi lorong-lorong. Menyentuh-nyentuh dindingnya. Dari luar bilik kelas terdengar lantunan ayat suci al-Qur’an bersahutan. Kyai Cholil mampu menangkap rasa bingungku. Ia pun berhenti.
“Nak, mari kita masuk,” ucapnya sambil mengetuk pintu salah satu ruangan.
Dari balik pintu seorang laki-laki membukakan pintu. Pakaiannya sama dengan Kyai Cholil, hanya tak bersarung. Memakai celana panjang hitam. Penuh hormat, Ia menjabat tangan Kyai Cholil.
“Kenapa Qorib? Apa kamu tidak suka jika kuajak tinggal di sini?” tanya Kyai Cholil.
“Bukan itu,” kataku.