Berikut adalah beberapa isi dari UU Omnibus Law yang dianggap bertentangan dengan hak atas tanah ulayat sultan atau raja, khususnya terkait dengan Masyarakat Adat:
1. Penghapusan Persetujuan DPR
- UU Cipta Kerja menghapus keharusan mendapatkan persetujuan DPR dalam pelepasan kawasan hutan. Hal ini mengurangi kontrol Masyarakat Adat dan sultan/raja atas wilayah yang mereka miliki.
2. Prosedur Pengakuan Masyarakat Adat
- Prosedur pengakuan Masyarakat Adat kini diserahkan kepada kebijakan sektoral, yang seringkali rumit dan tidak transparan. Ini dapat mengakibatkan kesulitan bagi Masyarakat Adat, termasuk sultan/raja, untuk mendapatkan pengakuan atas tanah ulayat mereka.
3. Izin Usaha di Wilayah Adat
- Meskipun ada klausul yang menyatakan bahwa izin di atas wilayah adat harus dengan persetujuan Masyarakat Adat, kenyataannya prosedur ini sering kali tidak berjalan efektif. Ini membuka peluang bagi investor untuk mengeksploitasi tanah ulayat tanpa persetujuan yang jelas.
4. Karpet Merah untuk Investasi
- UU ini memberikan izin HGU (Hak Guna Usaha) selama 90 tahun, yang berarti tanah ulayat yang dirampas baru bisa kembali ke Masyarakat Adat setelah waktu yang sangat lama, sehingga mengancam keberlanjutan hak atas tanah tersebut.
5. Pencabutan Perda
- UU Cipta Kerja memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mencabut Peraturan Daerah (Perda) yang memberikan pengakuan terhadap Masyarakat Adat, termasuk hak atas tanah ulayat. Ini berpotensi merugikan hak-hak tradisional yang telah ada.
6. Sanksi Administratif
- Pelanggaran terhadap izin usaha di wilayah adat hanya dikenakan sanksi administratif, tanpa sanksi pidana. Ini memudahkan pelanggaran hak atas tanah ulayat oleh pihak ketiga.
Bukti keserakahan Pemerintah yang tidak pernah berhenti dengan cara-cara memanipulasi Sultan dan Raja Nusantara dengan kebijakan UU Omnibus Law yang sangat bertentangan dengan hak-hak atas tanah ulayat sultan/raja Nusantara karena mengurangi kontrol mereka atas wilayah adat, menghapus perlindungan hukum, dan memberikan kemudahan bagi investor untuk mengeksploitasi tanah yang seharusnya dilindungi.
Berikut lampiran Resolusi yang telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dan aslinya Inggris . United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples
Resolusi yang Diterima oleh Majelis Umum pada 13 September 2007
[tanpa referensi ke Komite Utama (A/61/L.67 dan Add.1)]