Mohon tunggu...
Indra Wardhana
Indra Wardhana Mohon Tunggu... Konsultan - Advance Oil and Gas Consulting

Expert in Risk Management for Oil and Gas, Security and Safety

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemerintah Indonesia : Pengabaian Sejarah dan Manipulasi Hak Tanah Ulayat untuk Kepentingan Kolonial Modern !

15 Desember 2024   18:13 Diperbarui: 15 Desember 2024   18:30 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
                 PETA WILAYAH KEKUASAAN CIREBON 1857                           sumber : Batavia : Uitgegeven bij van Haren Noman & Kolff, [1857] 

Pertama, Indonesia hingga saat ini belum memiliki regulasi yang secara khusus mengatur pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Keberadaan RUU tentang Masyarakat Adat yang disusun, pada awalnya sempat memupuk harapan tersebut, namun tidak kunjung disahkannya RUU tersebut menandakan ketidakseriusan Pemerintah dan DPR untuk memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat. Pasalnya, RUU ini telah beberapa kali gagal ditetapkan menjadi undang-undang, padahal di sisi lain situasi masyarakat adat kian memprihatinkan di tengah himpitan berbagai proyek pembangunan pemerintah yang mengancam eksistensi mereka. Selain itu, selama ini sejumlah organisasi masyarakat sipil turut mendesak agar DPR dapat secara terbuka dan transparan dalam membahas dan menyusun, serta mengadopsi usulan masyarakat adat, salah satunya terkait substansi draf RUU Masyarakat Adat yang belum dapat menjawab persoalan.

Dalam sisi yang lain, ikhtiar untuk merespon berbagai situasi yang dialami oleh masyarakat adat juga diupayakan Pemerintah dengan menerbitkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM). RANHAM merupakan dokumen resmi yang memuat sasaran, strategi, dan fokus kegiatan prioritas digunakan sebagai acuan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah dalam melaksanakan penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM di Indonesia. Sayangnya, lahirnya kebijakan RANHAM Periode 2021-2025 sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden No. 53 Tahun 2021 belum mengakomodasi beberapa isu krusial HAM serta pelaksanaan sejumlah aksi HAM 2015-2019 yang belum optimal. Beberapa aksi HAM yang belum optimal dan disertakan kembali di dalam Perpres RANHAM Generasi Kelima. Beberapa aksi tersebut diantaranya optimalisasi pemberian layanan bantuan hukum bagi empat kelompok rentan (perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat) dan upaya pengakuan entitas masyarakat hukum adat, serta penyelesaian konflik agraria. Upaya ini patut diapresiasi dengan catatan. Melalui RANHAM, kementerian/lembaga dan pemerintah daerah seharusnya dapat secara nyata dan bertanggung jawab turut memproyeksikan regulasi yang mendorong penghormatan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Terlebih upaya ini masuk dalam dua generasi RANHAM, untuk itu idealnya aktualisasi komitmen pembahasan substansial dan pengesahan RUU Masyarakat dapat diejawantahkan.

Kedua, kemendesakan pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat, salah satunya dilatarbelakangi langgengnya opresi yang dialami oleh masyarakat adat. Dalam laporan situasi Pembela HAM atas Lingkungan 2020 misalnya, ELSAM memperlihatkan kondisi Pembela HAM di sektor lingkungan sepanjang 2020 masih memprihatinkan, khususnya di tengah banyaknya serangan dan ancaman kekerasan. Laporan tersebut mengidentifikasi jumlah korban kekerasan dan kriminalisasi di wilayah pedesaan meningkat tajam. Laporan ini menyebutkan masyarakat adat menjadi korban kekerasan Pembela HAM terbesar yakni 69 orang, sedangkan pada 2019 berjumlah 12 orang.

Serangan dan ancaman kekerasan yang dialami oleh masyarakat adat juga dapat dilihat dalam beberapa kasus lainnya. Beberapa diantaranya, seperti penangkapan massa aksi penolakan ekspansi perkebunan sawit di hutan adat desa masyarakat Kinipan. Pada akhir 2020 yang lalu, mereka ditangkap oleh pihak Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Tengah karena mempertahankan wilayah adatnya yang sudah diregistrasi melalui Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Selain itu, kriminalisasi juga dialami oleh Bongku, Masyarakat Adat Sakai di Suluk Bongkal karena dituduh melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah, Padahal dalam realitas, keseharian Bongku adalah bertani tradisional, untuk menghidupi keluarganya bertanam Ubi Kayu, Ubi Menggalo (Ubi Racun) yang dapat diolah menjadi Menggalo Mersik salah satu makanan tradisional masyarakat adat Sakai.

Berdasarkan hal tersebut, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) merekomendasikan agar:

  1. Presiden dan DPR segera membahas kembali secara lebih terbuka dan transparan dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat untuk memberikan pengakuan dan perlindungan yang memadai terhadap hak-hak masyarakat adat secara nyata;
  2. Presiden lebih serius dalam memastikan perlindungan Para Pembela HAM termasuk masyarakat adat dengan menindaklanjuti usulan lama masyarakat sipil tentang perlunya payung hukum perlindungan Pembela HAM atas Lingkungan melalui Perpres untuk memperkuat implementasi Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
  3. Presiden Joko Widodo harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan, kedaulatan lingkungan dan perlindungan HAM termasuk hak-hak masyarakat adat dalam setiap kebijakan terkait ekonomi dengan menerapkan prinsip Persetujuan atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA).

Sumber: elsam.or.id

2. Pentingnya Pengakuan Hak Tanah

Pengakuan hak tanah ulayat oleh PBB menunjukkan bahwa negara tidak dapat mengabaikan hak-hak historis yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Pemerintah Indonesia harus segera mengambil langkah untuk mengakui dan menghormati hak-hak ini, sebagai bentuk tanggung jawab moral dan hukum.

Berbagai kritikan pun muncul dari Masyarakat Adat sendiri salah satunya dari AMAN -- Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dalam siaran Pers mereka di https://www.aman.or.id/wp-content/uploads/2020/10/SIARAN-PERS-Sikap-AMAN-terhadap-UU-Omnibuslaw.pdf , sebagai garda terdepan Kesultanan dan Kerajaan Nusantara,Kritik terhadap pemerintah Indonesia atas manipulasi hak kepemilikan tanah dan pengabaian kesultanan Cirebon adalah penting untuk memastikan keadilan sosial. Tanpa pengakuan yang tepat terhadap hak-hak historis, negara berisiko menciptakan ketidakadilan yang berkepanjangan. Pengakuan PBB terhadap hak tanah ulayat harus menjadi pendorong bagi pemerintah untuk memperbaiki kesalahan masa lalu dan menghormati sejarah serta budaya lokal. Sudah saatnya pemerintah bertindak adil dan bijaksana dalam mengelola sumber daya alam dan tanah di Indonesia.

Undang-Undang Omnibus Law yang menghancurkan Kerajaan dan Kesultanan Nusantara

  1. Kondisi Masyarakat Adat:
    • Masyarakat Adat saat ini berada dalam situasi yang rentan tanpa perlindungan hukum dari investor yang menginvasi wilayah adat mereka.
    • RUU Masyarakat Adat dan RUU Omnibus Law dibahas dalam program legislasi nasional, namun RUU Masyarakat Adat belum disahkan setelah dua periode DPR.
  1. Penolakan terhadap UU Cipta Kerja:
    • AMAN menolak UU Cipta Kerja (Omnibus Law) karena dianggap merugikan Masyarakat Adat. Penolakan ini didasarkan pada dua aspek:
      • Proses Pembentukan:
        • Tidak ada konsultasi atau dialog dengan Kesultanan/Kerajaan serta Masyarakat Adat dalam pembentukannya.
        • Proses pembahasan yang cepat dan diam-diam menunjukkan sikap tidak etis dari DPR dan pemerintah.
      • Isi UU:
        • UU ini bertentangan dengan UUD 1945 dan hukum hak asasi manusia, serta mengancam keberadaan Masyarakat Adat.
  1. Dampak Negatif dari UU Cipta Kerja:

    • Perampasan Wilayah Adat:
      • Meskipun ada klausul yang menyatakan izin di atas wilayah adat harus dengan persetujuan Masyarakat Adat, prosedur pengakuan Masyarakat Adat tetap diserahkan kepada kebijakan sektoral yang rumit.
    • Kriminalisasi Masyarakat Adat:
      • Penghapusan pengecualian bagi Masyarakat Adat untuk berladang dengan cara membakar, yang sebelumnya diakui, meningkatkan risiko kriminalisasi.

    • Karpet Merah untuk Investasi: Izin HGU selama 90 tahun memberikan peluang kecil bagi Masyarakat Adat untuk mendapatkan kembali wilayah mereka.
    • Ancaman terhadap Kebijakan Perlindungan: Perda yang ada yang mengakui Masyarakat Adat terancam dicabut jika bertentangan dengan kepentingan investasi.    
  1. Pekerjaan Tradisional:
    • UU Cipta Kerja berpotensi menghilangkan pekerjaan tradisional Masyarakat Adat karena memudahkan investasi tanpa mempertimbangkan hak-hak mereka.

UU Cipta Kerja tidak hanya merugikan Masyarakat Adat dari segi hukum, tetapi juga mengancam keberadaan dan hak-hak mereka atas wilayah adat dan pekerjaan tradisional. AMAN menuntut partisipasi yang lebih besar dari Masyarakat Adat dalam proses legislasi dan perlindungan yang lebih baik terhadap hak-hak mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun