Mohon tunggu...
Cerpen

Perjalanan Dari Kendari Menuju Alaska

14 Desember 2017   21:19 Diperbarui: 14 Desember 2017   21:30 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

*Terdedikasi untuk seluruh teman - teman pembaca yang pernah menghianati lalu menyesali, dihianati lalu memaafkan, dan kehilangan lalu mengikhlaskan*

"Selamat ya" ucap sebagian besar tamu undangan yang hadir malam ini, sambil menyalami sang empunya acara. "Terimakasih banyak" jawab sang empunya acara tatkala membalas uluran tangan tamu undangan. "Bagi jugalah tips untuk lulus kuliah di luar negeri kepada kami Ali" sergah Jonathan yang merupakan sahabat karib Ali tatkala seluruh tamu undangan berpamitan pulang ke rumah masing - masing, tak terkecuali keempat sahabat karibnya yang tanpa diperintah lalu duduk di salah satu meja bundar. "Iya Ali, kami inikan sahabat karibmu apakah kau tak mau berbagi tips untuk kami?" Aliyah menimpali sembari meneguk segelas air putih yang ia ambil dari lemari pendingin. "Tak ada tips untuk itu. Hanya keberuntungan dan rezeki dari Tuhan" jawab Ali menanggapi pertanyaan sahabatnya sambil menyeruput kopi yang sudah mulai dingin.

"Kau ini Ali tak berubah malah semakin religius" sergah Fahri yang diikuti anggukan ketiga teman mereka tanda setuju dengan pernyataannya. "Tidaklah, Itu hanya perasaan kalian saja. Ya namanya juga hidup, kita semua punya Tuhan kan? Kalau tidak meminta dan menyembah kepada-Nya mendingan tidak usah ada Tuhan. Kalau Tuhan tidak ada manusia juga mendinglah tidak usah ada, kan tidak ada yang menciptakan. Bukan begitu?" Jawabnya sambil tersenyum simpul yang diiringi anggukan keempat sahabatnya mengiyakan. "Oh ya Ali, kau kan sebentar lagi berangkat ke Alaska"

"Yah, tepatnya dua hari lagi" sergah Ali memotong ucapan Hari

"lantas bagaimana dengan?" lanjut Hari dengan wajah yang serius "maksudku bagaimana dengan Sakinah?" Lanjutnya lagi yang diikuti tatapan serius ketiganya ke arah Ali.

"Sudahlah tak usah dipikirkan. Aku sudah membuat janji bertemu dia besok." Sambil menatap ke arah empat orang sahabatnya.

"Janganlah kau membuat resah perasaan anak orang Ali. Perempuan itu butuh kepastian, bagaimana Aliyah?" Sergah Jonathan sambil menatap kearah Ali dan Aliyah secara bergantian. "Ya, itu benar Ali. Kalau kau tak membuat keputusan mau kau kemanakan perasaan Sakinah, kasihan dia" jawab Aliyah dengan wajah yang serius. "Ya makanya besok aku mau bertemu dengannya untuk membuat keputusan. Setidaknya mengutarakan perasaanku kepadanya" jawab Ali sambil kembali menyeruput kopinya yang sudah dingin. "Ya baguslah kalau seperti itu. Kami hanya bisa mendukung seluruh keputusanmu, Ali" sergah Aliyah yang diikuti anggukan ketiga sahabatnya tanda setuju.

"Baiklah Ali, waktunya kami berempat pamit. Sampaikan salamku pada Ibumu yang mungkin sudah lebih dulu tertidur" sergah Fahri yang diikuti bangkitnya mereka dari tempat duduk lalu berjalan ke arah ruang depan.

"Ya nanti saya sampaikan" jawab Ali sambil melambaikan tangan kepada sahabatnya yang sudah masuk ke dalam mobil sedan hitam yang dikemudikan oleh Hari yang merupakan pemilik mobil. Sedetik kemudian mobil sedan hitam tersebut lalu melaju dengan mulus meninggalkan rumah Ali, kemudian hilang ditelan pekatnya malam. Ali yang masih berdiri memastikan mobil sedan hitam itu berjalan mulus lalu membalik badan dan menutup pintu, menuju ruang keluarga, merapikan gelas minuman keempat sahabatnya, membawanya ke dapur, melangkahkan kaki menuju kamar dan jatuh tertidur.

***

"Ada apa denganmu Aliyah? Apa yang kau lakukan? Astaga Aliyah, kau" sergah Jonathan tatkala mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah masing -- masing.

"Maafkan aku" jawab aliyah singkat sambil menunduk menatap keluar kaca mobil.

"Jika perlu kami bisa membantumu untuk bersama dengan Ali. Bagi kami tidak ada yang lebih berharga selain kebahagiaanmu" sergah Hari sambil terus mengemudi membelah jalan pusat kota Kendari.

"Kalian tidak perlu melakukan itu. Semuanya sudah jelas, dia mencintai Sakinah lebih dari apapun. Aku tidak pantas untuk berharap lebih lagi" jawab Aliyah dengan mata yang mulai berkaca -- kaca. "Terimakasih banyak karena kalian selalu ada untukku. Ini sudah lebih dari cukup, mungkin sudah waktunya aku melanjutkan hidup" gumam Aliyah lagi tatkala mobil yang dikemudikan Hari berhenti tepat di depan rumahnya, membuka pintu mobil, keluar, tanpa mengucapkan kalimat selamat tinggal kepada sahabat -- sahabatnya lalu berjalan memasuki rumah tanpa berbalik. Yang ia inginkan hanya merebahkan diri di kamarnya melebur seluruh luka yang hampir menciptakan mati malam ini.  

***

"Ali, bangun sarapan nak" samar - samar suara ibu terdengar dari arah dapur, membangunkanku yang tertidur di atas sofa setelah selesai sholat subuh di mesjid belakang rumah. "Allahuakbar" sergahku seraya bangkit berdiri lalu melangkah menuju dapur. "Ayo kemari nak duduk sarapan" sergah ibu yang sedang meletakkan roti bakar di atas meja makan sambil menunjuk kursi kosong di hadapannya. "Bau ini yang akan aku rindukan setiap pagi di Alaska nanti" kataku sembari menarik kursi lalu duduk dan menyantap roti bakar buatan ibu. "Kau ini Ali. Makan cepat lalu mandi. Kita akan ke Mall Mandonga untuk membeli perlengkapanmu yang masih kurang" jawab ibu sambil mengunyah roti bakar buatannya. "Baik ibu, tapi sungguh roti ini enak sekali" sergahku sambil mengunyah.

"Ali, saat kau sudah disana nanti jangan menetap terlalu lama nak" kata ibu lalu menatapku dengan serius, sepertinya sudah akan memasuki pembicaraan yang sedikit serius. "Iya bu, Ali hanya tiga tahun di Alaska tidak lebih. Lagi pula jika ibu sesekali ingin menjenguk, ibu bisa menyusul. Negara menyediakan tunjangan untuk keluarga yang ingin menjenguk" jawabku menghabiskan jatah roti bakar. "Bukan itu yang ibu maksud, tapi" tukas ibu lalu menunduk seperti sedang memikirkan hal yang serius "Ibu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Apapun yang terjadi semuanya sudah diatur oleh Allah, termasuk apa yang akan ibu khawatirkan tentang kejadian yang menimpa ayah saat menumpangi pesawat Adam Air dulu. Percayalah bu" jawabnya seraya bangkit berdiri lalu berjalan ke arah ibu lalu mencium puncak kepalanya.

"Sungguh nak. Ibu sangat takut jika ibu harus kehilangan lagi. Bertahun -- tahun semenjak kepergian Ayahmu, ibu seperti merasa hidup hanya dengan setengah hati nak, setengah hati ibu sudah mati. Ayahmu pergi dia juga membawa setengah hati ibu dan jika kau juga" sergah ibu lalu menghapus air matanya

"Jika kau juga meninggalkan saya, bagaimana saya bisa hidup dengan hati yang sudah mati sepenuhnya nak" lanjutnya sambil kembali menghapus air matanya yang keluar semakin deras dari pelupuk matanya.

"Ibu percayalah aku tidak akan meninggalkan ibu. Ibu tidak perlu khawatir" kataku lalu mengambil posisi berlutut di hadapannya.

"Kita akan ke Mall Mandonga kan? Ali mau mandi dulu. Ibu juga bersiap - siap ya" lanjutku lagi seraya bangkit berdiri, berbalik badan lalu berjalan menuju kamar meninggalkan ibu yang terdiam dengan seribu satu pikiran. "Semoga tidak terjadi, ya Allah" sergahnya dalam hati lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju kamar.

"Kita ketemu jam berapa?" Isi pesan singkat yang masuk melalui ponselku

"jam satu siang di Taman Kota. Mau saya jemput?"
"Tidak perlu. Saya bisa pergi sendiri"
"Oh ya terserah"
"Temui saya di tangga menuju kantor Wali Kota"
"Baiklah"
Kuletakkan ponselku di atas meja seraya berjalan mengambil handuk yang bertengger di jemuran dekat jendela lalu berjalan menuju kamar mandi.

***

"Ayo ibu kita berangkat" tukasku tatkala melihat ibu yang sudah siap berjalan ke arahku yang dibalas dengan anggukan kecil, lalu berjalan menuju garasi tempat mobil sedan silver peninggalan ayah terparkir, semenit kemudian mobil sedan silver berjalan mulus menyusuri jalanan aspal yang ramai lancar. sesampainya kami di sana, kami lalu berjalan memasuki gedung Mall dan mulai mencari perlengkapan yang perlu di beli sesuai apa yang sudah ibu tulis di daftar belanja. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang tatkala kami sampai di rumah, waktu zuhur.

"Sini ibu saya bantu membawa barangnya" sergahku seraya mengambil barang belanja yang ada di tangan ibu.

"Sungguh melelahkan" keluh ibu seraya berjalan menuju lemari pendingin mengambil sebotol air putih dan menuangkannya ke dalam dua buah gelas, lalu membawanya ke ruang keluarga tempatku berada.

"Terimakasih ibu" tukasku tatkala menerima segelas air putih dari ibu.

"Ibu, Ali sholat zuhur dulu di Mesjid ya" sergahku setelah selesai meneguk habis air putih tersebut yang dibalas dengan anggukan kecil ibu.

***

"Tiga puluh menit lagi" kataku dalam hati tatkala melihat jam yang bertengger gagah di lengan kananku, bergegas kembali kerumah mengambil mobil di garasi. Semenit kemudian mobil sedan silver kembali membelah jalan yang ramai lancar.

"Maaf, sudah lama menunggu?" Tanyaku setelah sampai di Taman Kota

"belum lama. Hal apa yang ingin kau bicarakan?" Jawab sakinah dengan tatapan yang serius.

"mengapa kau tidak ke acara syukuranku tadi malam?"
"Saya sedikit kurang sehat tapi sudah lebih baik hari ini"
"Oh baguslah kalau begitu. Saya mengajakmu kesini karena ingin meminta maaf atas segala kesalahan saya kepadamu selama ini, saya mungkin tidak akan pulang sampai tiga tahun kedepan. Dan terimakasih untuk seluruh perhatian yang kamu berikan kepada saya dan yang paling penting seluruh bantuan yang kamu berikan. Jujur saya tidak tahu lagi bagaimana harus membalas seluruh kebaikanmu"
"Sebelum kamu meminta maaf Saya bahkan sudah memaafkan semua kesalahanmu dan kaupun tak perlu melakukan apa -- apa untuk membalas seluruhnya, tidak ada yang perlu disesalkan. Oh ya kau bahkan belum menjawab pertanyaan saya mengenai perempuan itu"
"Perempuan yang mana?" tanyaku dengan nada bicara dan ekspresi wajah bingung
"Ya. Perempuan yang sering kau sebut beberapa bulan terakhir. Kau senang ketika melihat senyumnya, senang ketika dia mengucapkan salam kepadamu sambil tersenyum. Kau belum memberi tahu siapa perempuan itu"
"Oh saya bahkan sudah lupa perempuan itu ketika bersamamu"
"Oh ya? Kalau begitu jawab saya dengan jujur. Apa keputusanmu untuk kita?"
"Maksudnya?"
"Iya. Apa keputusanmu untuk kita, untuk hubungan kita"
"Hubungan kita? Bukankah hubungan Kita hanya teman Sakinah?"
"Hanya teman? Terimakasih banyak Ali" tukasnya dengan mata yang berkaca - kaca lalu berbalik badan

"Hey ada apa denganmu? Kenapa seperti ini?" Sergah Ali sambil menahan Sakinah yang sudah ingin melangkah pergi

"Disituasi seperti ini kau masih bertanya ada apa dengan saya? Ali mengapa jiwamu sangat membatu? Tidak adakah sedikit kepekaan dijiwamu tentang kita? Bahkan sampai pada titik dimana kau sudah akan pergi meninggalkan saya" jawabnya masih dengan Mata yang berkaca - kaca.

"Ada apa denganmu Sakinah?"
"Sudahlah Ali, saya sudah lelah bicara denganmu. Maafkan saya yang terlalu menuntut kamu untuk memahami saya. Tapi percayalah Ali apapun yang sudah kamu lakukan kepada saya juga akan dibalas oleh Tuhan akibat perbuatanmu sendiri. Dan satu lagi Ali, saya meminta kepadamu agar menjaga lisanmu. Jangan mudah mengucapkan kata yang terlalu manis kepada perempuan yang kau tiada niat untuk hidup dengan dia, layaknya apa yang kamu lakukan kepada saya. Besok kau akan berangkat ke Alaska, semoga Tuhan memudahkan jalan untuk kau wujudkan mimpi - mimpimu. Assalamu'alaikum"

"Sakinah, sebentar. Kau mau aku antar pulang?"

"Terimakasih tapi itu tidak perlu. Saya membawa kendaraan sendiri" katanya seraya pergi meninggalkan Ali yang masih mematung mencerna apa yang diutarakan Sakinah "Ada apa ini ya Allah? Apakah saya memang bersikap berlebihan kepada dia?" sergahnya lalu berjalan menuju mobil sedan silver yang membawanya kembali membelah jalan besar kota Kendari.

***

"Hati - hati ya nak Jaga dirimu baik - baik. Kalau mau makan jajanan perhatikan selalu label halalnya" tukas ibu tatkala kami sedang berada di ruang tunggu bandara Halu Oleo Kendari, sekitar sepuluh menit sebelum keberangkatan.

"Bagaimana urusan check in mu Ali? Sudah selesai?" Tanya Aliyah yang berdiri di samping ibu

"Iya Aliyah sudah selesai semuanya" jawabku sembari tersenyum lebar.

"Ibu, Fahri, Hari, Aliyah, Jonathan. Kalau begitu saya masuk dulu. Terimakasih sudah mengantar" kataku setelah mendengar panggilan petugas bandara dari pengeras suara. "Baiklah nak pergilah dan jaga dirimu baik - baik. Sering - sering menghubungi ponsel ibu" kata ibu sembari mengalungkan tangannya di leherku, lalu melepas pelukannya.

"Jaga dirimu baik - baik Ali. Sering - sering berbagi cerita kepada kami" sergah Hari mewakili ketiga sahabatnya.

"Baiklah. Sampaikan salamku pada teman - teman yang tidak sempat mengantar" jawabku seraya berbalik badan berjalan memasuki arena landasan pesawat.

"Selamat tinggal Kota Kendari. Semoga Tuhan masih mengizinkan saya kembali" tukasku dalam hati sembari menghembuskan nafas menatap langit pagi Kota Kendari lalu melangkahkan kaki menaiki anak tangga pesawat.

Lima menit setelah seluruh penumpang duduk, pesawat yang membawaku akhirnya lepas landas meninggalkan daratan Kota Kendari menuju tempat transit pertama ; Kota Makassar.

***

Empat puluh lima menit kemudian, pesawat yang membawaku akhirnya mendarat mulus di landasan Bandara Udara International Sultan Hasanuddin, transit selama empat puluh menit. Kukeluarkan ponselku dari saku tatkala tubuhku mendarat diatas sofa empuk ruang tunggu Bandara.

"Assalamu'alaikum Aliyah" tulisku melalui aplikasi pesan singkat.

"Wa'alaikumussalam. Dimana posisimu sekarang?"
"Transit Makassar. Hanya empat puluh menit, Sudah dulu ya. Nanti di tempat transit selanjutnya akan saya kabari, salam sayang sahabatmu"
"Iya. Salam sayang juga dari sahabatmu disini".

Aku lalu bangkit berdiri tatkala suara pramugari dari pengeras suara memecah keheningan. Melangkahkan kaki menuju landasan pesawat untuk melanjutkan perjalanan menuju tempat transit selanjutnya ; Kota Jakarta. Seperti sebelumnya, lima menit berselang seluruh penumpang duduk, pesawat akhirnya lepas landas mengudara melintasi langit siang menjelang sore Kota yang berslogan Kota Daeng.

***

"Hai" sapa seorang pria yang kira - kira terpaut sepuluh tahun lebih tua dariku yang duduk tepat di kursi sebelahku.

"Hai" jawabku membalas sapaannya.

"Perkenalkan saya Daud" katanya sambil mengulurkan tangannya.

"Saya Ali" jawabku membalas uluran tangannya "kau ini dari mana dan mau ke mana?" Tanyanya sambil melepaskan uluran tangan.

"Saya dari Kendari. Mau ke Alaska " jawabku sembari menyuguhkan senyuman yang bersahabat.

"Oh ya? Subhanallah hebat. Ada perlu apa disana?" Tanyanya lagi sambil membelalakkan mata terkagum -- kagum.

"Saya melanjutkan kuliah tingkat pertama di sana" jawabku masih dengan senyum yang bersahabat.

"Beasiswa?" Katanya dengan raut wajah yang berubah serius.

"Alhamdulillah berkat do'a ibu saya. Saya mendapat beasiswa penuh dari negara" Jawabku sembari menerima makanan ringan dari seorang pramugari.

"Tapi dari sekian banyak Negara, mengapa kau memilih Alaska? Itu negara yang jauh sekali" tanyanya sambil mengunyah makanan yang diberikan pramugari tadi.

"Masalah itu, saya memang sengaja memilih negara yang jauh dari tempat kelahiran saya"

"Tetapi kenapa? Sungguh itu jauh sekali"

"Ya, itu jauh memang. Dan tentang alasanku, jujur saya susah menjelaskannya"

"Oh ya, tidak masalah. Mungkin itu bagian dari masalah pribadi". Katanya yang kujawab dengan anggukan kecil. Selang lima menit terdiam dalam pikiran masing -- masing, aku kembali bertanya memecah keheningan.

"Pak Daud, boleh saya bertanya?"

"Oh iya, tanyakan saja"

"Kau pernah meninggalkan suatu tempat karena tempat itu memberimu banyak luka?"

"Alhamdulillah belum pernah tapi pekerjaanku adalah berpindah -- pindah tempat untuk mengurus bisnis -- bisnisku yang tersebar dibeberapa negara di Asia. Mengapa memangnya? Apakah kau pernah? Atau jangan -- jangan alasanmu memilih Alaska karena tempat tinggalmu memberimu banyak luka? Astaga maafkan orang tua ini karena berkata seperti ini"

"Tidak pak, tidak apa -- apa sebab yang kau katakan memang benar. Saya memang meninggalkan Kendari dan memilih Alaska sebab terlalu banyak luka di sana terlebih setelah kepergian ayah saya menghadap Allah. Dan alhamdulillah saya lulus di Negara terjauh yang saya daftar" jawabku yang juga sedang mengunyah makanan.

"Jadi karena ingin menyembuhkan luka? Oh maksud saya mengobati luka"
"Sebenarnya tidak juga. Hanya saja"
"Hanya saja sulit untuk menyembuhkan di tempat yang dekat atau bahkan di tempat yang sama? Sebenarnya hal itu juga yang saya rasakan ketika berada di masa - masa tersulit saya"
"Oh ya, bagaimana bisa?"
"mungkin takdir sudah mengatur seluruhnya termasuk kehidupan yang saya jalani. Saya adalah pengusaha properti dan sempat mendapat penghargaan tiga tahun yang lalu sebagai pengusaha termuda di Asia. Tapi sebelum itu saya harus merasakan kehilangan yang luar biasa dan bukan hanya sekali, tapi berkali - kali. Tuhan sedang menguji saya. Awal mula saya merintis usaha saya bersama istri dan seorang anak perempuan saya. Semua berjalan lancar sampai pada suatu ketika gudang tempat saya menyimpan barang hangus terbakar akibat korsleting listrik, akhirnya saya bangkrut dan memulai lagi semuanya dari nol bersama istri saya. Ketika bisnis yang saya rintis kembali mulai berkembang, Allah kembali menguji saya. Anak saya satu - satunya menjadi korban penculikan dan pemerkosaan dan pelakunya adalah orang suruhan pesaing bisnis saya di Jakarta yang menyebabkan anak saya stres dan depresi, sampai sekarang anak saya masih di rawat di Rumah Sakit Jiwa di Singapura. Kejadian itu benar - benar membuat hati saya seperti teriris - iris, saya juga sempat stres mengingat kejadian itu. Kejadian itu benar -- benar seperti menampar saya, seperti mengingatkan saya betapa tidak becusnya saya menjadi ayah tetapi untunglah istri saya selalu mendukung saya, mengajarkan saya kesabaran terus - menerus dan tidak henti - hentinya memperingatkan saya untuk rajin beribadah. Allah kembali menguji saya tatkala istri saya menghembuskan nafas terakhirnya saat melahirkan anak saya yang ke dua. Luka di hati saya belum benar - benar sembuh tetapi Allah kembali menguji saya. Sekarang anak ke dua saya sudah berumur lima belas tahun dan bersekolah di Jakarta. Besok adalah penerimaan raport di sekolahnya makanya saya pergi ke Jakarta hari ini lalu setelah mengambil raportnya saya akan terbang ke Singapura menjemput anak saya, Allah menyembuhkan dia. Intinya banyak - banyak bersabar atas luka yang di berikan oleh Allah, apapun itu. Allah tidak akan pernah tega membiarkan luka dihati hambanya tidak sembuh tinggal kita saja yang mempercepat kesembuhannya atau malah memperlambat. Aduh saya keenakan cerita, kita sudah sampai di Jakarta. Mari kita turun" katanya seraya mengajakku berdiri lalu berjalan turun dari pesawat. Transit selama satu jam di Jakarta.

***

"Saya duluan ya. Berapa lama waktumu transit disini?" Tanyanya saat kami tiba di ruang tunggu Bandara Udara International Soekarno - Hatta.

"Satu jam, pak" jawabku lalu mengulurkan tangan menyalaminya.

"Makanlah dulu, saranku makanlah nasi goreng karena ini mungkin kesempatan terakhirmu memakannya. Tak ada pedagang nasi goreng di luar negeri, apalagi di Alaska" katanya membalas uluran tanganku sambil tertawa.

"Terimakasih untuk ceritamu hari ini, pak" kataku saat ia akan berbalik badan.

"Intinya banyak - banyaklah bersabar" jawabnya sambil memamerkan senyum manisnya lalu berbalik badan keluar dari ruang tunggu.

"Mungkin benar. Saya harus mencicipi nasi goreng untuk yang terakhir kalinya" tukasku dalam hati lalu melangkahkan kaki keluar ruang tunggu mencari pedagang nasi goreng di dalam Bandara.

***

"Assalamu'alaikum Aliyah" tulisku kembali di aplikasi pesan singkat.

"Wa'alaikumussalam. Dimana posisimu Ali?"
"Saya di Jakarta Aliyah. Ada sekitar satu jam waktu transit disini, aku sedang menyantap nasi goreng"
"Oh ya sudahlah, makan dan nikmati nasi goreng itu. Tak ada lagi penjual nasi goreng di luar negeri apalagi di Alaska"
"Saya sangat menikmati. Nasi gorengnya enak sekali, tapi tetaplah nasi goreng buatanmu yang lebih enak"
"Sudahlah Ali, kau ini habiskan makananmu. Jangan sampai aktifitas mengetik pesan memperlambat gerakan makanmu, kau bisa tertinggal pesawat nanti"
"Baiklah akan aku habiskan makananku. Nanti akan aku hubungi saat tiba di tujuan berikutnya. Sampaikan salamku pada yang lain"
"Ya akan aku sampaikan. Hati - hati di jalan."

Adzan maghrib terdengar dari Musholla Bandara tatkala aku selesai menyantap nasi goreng lantas berjalan menuju Musholla untuk melaksanakan sholat maghrib. Dua puluh menit kemudian suara petugas Bandara yang memberi peringatan kepada para penumpang tujuan Jakarta - HongKong bahwa tiga puluh menit lagi pesawat akan lepas landas terdengar dari pengeras suara, sesaat kemudian aku lalu bergegas menuju tempat pengurusan migrasi. setelah seluruh urusan migrasi selesai, aku lalu berjalan menuju arena landasan pesawat, menaiki anak tangga, kemudian duduk di kursi penumpang. Seperti di Bandara Sultan Hasanuddin, lima menit setelah seluruh penumpang duduk di kursi masing - masing pesawat akhirnya lepas landas membumbung tinggi menyatu dengan langit malam meninggalkan Kota Jakarta menuju tujuan selanjutnya ; Kota HongKong.

***

"Selamat malam" Sapa seorang wanita berambut hitam lurus sebahu dengan syal yang terlilit di lehernya.

"Kau mau?" Lanjutnya seraya mengulurkan tangannya memperlihatkan permen rasa asam jawa di telapak tangannya.

"Terimakasih" jawabku seraya mengambil permen tersebut, membuka kulitnya, lalu memasukkannya ke dalam mulut.

"Kau mau ke HongKong juga?" Tanyanya menatapku dengan tatapan datar tetapi terlihat jelas raut wajahnya yang sangat kelelahan.

"Tidak, saya hanya transit. Saya mau ke Alaska" jawabku masih dengan permen di dalam mulut.

"Oh ya. Saya kira kamu mau ke HongKong. Namaku sangihe" tukasnya sambil mengulurkan tangannya.

"Saya Ali. Nama yang unik" jawabku membalas uluran tangannya.

"Terimakasih, kata ibuku ada sejarah di balik namaku yang sama dengan nama tempat di Sulawesi utara ini" katanya menatapku sambil tersenyum tipis.

"Oh ya? Kau pasti lahir di sana kan?" Jawabku sekenannya

"Ya. Tapi lebih ke perjuangan cinta ibu dan ayahku.

"Wah, inspirasi nama yang unik juga rupanya. Pasti mereka sangat menyayangimu, bahkan mungkin perjuangan cinta mereka bukan perjuangan yang biasa saja sampai -- sampai mereka mengabadikannya lewat namamu"

"Bisa dibilang seperti itu. Tapi akhirnya hanya ibuku yang berjuang, ayah menciptakan luka luar biasa untuk ibu"

"Astaga, bagaimana bisa?" tanyaku dengan wajah serius.

"Ibuku adalah seorang anak dari keluarga terpandang saat itu. Suatu hari ibuku pergi bersama oma untuk membeli ikan segar dan barang - barang import dari kepulauan Mindanao, Philiphina di pasar pagi. Saat di pasar pagi oma berhenti di dermaga tempat kapal ikan dari kepulauan Mindanao dan membeli ikan langsung dari nelayan Philiphina. Ayah yang kebetulan seorang nelayan langsung jatuh hati pada ibu saat itu dan rupanya ibu juga memiliki rasa ketertarikan pada saat yang sama. Sejak saat itu ibu selalu senang jika di ajak oma untuk ke dermaga tempat ibu bisa bertemu ayah. Semakin hari mereka semakin dekat bahkan tak jarang ibu pergi ke dermaga sendiri hanya untuk bertemu ayah tanpa diketahui oma dan opa. Sampai akhirnya mereka berani mengungkapkan perasaan masing - masing dan ibu meminta ayah untuk bertemu opa sekaligus melamar ibu, Ayahpun pergi untuk melamar ibu. Tetapi kenyataan berkata lain ayah mengutarakan maksud kedatangannya pada opa tetapi di balas dengan seribu macam cacian hanya karena ayah seorang nelayan dan ibu dari keluarga terpandang. Hati ayah terasa teriris belati yang menembus hingga ke belakang tubuhnya, hingga ayah pamit permisi untuk pulang. Lewat pintu belakang rumah, ibu pergi menemui ayah dan meminta maaf atas apa yang diucapkan opa pada ayah. Ibu bahkan menawarkan ketersediaannya untuk lari bersama ayah bahkan jika itu harus ke Philiphina, tetapi ayah menolak dan menyuruh ibu untuk meminta izin lagi kepada opa, ibu menyanggupi. Ibu lalu kembali pulang bertemu opa dengan maksud meminta izin bahkan ibu mengancam akan bunuh diri jika opa tidak setuju tetapi pada akhirnya opa menyetujui hubungan ayah dan ibu tetapi dengan syarat ibu tetap tinggal di Sangihe, hingga mereka melangsungkan pernikahan. Dua tahun kemudian ibu hamil dan itu merupakan masa - masa tersulit bagi ibu sebab ayah tak pernah menampakkan diri selama ibu mengandung. Hingga akhirnya Seminggu sebelum kelahiranku, seorang tetangga kami yang baru saja pulang berlayar dari kepulauan Mindanao memberi tahu ibu tentang penghianatan yang membuat luka besar dihati dan membuat ibu hampir depresi, bahwa ia bertemu dengan ayah beserta anak dan istri barunya. Demi mendengar berita itu, ibu akhirnya jatuh sakit sampai seminggu kemudian aku lahir. Setelah setahun ibu membesarkanku sendiri dibantu oleh oma, ayah lalu datang. Ia datang bukan untuk meminta maaf tetapi malah datang untuk memperparah luka ibu. Ia mengatakan bahwa ia melakukan semua ini sebab ia sangat membenci opa atas apa yang sudah opa katakan padanya. Sebenarnya ayah benar -- benar sangat mencintai ibu tetapi sejak opa menghina dan mencacinya rasa itu perlahan hilang dan menyisakan dendam di hati ayah, kemudian ayah bersumpah untuk membuat opa merasakan sakit yang luar biasa bahkan lebih menyiksa dari apa yang ayah rasakan" katanya sambil menghapus sedikit air matanya yang sempat terjatuh dipipi.

"Kata ibu aku diberi nama Sangihe agar mengenang kisah mereka yang terjadi antara Kepulauan Mindanao dan Pulau Sulawesi. Sampai saat ini sumber kebahagiaanku satu - satunya hanya ibu, saya baru saja mendengar bahwa ibu sakit di HongKong maka dari itu saya akan menjenguk ibu di sana. Sampai sekarang saya masih takut untuk membuka hati kepada laki - laki, takut penghianatan yang dilakukan ayah terjadi kepada saya. Saya takut sekaligus masih menyimpan rasa benci kepada laki - laki yang melakukan penghianatan. Dua jam lagi kita akan mendarat di Hongkong. Aku istirahat duluan ya. Sejak mendengar kabar ibu tadi setelah pulang bekerja aku langsung mengadakan perjalanan menuju HongKong tanpa membawa pakaian selembarpun" Lanjutnya lagi setelah melirik jam yang melekat di pergelangan tangannya lalu meneguk air mineral kemasan yang di sediakan pesawat.

"Oh iya. Selamat beristirahat Sangihe" tukasku sambil memamerkan senyum tulus pertemanan kepadanya.

"Terimakasih banyak. Selamat beristirahat Ali."

***

Tepat pukul sebelas pesawat yang membawa kami dalam penerbangan Jakarta Menuju Hongkong mendarat mulus di Bandara Internasional Changi.

"Sepertinya tidur dua jam tidak cukup untuk seorang Sangihe, Wajahmu pucat sekali" tukasku menatapnya prihatin.

"Sudahlah aku bisa tidur kembali saat sudah memastikan kondisi ibuku baik - baik saja" jawabnya seraya mengajakku berdiri lalu berjalan keluar dari pesawat, empat jam waktu transit.

"Semoga ibumu baik - baik saja, Sangihe"
"Terimakasih, Ali. Oh ya boleh saya meminta tolong kepadamu?"
"Selama saya bisa membantu, pasti"
"Saya tidak tahu ya mengapa saya begitu saja bercerita kepadamu tetapi saya yakin kamu adalah orang baik. Jadi saya ingin meminta kepadamu agar jangan berkhianat kepada perempuan manapun yang ada di hidupmu saat ini. Kau tahu Ali, Tuhan sudah adil menciptakan perempuan lebih menilai dan menggunakan hati. Jadi apapun yang kau katakan kepada mereka meskipun itu tidak berniat untuk memberi harapan, tetapi bisa saja hati mereka bisa luluh lalu berharap dan pada akhirnya kecewa. Kau tahu Ali itu tidak salah, Tuhan sudah mengatur segalanya seperti itu. Percayalah Ali jika kau bisa menjaga ucapanmu kepada perempuan yang kau tidak berniat hidup bersamanya itu lebih baik daripada kau berniat untuk memberi perhatian yang kau pikir wajar sebagai teman, justru cara seperti itu adalah salah. Ibarat kau mengetuk pintu rumah seseorang tetapi setelah ia membuka pintu kau tak ada di sana" jawabnya lalu berbalik badan keluar dari pintu kedatangan penumpang.

***

"Bismillah untuk perjalanan selanjutnya" tukasku tatkala mendengar petugas bandara melalui pengeras suara mengingatkan bahwa penerbangan selanjutnya lima menit lagi. Seperti sebelum - sebelumnya pesawat lepas landas setelah seluruh penumpang duduk di kursinya masing - masing menuju tujuan selanjutnya ; Kota Tokyo, enam jam perjalanan waktu yang sangat ideal untuk tidur.

"Sir, this's for you" samar - samar suara seorang perempuan membangunkanku.

"Oh, thank you" jawabku seraya mengucek mata lalu menerima sekotak makanan yang disodorkannya kepadaku.

"Are you Indonesian?" Tanyanya dengan alis yang mengkerut.

"Ya, i'm Indonesian" jawabku sambil memamerkan senyum perkenalan.

"Oh ya? Lama sekali rasanya saya tidak menggunakan bahasa Indonesia"  katanya lalu tertawa menatapku.

"Astaga anda ternyata orang Indonesia ya? Senang bertemu denganmu malam ini, kita sudah berapa jam perjalanan?" Tanyaku sambil mengunyah makanan ringan yang tadi disodorkannya padaku.

"Sabarlah, ini baru tiga jam perjalanan. Jangan terlalu terburu - buru menikmati kota Tokyo" katanya lalu tersenyum menatapku.

"Oh tidak, saya hanya transit di Tokyo" jawabku lalu kembali menatapnya.

"Oh ya, kau mau kemana memangnya?" Tanyanya masih sambil mengunyah makanan ringan.

"Saya mau menuju ke Alaska" jawabku masih sambil mengunyah makanan ringan.

"Oh ya? Jauh sekali. Pasti kau sudah bosankan naik pesawat?" Sergahnya lalu tertawa pelan. "Kau sendiri mau ke mana? Tokyo atau hanya sekedar transit juga?" Tanyaku lalu meneguk segelas air mineral kemasan yang tersedia dalam kotak makanan ringan tadi.

"Saya akan menuju Tokyo, lebih tepatnya mengasingkan diri ke Tokyo" jawabnya dengan raut wajah yang cepat sekali berubah.

"Oh maafkan saya jika perkataan saya menyinggung perasaanmu" sergahku lalu memperbaiki posisi duduk.

"Oh tidak mengapa. Saya sama sekali tidak tersinggung" jawabnya datar. "saya hanya berusaha berdamai dengan keadaan" katanya lagi dengan tatapan kosong.

"Kita belum kenalan, Sarah" lanjutnya sambil mentapku lalu tersenyum manis khas perempuan Jepang keturunan Indonesia.

"Ali, salam kenal" jawabku menyalaminya.

"salam kenal, Ali" katanya mengulurkan tangan menyalamiku.

Cukup lama hening menyelimuti pembicaraan kami hingga ia akhirnya bersuara, menyingkirkan keheningan diantara kami. "Ali, kau pernah jatuh cinta pada seseorang hanya dengan membaca tulisannya melalui pesan singkat? Aneh ya? Tapi berawal dari itu hingga saya memutuskan mengasingkan diri ke Tokyo, tanah kelahiran saya" katanya dengan mata yang mulai berkaca - kaca.

"Sarah, apa yang terjadi? Tenangkan dirimu" tukasku sesaat setelah melihat matanya yang berkaca -- kaca mulai mengeluarkan air yang jatuh di pipinya.

"Berawal dari hanya sekedar pesan singkat yang isinya menanyakan dimana saya meletakkan kunci ruang administrasi di kantor saya, tak ada niat, hasrat apalagi rasa yang tidak bisa saya jelaskan hingga menyebabkan hati saya cedera berat. Hingga kami semakin dekat dan entah sejak kapan saya semakin jatuh cinta pada setiap tulisannya yang dikirim melalui pesan singkat. Apakah itu salah? saya yang salah sebab membuka peluang untuknya hingga membuat saya jatuh semakin dalam sampai saya tidak sanggup berdiri. Semakin hari hubungan kami semakin dekat bahkan bisa dibilang sudah tidak ada sekat pembatas di antara hubungan kami. Saya selalu memendam kepastian kepadanya dan bodohnya, sayapun selalu meyakinkan diri saya bahwa selangkah lagi kami akan hidup bersama dalam ikatan yang sah. Setiap hari setiap saya teringat dan ingin menanyakan kepastian padanya, hingga suatu saat bendahara kantor kami berhenti bekerja setelah melahirkan anak pertamanya yang digantikan oleh seorang perempuan berdarah Bugis - Jerman. Awalnya saya masih menjalani hubungan kami seperti ini tanpa ada kecurigaan meski beberapa kali saya melihat pembicaraan mereka melalui pesan singkat di ponsel pria yang sedang dekat dengan saya, saya tidak pernah secuilpun menaruh rasa curiga padanya sebab rasa sayang yang terlalu dalam kepadanya terlebih lagi keyakinan bahwa dia akan menikahi saya secepatnya. Tetapi semakin hari sayapun merasa ada yang mengganjal dari setiap pesan yang dia kirim kepada saya, seperti saya merasa bahwa pesan yang dia kirim rasanya tidak sama seperti pesan - pesan sebelumnya yang membuat saya jatuh cinta, saya membantah itu dan berfikir bahwa itu hanya perasaan saya belaka hingga saya tersadarkan oleh rekan - rekan kantor bahwa sejak datangnya bendahara baru itu, dia sudah tidak sama lagi. Harapan yang saya bangun, do'a yang tiada henti saya panjatkan untuk kebahagiaannya, sudah tiada artinya lagi. Dia memutuskan pergi bersama bendahara baru itu meninggalkan saya dengan seluruh harapan yang dia berikan kepada saya" katanya dengan air mata yang perlahan semakin banyak membasahi pipinya.

"Jadi itu yang membuatmu akhirnya mengasingkan diri ke Tokyo?" Tanyaku memperbaiki posisi duduk.

"Bukan, bukan itu. Jika keputusannya adalah pergi dari saya tanpa kembali, saya ikhlas apapun yang terjadi termasuk pergi dengan seribu satu luka yang benar - benar membekas dan nyaris menciptakan mati. Yang membuat saya memutuskan mengasingkan diri ke Tokyo karena setelah dia menyadari kesalahannya selain meninggalkan sekaligus menyakiti saya, adalah karena dia menyadari bahwa dia telah mencintai orang yang salah, mencintai orang yang sebenarnya tidak mencintai dia, memberikan dan rela meninggalkan saya demi perempuan yang bahkan berani membalas perasaan lelaki lain di hadapannya, dia datang kepada saya meminta saya kembali kepadanya. Memulai hidup baru yang penuh damai, saya berani menolaknya. Tetapi dia terus - menerus Mengejar saya kemanapun saya pergi, hingga akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan Hongkong menuju Tokyo, tempat kelahiran saya. Saya ingin mengasingkan diri disana, memulai hidup baru yang lebih baik tanpa bayang - bayang orang yang jahat seperti dia" katanya lalu menghapus air mata yang terjatuh di pipinya.

***

Selepas sholat subuh aku lalu melirik ke arah Sarah, rupanya ia tertidur sangat lelah setelah bercerita panjang lebar. Aku lalu memalingkan pandanganku ke arah jendela, matahari sudah mulai terbit perlahan dari kaki cakrawala, sambil terus mengucap syukur atas apa yang sudah diberi Allah kepadaku. Tepat pukul tujuh, pramugari membawakan kami nampan berisi secangkir kopi dan kue kering yang masih tertutup segel dengan label berbahasa Mandarin di depannya.

"Excuse me, Mrs. I didn't find a halal label on the packaging of these foods" tanyaku pada pramugari yang membawa nampan.

"Oh i'm sorry. Are you mouslem, Sir?" Katanya sambil menatapku dengan tatapan meminta jawaban.

"Yes, Mrs. Are the food is safe for me?" Tanyaku meyakinkan.

"No Mr, this's for you. And what about your friend?" Lalu menunjuk ke arah Sarah.

"Yes she's moeslem too" jawabku dengan senyum ramah kepadanya.

"This's for your friend. Enjoy your breakfast, thank you" katanya sambil berlalu meninggalkanku bersama Sarah.

"Sarah, ini untukmu" sergahku sembari membangunkan sarah.

"Terimakasih banyak Ali" jawabnya lalu menerima secangkir kopi dan cemilan dengan tulisan China di kemasannya.

"Tiga puluh menit lagi kita akan mendarat di Tokyo, segera habiskan makananmu" sergahku sambil menyeruput kopi panas dari pramugari tadi.

***

Pukul delapan lewat lima menit pesawat yang membawa kami dari Hongkong menuju kota Tokyo mendarat mulus di Bandara International Haneda. Seluruh penumpang segera beranjak turun dari pesawat setelah menerima instruksi dari petugas termasuk aku dan Sarah, melangkahkan kaki keluar dari pesawat lalu bergegas menuju ruang tunggu penumpang. Enam jam waktu transit.

"Sarah, semoga kau bahagia dengan hidup barumu di sini" sergahku setelah melihatnya membawa koper kecil seperti bersiap - siap meninggalkan ruang tunggu.

"Terimakasih, Ali. Apapun yang sudah kuceritakan padamu saya ikhlas menerimanya dan saya sama sekali tidak menyesal apalagi menyimpan dendam" katanya sembari memamerkan senyum pertemanan.

"Semoga Allah selalu memberikan kelapangan untuk hatimu" sergahku lalu mengulurkan tangan menyalaminya.

"Terimakasih banyak, Ali" jawabnya membalas uluran tanganku.

"Oh ya, taksi yang menjemputku sudah menunggu dari tiga puluh menit yang lalu" katanya lagi seraya berbalik badan menuju pintu keluar kedatangan International.

***

Mengingat enam jam waktu transit yang terasa lebih dari cukup jika hanya sekedar berjalan - jalan di dalam bandara Haneda yang sangat luas. Tanpa berpikir panjang aku lalu melangkahkan kaki keluar dari pintu kedatangan International, melapor pada petugas jika saya tidak akan keluar dari bandara. Keluar dari pintu kedatangan, saya merasakan seperti berada di Tokyo tahun 1868 dengan interior Bandara yang membuat siapapun terkesima berada disana. Naik ke lantai dua saya melihat sebuah restaurant sederhana dengan label halal di depannya "Alhamdulillah" sergahku seraya melangkah memasuki restaurant itu, duduk di salah satu kursi di sudut restaurant, memesan steak sapi dengan jamur tiram. Selang tiga puluh menit, pramusaji datang membawa pesananku. "Thank you" sergahku menerima pesanan yang hanya dibalas dengan senyum khas perempuan Jepang, entah dia tidak mengerti bahasa Inggris ataukah, entahlah. Sembari menikmati pesanan tanganku bergerak membuka ponsel yang tidak kuaktifkan selama kurang lebih enam jam.

"Bagaimanapun keadaan perasaanmu padaku, do'aku akan selalu untukmu dan sejauh apapun langkahmu semoga Allah tidak membolakkan hatiku untukmu" isi sebuah pesan singkat yang dikirim Sakinah.

"Maafkan saya Sakinah sebab tidak menjaga perasaanmu" sergahku dalam hati sambil menghembuskan nafas. Jemariku kembali berkutat dengan ponsel.

"Hai Aliyah, posisiku saat ini di Bandara Haneda, Tokyo. Maaf baru bisa mengabarimu" tulisku Lalu mengirimnya pada Aliyah.

"Oh ya? Syukurlah. Berapa jam transit?"
"Lumayan, enam jam. Pukul dua siang baru berangkat lagi"
"Gunakan waktu transit untuk istirahat"
"Iya Aliyah, terimakasih. Salam untuk teman - teman di Indonesia"
"Pasti. Akan aku sampaikan, selamat beristirahat."

Pukul dua belas waktu Tokyo, waktu dzuhur memasuki wilayah Tokyo dan sekitarnya, bergegas aku menyusuri Bandara mencari sekiranya terdapat Mushalla disini.

"Excuse me Sir, do you know, where the prayer room here?" Tanyaku pada salah satu petugas Bandara.

"Oh ya i know. The prayer room at International Passenger Terminal, 3F Departure Lobby" jawabnya dengan logat khas pria Jepang.

"Thank you" jawabku lalu bergegas menuju 3F Departure Lobby dan dengan cepat menemukan Mushalla yang berukuran tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, mengambil air wudhu, lalu mendirikan sholat. Pukul satu siang tepat setelah aku selesai menunaikan sholat dzuhur dan memutuskan menunggu disini sebelum melakukan penerbangan selanjutnya.

Pukul satu lewat empat puluh lima menit aku sudah berada di ruang tunggu penerbangan International setelah menghabiskan sisa waktu di kota Tokyo, minimal menginjakkan kaki di Bandaranya. Tepat lima belas menit kemudian, petugas Bandara mengumumkan melalui pengeras suara agar penumpang tujuan Tokyo - Russia segera bersiap - siap menuju pesawat. "Bismillah untuk perjalanan selanjutnya" sergahku lalu memperbaiki posisi duduk di dalam pesawat. Setelah petugas memastikan seluruh penumpang sudah duduk, pesawat akhirnya lepas landas meninggalkan Bandara Haneda menuju Bandara International Sheremetyevo, Rusia, tiga jam perjalanan.

***

"Excuse me, Sir. Wher are you from?" Sapa seorang penumpang di sebelahku.

"I'm from Indonesia, you?" Tanyaku sembari memamerkan senyum ramah.

"Orang Indonesia juga. Saya kira Vietnam loh" katanya lalu tertawa lepas sampai - sampai penumpang yang berada di sebelah, di depan, dan dibelakang kami memandang datar ke arah kami. "Sudah rindu sekali soalnya sama bahasa sendiri. Namaku Silvana" katanya lagi lalu mengulurkan tangan menyalamiku.

"Ali" jawabku menyalaminya. "berarti sudah lama tidak kembali ke Indonesia ya? Berapa lama?" Tanyaku lagi sambil menatapnya serius.

"Aku sudah lima belas tahun meninggalkan tanah air, seringnya pulang balik Tokyo - Rusia" jawabnya sambil meraba buku passpor milikku dengan lambang Garuda di sampulnya. "kau sendiri, mau ke Rusia juga?" Tanyanya lagi seraya menatapku serius.

"Oh tidak, saya hanya transit di sana. Mau ke Alaska" jawabku menerangkan.

"Oh ya? Pasti kau lelah sekali kan melakukan perjalanan lebih dari dua puluh jam?" Tanyanya lalu meneguk air mineral yang ia keluarkan dari dalam tas miliknya.

"Tidak juga, hanya sedikit kurang tidur" jawabku sambil memamerkan senyum lembut pertemanan.

"Jadi kapan kau akan kembali ke Indonesia?" Tanyaku memperbaiki posisi duduk. "Sepertinya tidak akan" jawabnya dengab ekspresi wajah yang sedikit murung.

"Sekarang saya sudah bukan orang Indonesia lagi" lanjutnya lalu memperlihatkan kartu tanda kewarganegaraan Rusia yang ia keluarkan dari dompet biru Navy miliknya.

"Tetapi mengapa?" Tanyaku sambil memegang dan memperhatikan dengan seksama kartu tanda kewarganegaraan milik Silvana.

"ada luka yang tidak bisa sembuh di Indonesia, ada luka disana yang bahkan belum sembuh sampai hari ini walaupun saya sudah tidak menjadi warga negara Indonesia. Walaupun sejujurnya saya sangat mencintai Indonesia dan apapun yang ada di dalamnya. Saya tidak mengerti mengapa Indonesia yang sangat saya cintai bisa menghianati saya? Saya bingung harus melakukan apa lagi hingga saya lupa ada tempat di belahan Bumi ini bernama Indonesia. Tragedi Mei 1998 merenggut seluruh kebahagiaan saya termasuk cinta dan masa depan saya" katanya lalu menatap keluar jendela pesawat, sementara aku memperbaiki posisi duduk sembari bersabar menunggunya melanjutkan cerita.

"Ayah saya adalah pedagang berdarah Tionghoa - Indonesia, sementara ibu saya berdarah Jepang - Rusia tetapi telah lama menetap di Indonesia. Di Indonesia saya tidak hanya menemukan jati diri dan kebahagiaan saya tetapi juga cinta dan masa depan saya. Di Indonesia saya bertemu dengan pria yang berhati malaikat, memiliki cinta yang besar untuk saya dan bersedia mencintai keluarga saya, menerima saya apa adanya tanpa pernah menganggap bahwa saya bukan orang pribumi. Sayapun begitu, mencintai dia dan keluarganya tanpa pernah memandang kekurangannya. Saya dan kedua orang tua saya sudah tahu dari awal bahwa akan ada pengusiran besar - besaran untuk orang asing terkhusus etnis Tionghoa. Kami awalnya takut jika pria yang saya cintai juga bagian dari mereka dan akan mengusir kami, tetapi tidak. Dia berjanji akan melindungi kami dan menjauhkan kami dari amuk massa. Tapi takdir berkata lain, cinta yang besar membutakan kami dari penghianatan dan kekejaman hingga kami rabun dan tidak bisa melihat dengan jelas. Pria yang saya cintai yang katanya juga mencintai saya ikut serta kelompok massa untuk mengusir paksa seluruh etnis Tionghoa, termasuk keluarga saya. Adik saya diperkosa hingga tewas, ibu dan ayah saya dibakar hidup - hidup bersama dengan toko kami. Saya, berbekal nomor ponsel dan alamat oma saya di Tokyo, berhasil melarikan diri kesana dengan cara ilegal, menumpang kapal ikan Jepang, dan tanpa passpor. Penghianatan yang menghancurkan hidup saya dan cinta yang terlalu besar hingga mampu membutakan. Sayapun memulai hidup baru di Tokyo dan setahun kemudian saya dan oma pindah ke Moskow lalu menjadi warga negara Rusia sebab pekerjaan yang saya miliki juga mengharuskan agar saya berdomisili disana. Oma saya yang memang adalah orang Jepang tidak nyaman tinggal di Moskow dan memutuskan kembali ke Tokyo, sampai sekarang saya selalu melakukan penerbangan dari Tokyo menuju Moskow. Dan dibalik kemarahan saya, saya tetap mencintai Indonesia meski awalnya sulit berdamai dengan seluruh penghianatan, pada akhirnya saya berhasil memaafkan segalanya. Dengan tidak akan kembali ke Indonesia adalah cara terbaik untuk saya berdamai dengan masa lalu." Katanya lalu kembali meraba lambang Garuda yang terpampang di sampul passpor milikku.

Pukul lima waktu Moskow, kami tiba di Bandara International Sheremetyevo, enam jam waktu transit.

"Terimakasih, Ali sudah mengajak saya berbahasa Indonesia lagi" katanya setelah kami tiba di ruang tunggu.

"Tidak masalah, saya juga senang bisa menemanimu berbahasa Indonesia lagi" jawabku menyalaminya.

"Ali, apapun yang terjadi tetaplah menjadi orang baik, jangan mudah menjadi orang lain hingga menyiksa diri sendiri dan orang lain. Percayalah Ali, kita masih akan tetap hidup meski tidak berada dalam lingkaran penghianatan. Mencintai semampumu, tanpa membebani dan menyakiti orang lain. Jika kau harus memilih, memilihlah. Jangan membuat dosa dengan menghianati pilihanmu" katanya sambil menyalamiku lalu berbalik badan meninggalkanku dengan mata dan tubuh yang sangat lelah, waktunya mencari penginapan di dalam Bandara.

Pukul sepuluh waktu Moskow, aku terbangun lalu melangkahkan kaki menuju kamar mandi yang terletak di sudut kamar tempatku menginap. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku lalu melangkahkan kaki keluar dari kamar menuju receptionis, melunasi pembayaran, lalu berjalan keluar penginapan menuju ruang tunggu Bandara. Pukul sebelas malam waktu Moskow, berdasarkan perintah dari petugas bandara melalui pengeras suara, agar seluruh penumpang tujuan Moskow - Alaska bersiap - siap naik ke atas pesawat. Tiga puluh menit kemudian, pesawat yang membawaku terbang meninggalkan kota Moskow menuju Alaska, tujuan utamaku. Delapan jam perjalanan.

***

Selama perjalanan, aku baru menyadari satu hal ; tak ada penumpang yang duduk di sebelahku. Sesaat aku tiba - tiba teringat seluruh cerita dari orang yang berbeda - beda, dan pelajaran yang berbeda - beda. Tentang Kehilangan, kesabaran, keikhlasan, penghianatan, kekecewaan, dan dendam. Seluruhnya mengajarkan pendewasaan bertindak. "Terimakasih untuk seluruh pelajaran dari hamba - hamba yang di hatinya kau titip cinta yang besar dan dengan ekspresi cinta yang juga berbeda - beda" sergahku sambil menghembuskan nafas, lalu jatuh tertidur.

Pukul lima usai sholat subuh, seorang pramugari membawa nampan berisi segelas kopi dan sepotong sandwish, memberikannya padaku lalu sesaat kemudian berlalu meninggalkanku. Matahari sudah terbit dari kaki Cakrawala bersamaan dengan mendaratnya pesawat yang membawaku dari Moskow menuju Alaska. Berdasarkan instruksi dari petugas, seluruh penumpang akhirnya turun dari pesawat menuju ruang tunggu mengambil barang masing - masing. Setelah mengambil barang dan menyelesaikan seluruh urusan kedatangan, aku lalu berjalan keluar menuju pintu kedatangan International Bandara International Fairbanks, Alaska, Amerika Serikat.

Aku lalu menyalakan ponsel yang tidak kunyalakan selama kurang lebih dua belas jam, lalu mulai mengetik nomor, dan tersambung.

"Assalamu'alaikum, ibu" sergahku tatkala ponsel di seberang sana terhubung "Wa'alaikumussalam, Ali. Kau sudah sampai nak?" Tanya sebuah suara yang sangat kukenal dan kurindukan.

"Iya bu, Ali baru saja tiba disini. Pukul tujuh pagi waktu Alaska" jawabku dengan suara terisak.

"Alhamdulillah, jaga dirimu baik - baik nak. Rajin belajar, bikin bangga ibu dan negaramu disini" katanya dengan suara yang juga sedikit terisak.

"Terimakasih ibu, Assalamu'alaikum" kataku lalu memutuskan telepon. Aku kembali membuka kontak lalu mengetik nomor ponsel. Terhubung.

"Assalamu'alaikum Sakinah"
"Wa'alaikumussalam"
"Aku sekarang tiba di Alaska"
"Oh ya? Jaga dirimu disana"
"Sakinah, maafkan atas seluruh kesalahan yang pernah saya perbuat kepadamu dan terimakasih sudah menjadi bagian dari hidup saya. Dan tentang perasaanmu percayalah akan ada orang yang lebih baik membalas perasaanmu"
"Saya mengerti, sudahlah. Saatnya kita memilih dan melanjutkan hidup masing - masing"
"Maaf untuk setiap pesan yang saya kirimkan padamu dan janji - janji yang tidak saya tepati"
"Tidak masalah, Ali. Kepergianmu membuat saya mengerti bahwa Allah hanya mempertemukan bukan menyatukan. Seluruhnya yang kamu lakukan kepada saya sudah saya maafkan termasuk seluruh kekecewaan yang harus saya telan mentah - mentah. Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalam"

Jemariku kembali menekan nomor ponsel, kemudian terhubung.
"Assalamu'alaikum, Aliyah"
"Wa'alaikumussalam. Ali"
"Saya sudah tiba di Alaska sekarang"
"Alhamdulillah, syukurlah"
"Aliyah"
"Iya. Ada apa Ali?"
"Ada hal penting yang ingin saya bicarakan, bahkan sejak saya mengirim kabar bahwa saya sedang melakukan transit"
"Apa itu Ali?"
"Maafkan saya jika saya selama ini menyimpan sedikit rasa padamu, Aliyah. Perjalanan dari Kendari menuju Alaska ini benar - benar memberi pelajaran untuk saya agar berkata jujur tanpa menyikiti pihak lain. Dan yang terpenting mencintai tanpa melibatkan kemunafikan"
"Ali, seperti apapun perasaanmu kepada saya, saya terima dan sejauh apapun kau melangkah saya akan menunggu sebab saya selalu yakin kau akan kembali kepada saya"
"Terimakasih untuk pengertianmu Aliyah. Saya berjanji akan kembali kepadamu setelah saya menyelesaikan studi di sini"
"Saya percaya itu. Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalam" jawabku menutup telepon.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun