"Ibuku adalah seorang anak dari keluarga terpandang saat itu. Suatu hari ibuku pergi bersama oma untuk membeli ikan segar dan barang - barang import dari kepulauan Mindanao, Philiphina di pasar pagi. Saat di pasar pagi oma berhenti di dermaga tempat kapal ikan dari kepulauan Mindanao dan membeli ikan langsung dari nelayan Philiphina. Ayah yang kebetulan seorang nelayan langsung jatuh hati pada ibu saat itu dan rupanya ibu juga memiliki rasa ketertarikan pada saat yang sama. Sejak saat itu ibu selalu senang jika di ajak oma untuk ke dermaga tempat ibu bisa bertemu ayah. Semakin hari mereka semakin dekat bahkan tak jarang ibu pergi ke dermaga sendiri hanya untuk bertemu ayah tanpa diketahui oma dan opa. Sampai akhirnya mereka berani mengungkapkan perasaan masing - masing dan ibu meminta ayah untuk bertemu opa sekaligus melamar ibu, Ayahpun pergi untuk melamar ibu. Tetapi kenyataan berkata lain ayah mengutarakan maksud kedatangannya pada opa tetapi di balas dengan seribu macam cacian hanya karena ayah seorang nelayan dan ibu dari keluarga terpandang. Hati ayah terasa teriris belati yang menembus hingga ke belakang tubuhnya, hingga ayah pamit permisi untuk pulang. Lewat pintu belakang rumah, ibu pergi menemui ayah dan meminta maaf atas apa yang diucapkan opa pada ayah. Ibu bahkan menawarkan ketersediaannya untuk lari bersama ayah bahkan jika itu harus ke Philiphina, tetapi ayah menolak dan menyuruh ibu untuk meminta izin lagi kepada opa, ibu menyanggupi. Ibu lalu kembali pulang bertemu opa dengan maksud meminta izin bahkan ibu mengancam akan bunuh diri jika opa tidak setuju tetapi pada akhirnya opa menyetujui hubungan ayah dan ibu tetapi dengan syarat ibu tetap tinggal di Sangihe, hingga mereka melangsungkan pernikahan. Dua tahun kemudian ibu hamil dan itu merupakan masa - masa tersulit bagi ibu sebab ayah tak pernah menampakkan diri selama ibu mengandung. Hingga akhirnya Seminggu sebelum kelahiranku, seorang tetangga kami yang baru saja pulang berlayar dari kepulauan Mindanao memberi tahu ibu tentang penghianatan yang membuat luka besar dihati dan membuat ibu hampir depresi, bahwa ia bertemu dengan ayah beserta anak dan istri barunya. Demi mendengar berita itu, ibu akhirnya jatuh sakit sampai seminggu kemudian aku lahir. Setelah setahun ibu membesarkanku sendiri dibantu oleh oma, ayah lalu datang. Ia datang bukan untuk meminta maaf tetapi malah datang untuk memperparah luka ibu. Ia mengatakan bahwa ia melakukan semua ini sebab ia sangat membenci opa atas apa yang sudah opa katakan padanya. Sebenarnya ayah benar -- benar sangat mencintai ibu tetapi sejak opa menghina dan mencacinya rasa itu perlahan hilang dan menyisakan dendam di hati ayah, kemudian ayah bersumpah untuk membuat opa merasakan sakit yang luar biasa bahkan lebih menyiksa dari apa yang ayah rasakan" katanya sambil menghapus sedikit air matanya yang sempat terjatuh dipipi.
"Kata ibu aku diberi nama Sangihe agar mengenang kisah mereka yang terjadi antara Kepulauan Mindanao dan Pulau Sulawesi. Sampai saat ini sumber kebahagiaanku satu - satunya hanya ibu, saya baru saja mendengar bahwa ibu sakit di HongKong maka dari itu saya akan menjenguk ibu di sana. Sampai sekarang saya masih takut untuk membuka hati kepada laki - laki, takut penghianatan yang dilakukan ayah terjadi kepada saya. Saya takut sekaligus masih menyimpan rasa benci kepada laki - laki yang melakukan penghianatan. Dua jam lagi kita akan mendarat di Hongkong. Aku istirahat duluan ya. Sejak mendengar kabar ibu tadi setelah pulang bekerja aku langsung mengadakan perjalanan menuju HongKong tanpa membawa pakaian selembarpun" Lanjutnya lagi setelah melirik jam yang melekat di pergelangan tangannya lalu meneguk air mineral kemasan yang di sediakan pesawat.
"Oh iya. Selamat beristirahat Sangihe" tukasku sambil memamerkan senyum tulus pertemanan kepadanya.
"Terimakasih banyak. Selamat beristirahat Ali."
***
Tepat pukul sebelas pesawat yang membawa kami dalam penerbangan Jakarta Menuju Hongkong mendarat mulus di Bandara Internasional Changi.
"Sepertinya tidur dua jam tidak cukup untuk seorang Sangihe, Wajahmu pucat sekali" tukasku menatapnya prihatin.
"Sudahlah aku bisa tidur kembali saat sudah memastikan kondisi ibuku baik - baik saja" jawabnya seraya mengajakku berdiri lalu berjalan keluar dari pesawat, empat jam waktu transit.
"Semoga ibumu baik - baik saja, Sangihe"
"Terimakasih, Ali. Oh ya boleh saya meminta tolong kepadamu?"
"Selama saya bisa membantu, pasti"
"Saya tidak tahu ya mengapa saya begitu saja bercerita kepadamu tetapi saya yakin kamu adalah orang baik. Jadi saya ingin meminta kepadamu agar jangan berkhianat kepada perempuan manapun yang ada di hidupmu saat ini. Kau tahu Ali, Tuhan sudah adil menciptakan perempuan lebih menilai dan menggunakan hati. Jadi apapun yang kau katakan kepada mereka meskipun itu tidak berniat untuk memberi harapan, tetapi bisa saja hati mereka bisa luluh lalu berharap dan pada akhirnya kecewa. Kau tahu Ali itu tidak salah, Tuhan sudah mengatur segalanya seperti itu. Percayalah Ali jika kau bisa menjaga ucapanmu kepada perempuan yang kau tidak berniat hidup bersamanya itu lebih baik daripada kau berniat untuk memberi perhatian yang kau pikir wajar sebagai teman, justru cara seperti itu adalah salah. Ibarat kau mengetuk pintu rumah seseorang tetapi setelah ia membuka pintu kau tak ada di sana" jawabnya lalu berbalik badan keluar dari pintu kedatangan penumpang.
***
"Bismillah untuk perjalanan selanjutnya" tukasku tatkala mendengar petugas bandara melalui pengeras suara mengingatkan bahwa penerbangan selanjutnya lima menit lagi. Seperti sebelum - sebelumnya pesawat lepas landas setelah seluruh penumpang duduk di kursinya masing - masing menuju tujuan selanjutnya ; Kota Tokyo, enam jam perjalanan waktu yang sangat ideal untuk tidur.