"Ali" jawabku menyalaminya. "berarti sudah lama tidak kembali ke Indonesia ya? Berapa lama?" Tanyaku lagi sambil menatapnya serius.
"Aku sudah lima belas tahun meninggalkan tanah air, seringnya pulang balik Tokyo - Rusia" jawabnya sambil meraba buku passpor milikku dengan lambang Garuda di sampulnya. "kau sendiri, mau ke Rusia juga?" Tanyanya lagi seraya menatapku serius.
"Oh tidak, saya hanya transit di sana. Mau ke Alaska" jawabku menerangkan.
"Oh ya? Pasti kau lelah sekali kan melakukan perjalanan lebih dari dua puluh jam?" Tanyanya lalu meneguk air mineral yang ia keluarkan dari dalam tas miliknya.
"Tidak juga, hanya sedikit kurang tidur" jawabku sambil memamerkan senyum lembut pertemanan.
"Jadi kapan kau akan kembali ke Indonesia?" Tanyaku memperbaiki posisi duduk. "Sepertinya tidak akan" jawabnya dengab ekspresi wajah yang sedikit murung.
"Sekarang saya sudah bukan orang Indonesia lagi" lanjutnya lalu memperlihatkan kartu tanda kewarganegaraan Rusia yang ia keluarkan dari dompet biru Navy miliknya.
"Tetapi mengapa?" Tanyaku sambil memegang dan memperhatikan dengan seksama kartu tanda kewarganegaraan milik Silvana.
"ada luka yang tidak bisa sembuh di Indonesia, ada luka disana yang bahkan belum sembuh sampai hari ini walaupun saya sudah tidak menjadi warga negara Indonesia. Walaupun sejujurnya saya sangat mencintai Indonesia dan apapun yang ada di dalamnya. Saya tidak mengerti mengapa Indonesia yang sangat saya cintai bisa menghianati saya? Saya bingung harus melakukan apa lagi hingga saya lupa ada tempat di belahan Bumi ini bernama Indonesia. Tragedi Mei 1998 merenggut seluruh kebahagiaan saya termasuk cinta dan masa depan saya" katanya lalu menatap keluar jendela pesawat, sementara aku memperbaiki posisi duduk sembari bersabar menunggunya melanjutkan cerita.
"Ayah saya adalah pedagang berdarah Tionghoa - Indonesia, sementara ibu saya berdarah Jepang - Rusia tetapi telah lama menetap di Indonesia. Di Indonesia saya tidak hanya menemukan jati diri dan kebahagiaan saya tetapi juga cinta dan masa depan saya. Di Indonesia saya bertemu dengan pria yang berhati malaikat, memiliki cinta yang besar untuk saya dan bersedia mencintai keluarga saya, menerima saya apa adanya tanpa pernah menganggap bahwa saya bukan orang pribumi. Sayapun begitu, mencintai dia dan keluarganya tanpa pernah memandang kekurangannya. Saya dan kedua orang tua saya sudah tahu dari awal bahwa akan ada pengusiran besar - besaran untuk orang asing terkhusus etnis Tionghoa. Kami awalnya takut jika pria yang saya cintai juga bagian dari mereka dan akan mengusir kami, tetapi tidak. Dia berjanji akan melindungi kami dan menjauhkan kami dari amuk massa. Tapi takdir berkata lain, cinta yang besar membutakan kami dari penghianatan dan kekejaman hingga kami rabun dan tidak bisa melihat dengan jelas. Pria yang saya cintai yang katanya juga mencintai saya ikut serta kelompok massa untuk mengusir paksa seluruh etnis Tionghoa, termasuk keluarga saya. Adik saya diperkosa hingga tewas, ibu dan ayah saya dibakar hidup - hidup bersama dengan toko kami. Saya, berbekal nomor ponsel dan alamat oma saya di Tokyo, berhasil melarikan diri kesana dengan cara ilegal, menumpang kapal ikan Jepang, dan tanpa passpor. Penghianatan yang menghancurkan hidup saya dan cinta yang terlalu besar hingga mampu membutakan. Sayapun memulai hidup baru di Tokyo dan setahun kemudian saya dan oma pindah ke Moskow lalu menjadi warga negara Rusia sebab pekerjaan yang saya miliki juga mengharuskan agar saya berdomisili disana. Oma saya yang memang adalah orang Jepang tidak nyaman tinggal di Moskow dan memutuskan kembali ke Tokyo, sampai sekarang saya selalu melakukan penerbangan dari Tokyo menuju Moskow. Dan dibalik kemarahan saya, saya tetap mencintai Indonesia meski awalnya sulit berdamai dengan seluruh penghianatan, pada akhirnya saya berhasil memaafkan segalanya. Dengan tidak akan kembali ke Indonesia adalah cara terbaik untuk saya berdamai dengan masa lalu." Katanya lalu kembali meraba lambang Garuda yang terpampang di sampul passpor milikku.
Pukul lima waktu Moskow, kami tiba di Bandara International Sheremetyevo, enam jam waktu transit.