"Ya, tapi aku merasa sangat yakin dengan omongan Sarno. Jangan pernah mengganggu dunia mereka. Kejadiannya bisa sangat fatal," kata Kang Marjo.
"Tapi jika kita bertahan, desa ini remuk kang," kata Juli.
"Aku tahu. Nanti kita bangun bersama. Kita memang harus menerima saja. Percayalah padaku. Jika kita menyerang mereka, kejadian selanjutnya bisa fatal. Walaupun aku tak pernah tahu seperti apa kefatalannya," kata Kang Marjo.
Kemudian, Kang Marjo memberi perintah, semua jalan masuk kampung dijaga ketat. Baik itu jalan sedang atau kecil. Sisanya menjaga rumah warga.
Dalam kasus hari kedua, anak-anak lelaki kelas 5 SD juga ingin andil. Anak-anak itu menyiapkan alat pemukul. Anak-anak itu sepertinya tak lagi takut. Yang ada dalam benak adalah semangat memukul lutut makhluk aneh itu.
Angin mulai merambat, petang sebentar lagi datang. Lampu petromax sudah dinyalakan di jalanan. Â Aku kebagian di jalan masuk kampung. Obor sudah kupegang.
Mata kami awas melihat. Barangkali makhluk itu datang tiba-tiba. Kami membuat suasana senyap. Tak ada suara. Itulah kesepakatan orang sekampung untuk petang ini dan besok.
Aku mulai membaui kotoran itu. Derap langkah cepat mulai terdengar. Tapi pandangan jarak jauh memang tak maksimal. Hups, 50 meter di depanku tiba-tiba kencang berlari.
"Hajar Liiiii," teriak Sodik.
"Siaaappp," kataku.
Aku sambut kedatangan makhluk biadab itu. Aku turunkan badanku. Begitu makin dekat, aku siap. Obor aku lepas dan satu ayunan aku kencangkan. "Grhaaaaa," teriakku sembari mengayunkan kayu ke lutut makhluk jijik itu.