Lalu, Kang Marjo menepukku. Dia minta aku berhenti.
"Lihat itu? Sudah ada kobaran api," kata Kang Marjo.
Kami melihat ada beberapa sosok berlarian dengan balutan api.
"Anak-anak tanggung itu buat masalah. Goa itu bukan seperti rumah yang ketika dibakar semua akan mati. Goa lereng Kanji  memiliki beberapa lorong yang panjangnya bisa sampai laut selatan," kata Kang Marjo lemas.
Aku tak terlalu melihat wajahnya karena remang-remang. Tapi dari posisi berdirinya, terlihat Kang Marjo sangat terpukul.
"Lalu, sekarang bagaimana kang?" Kataku.
"Kita pulang. Besok pagi-pagi, kita ke sini. Kita siapkan pencahayaan yang baik, kita siapkan alat-alatnya. Kita buat persembunyian. Besok kita butuh 20 orang. Kita di sini, untuk memastikan bahwa besok petang semoga baik-baik saja," kata Kang Marjo.
***
"Sodik, siapkan cahayanya. Sorot ke mulut goa. Yang lain siapkan HP. Begitu ada tanda tak beres, telepon kampung, kosongkan kampung," kata Kang Marjo.
Sebagian orang desa atau yang biasa kami sebut orang kampung memang sudah diungsikan di tanah lapang desa seberang kali. Mereka hanya ditutup terpal. Mereka yang sudah diungsikan adalah wanita, orangtua, dan anak-anak. Sebagian warga lain yakni laki-laki, jaga-jaga di kampung, standby menunggu telepon atau pesan singkat dari kami.
Tepat pukul 18.00 WIB, sorotan lampu diarahkan ke mulut goa. Dan... aku merinding ketika tikus tikus raksasa itu keluar tak terbendung. Bukan puluhan atau ratusan, tapi ribuan. Ribuan makhluk aneh itu keluar, berlari, dan sepertinya akan menyerbu desa kami.
Kami sudah tiarap sembari memberi kabar bahwa serangan itu kemungkinan terjadi.