Kami mulai berpikir gapura kampung, tumbuhan di kampung, kayu di kampung biarkan lenyap dimakan makhluk aneh itu. Yang penting rumah aman.
Artinya, kami memang fokus menjaga rumah. Jika ada makhluk aneh yang mendekat rumah, kami babat. Jika masih kejauhan tak kami gubris. Kami takut jika kami buru, penjagaan di rumah lengah.
Maka, sejak pagi kami sudah menebangi semua pohon besar yang dekat dengan rumah warga. Sebab, jika pohon besar itu dimakan oleh makhluk aneh pada bagian bawah, bisa ambruk dan menghajar rumah warga.
Semua pohon besar dekat rumah kami tumbangkan. Kami bersyukur dalam dua petang tak ada pohon besar dekat rumah yang diserang.
Petang menjelang, obor dan petromax menyala. Kami mematung di rumah. Tak ada gerak sembari menahan bau tak enak. Mereka mendekat rumah, kami hajar. Jika memakan apapun jauh dari rumah maka kami biarkan.
Ada beberapa yang mendekat ke rumah. Langsung kami hajar. Orang-orang lebih tenang mengendalikan keadaan. Tapi tidak dengan Samiun.
Dia baru saja panen padi. Padi yang baru saja kering dia tampung di lumbung. Itulah satu-satunya harapan Samiun dan keluarga untuk makan. Nah, celakanya, makhluk aneh itu menyerang lumbung. Puluhan berebut memakan lumbung yang jaraknya 20 meter dari rumah Samiun.
Tak terima, Samiun langsung memburu mereka. Dihabisilah mereka di lumbung. Tapi, petaka muncul karena sebagian mereka yang lain menggerogoti dinding kayu rumah Samiun.
Samiun lemas. Dia lunglai. Hari ketiga, hanya rumah Samiun yang kena getahnya. Kami agak tak lelah ketika satu jam usai. Di tengah Samiun yang stress, Kang Marjo coba menenangkan suasana.
Kang Marjo meyakinkan bahwa serangan gerombolan tikus raksasa itu selesai. Lalu Samiun diminta sabar dan tenang. Semua beban kerugiannya akan diringankan warga.
Kang Marjo sangat yakin bahwa ini adalah terakhirnya makhluk aneh menyerang kami. Maka, dia pun memintaku menelpon kepala wilayah kelistrikan. Kang Marjo minta listrik desa sudah normal besok siang.