Saat menelepon penolakan pun aku terima.
"Pak Yono tak mau kang. Tak mau memperbaiki listrik desa. Dia takut geger Sandikala masih terjadi," kataku.
"Mana HP mu," kata Kang Marjo.
"Pak Yono yang terhormat, kami butuh listrik. Geger Sandikala sudah selesai. Kalau listrik kami tak diberesi, aku ada video kamar hotel, aktornya sampeyan," kata Kang Marjo.
***
Petang hari keempat, Kang Marjo merasa yakin tak ada serangan. Kang Marjo memilih nongkrong di pos ronda selesai Maghrib. Listrik sudah normal. Namun, sebagian warga masih khawatir dan memilih siaga di dekat rumah.
"Sudahlah Dik, Sodik. Tak akan ada lagi serangan. Santai saja. Tengoklah HP mu itu. Sekarang sudah hampir jam 7 malam. Tak ada tanda-tanda kan?"
Sodik hanya mengangguk. Aku pun lega karena apa yang diyakini Kang Marjo benar-benar jadi kenyataan. Namun di tengah lega itu, Sarmidi lari tunggang langgang ke arah gardu.
"Kang... Anton, Sony, dan Beny, anak-anak tanggung itu sudah menuju lereng bukit Kanji....Mereka mengendarai mobil bak terbuka, membawa 10 jeriken bensin.... Mereka mau membakar goa," kata Sarmidi.
Kang Marjo langsung lemas. Dia geleng-geleng kepala.
"Telepon anak-anak itu supaya balik kucing. Aku dan Ali mau memburu mereka," kata Kang Marjo.
Aku gas sekencang-kencangnya memburu anak tanggung itu. Kang Marjo memboncengku. Aku tak punya pikiran lain selain ngebut sekencangnya. Aku hanya lihat jalan. Tak lihat lainnya.