"Li, coba lihat selokan," perintah Kang Marjo.
Ketika kutengok. Aku melihat satu makhluk aneh itu lagi. Dia merayap di selokan sembari makan kotoran.
Mungkin Kang Marjo tahu reaksi keterkejutanku. "Gebuk bagian belakang lututnya, Li," kata Kang Marjo.
Aku gebuk bagian lutut belakang dari makhluk aneh yang sedang merayap itu. Di saat itu pula dia terkapar. Kang Marjo langsung teriak ke Saiful. Sang anak lalu memukul kentongan berkali-kali.
Kami berdua keluar dari kebun. Begitu menengok ke kanan, tanganku langsung merinding. Sudah ada lima makhluk  aneh itu sedang memakan tembok rumah.
Gila... bau kotorannya luar biasa. Kang Marjo tanpa ba bi bu menghabisi salah satunya. Karwan juga tiba-tiba muncul dengan sabitnya. Bukan dipukul, tapi Karwan membabat lutut salah satu makhluk itu.
Aku ikut kesetanan. Satu pukulan tumbang, satu pukulan tumbang.
Lampu yang terang di mana-mana makin memperlihatkan horor tak terkira. Aku tatap dan mendekat. Huufff bau menyengat luar biasa. Aku lihat wajah makhluk itu. Aku geleng-geleng karena kepala dan wajah makhluk itu, benar-benar mirip tikus. Kakinya dan badannya mirip manusia tapi dengan tulang lebih kecil. Aku lihat struktur lututnya memiliki tulang paling kecil. Sepertinya lulut memang bagian paling rapuh. Tapi anehnya, sekalipun rapuh, lututnya termasuk jadi penyangga ketika lari atau berjalan.
Aku tengok ujung gang. Ups, gapura dimakan. Dari kejauhan, Warno yang jarang bersosialisasi itu lari secepat kilat. Dia membawa  pentungan kasti. Begitu larinya makin mendekati gapura, dia langsung mengincar lutut makhluk itu...bukkk...tersungkur.
Makhluk rakus itu muncul di banyak titik beserta bau kotorannya yang luar biasa. Sementara, jeritan wanita mulai terdengar, tangisan anak-anak dan bayi bersahutan. Orang kampung berhamburan.
"Tolooong...tolooong," kata Sinem yang ganjen itu di depan rumah. Sinem berteriak sembari mencengkeramkan tangannya di rok bagian dua paha.