***
Malam itu 20-an lelaki berkumpul ditemani remang-remang api obor. Kami melingkar duduk di kursi di pelataran balai desa.
Kami, membahas makhluk aneh itu. Semua was-was. Hanya Kang Marjo yang yakin bahwa penyerangan makhluk aneh itu akan dilakukan cuma tiga petang berurutan. Kang Marjo yakin dengan cerita Sarno yang dituding gila itu.
"Jangan bodoh, Jo. Kita ngga mungkin menjadikan Sarno rujukan. Dia tidak waras. Ngapain juga kita datang ke rumah orang tak waras hanya untuk menyelesaikan geger ini," kata Pak Kades dengan nada tinggi.
"Lalu bagaimana?" Tanya Kang Sarno tak kalah tinggi.
"Semua detail geger tadi sama persis dengan cerita Sarno. Sarno yang mengabariku bahwa serangan berlangsung 1 jam dalam tiga petang beruntun. Ada makhluk telanjang dengan kepala tikus, memiliki nyawa di lututnya. Semua persis seperti yang diceritakan Sarno. Aku pikir tak ada salahnya kita tanya dia. Sarno juga bilang bahwa sarang makhluk aneh itu di lereng bukit Kanji. Di sana ada goa kecil," kata Kang Marjo.
"Kenapa kita tidak serang sarangnya saja," kata Pamuji yang sudah sangat bersemangat.
"Tahayul...kamu gila apa Ji? Cerita orang gila seperti Sarno dijadikan rujukan!" Semprot Pak Kades pada Pamuji.
"Sudah besok pagi telepon pihak kelistrikan agar kampung bisa terang lagi. Ekonomi desa bisa kacau kalau tak ada listrik," kata Kades.
"Ngga bisa Des. Mereka akan nyerang lagi. Jika listrik nyala, akan fatal. Kebakaran bisa terjadi," sanggah Kang Marjo.
"Kamu gila Jo!" bentak Kades.