Kang Marjo tak terima dibentak dan dibilang gila. Secepat kilat Kang Marjo memburu dan mendorong Kades hingga terjatuh. Kang Marjo mendekatkan wajahnya. Dengan suara keras dan menekan, dia berujar ke kades.
"Lumbung suaramu saat pemilihan kades itu adalah orang-orangku. Catat itu!" Kata Kang Marjo.
Pak Kades yang tergeletak di tanah hanya  bisa diam. Semua yang datang coba mengamankan keadaan, memisahkan Kang Marjo dan Kades. Genting memang malam itu.
Kau jangan tanya siapa Kang Marjo. Di desaku, Kang Marjo adalah panutan. Kharisma, ketegasan, suaranya yang berat itu menjadikan Kang Marjo disegani. Semua yang datang di pertemuan malam itu, memilih mengikuti Kang Marjo untuk mendatangi Sarno.
Pak Kades dan sekretarisnya alias carik, hanya bisa melongo melihat semua manut Kang Marjo.
Kami, kemudian mendatangi rumah Sarno. Gelap memang. Kami dobrak pintunya. Dengan obor, kami terangi rumah reot itu. Sarno berbaring di tempat tidur.
Kami coba bangunkan, tapi Sarno hanya diam. Kami coba bangunkan lagi, tetap diam.
"Innalillahi wainnailaihi rojiun. Ini Sarno sudah meninggal Kang," kata Roso ke Kang Marjo sembari memegang denyut nadi Sarno.
***
Kami memasang beberapa petromax tinggi di jalan. Kami hanya berharap, penyangga petromax tak disikat sama tikus raksasa itu. Di jelang petang kedua, kami sudah lebih siap.
"Kenapa kita tak ke lereng bukit saja kang. Kita bakar sarangnya. Kita alirkan bensin?" Tanya Salim.