Mohon tunggu...
No Name
No Name Mohon Tunggu... -

Seorang pria

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

2XLOVE (I) 1: Kota Kecil

19 Maret 2012   15:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:46 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Deburan ombak berulang kali menghantam tembok pembatas bertinggi tak kurang dari lima meter itu. Beberapa kali percikannya menerobos masuk melalui jendela dan celah antara tembok pembatas dan atap. Air pasang sebentar lagi akan berlalu dan surut perlahan sedang menggantikannya. Langit pagi masih cukup gelap meskipun pantulan permukaan air masih dapat ditangkap mata tanpa bantuan cahaya buatan.

Di lapangan masih sepi melompong. Kucing yang entah dari mana asalnya sedang menggaruk nyaman punggungnya di atas sebuah meja dekat kantin. Semua tampak tenang, mungkin begitu pikiran si kucing mengamati wilayah sekitarnya yang sebentar lagi harus siap diusir manusia dari kenyamanannya.

Seorang wanita paruh baya dengan kulit hitam khas daerah pantai tanpa menghargai sedikit pun keberadaan si kucing seenaknya saja meletakkan sekeranjang bahan makanan di atas meja. Antara terkejut dan kesigapannya, kucing itu melompat dan mendarat dengan sempurna di atas lapangan yang telah bersemen licin.

Sambil mengeong jengkel, kucing itu berjalan meninggalkan arah kantin dengan rasa enggan. Di depan mata kucing itu kini terbentang sebuah gedung yang membuatnya berhenti melangkah setiap kali memandangnya. Meskipun nalurinya mengatakan bahwa gedung itu kini sepi dan aman, dia tetap tidak berani menapaki tangga gedung itu seperti yang pernah dilakukannya beberapa waktu lalu. Entah apa salahnya. Hampir setiap murid – terutama laki-laki – selalu menimpuknya dengan benda apa pun yang bisa mereka peroleh saat itu. Tubuhnya yang rentan air mungkin telah resistan karena berulang kali diguyuri air oleh murid-murid yang tidak suka padanya. Tapi, dalam keputusasaan maupun kemarahannya dia hanya bisa mengeong dan tidak pernah dipedulikan sama sekali. Sekarang, setiap kali melihat manusia dengan seragam putih abu-abu dia selalu menyembunyikan diri. Trauma! Dan kini, saat cahaya pagi telah begitu terang dia mulai cemas diri. Suara pintu gerbang didorong hampir membuat jantungnya copot. Sebentar lagi berpuluh-puluh hingga beratus-ratus murid yang menyengsarakan hidupnya akan menginjakkan kaki mereka di sini. Dia terburu-buru melarikan diri. Menuju celah-celah sempit sebuah bangunan yang hampir runtuh dan tak berpenghuni. Di sana bau pesing. Tepat di sebelah murid laki-laki membuang segala kotoran tubuh mereka. Dan ampunnya, jarang sekali disiram hingga bersih. Yah, dia hanya seekor kucing yang hina dina. Dan juga tak tahu kenapa induknya melahirkannya dalam lingkungan tak bersahabat sekitar enam bulan yang lalu.

Sebuah angkutan kota berhenti tiga hingga empat meter di depan gerbang masuk. Kemudian keluarlah beberapa orang murid. Tiga orang. Dan, merekalah murid-murid yang datang pertama pagi ini. Begitu ketiganya memasuki gerbang, seorang murid dengan sepeda berkayuh mendahului, membelok ke sebelah kiri. Bunyi tali rem becak ditarik sudah tak dapat didengar seorang murid pun yang kini berjalan pergi menaiki tangga. Turunlah seorang wanita berbadan gemuk dengan penuh hati-hati sementara si tukang becak tampak tak peduli. Belum sempat wanita itu memasuki gerbang, tukang becaknya sudah mengayuh pergi. Sepi lagi.

Pak satpam yang sedari tadi pergi kini datang dengan langkah kecil dan ringan. Santai betul. Mungkin memang maling tidak beroperasi di pagi hari. Atau mungkin juga maling enggan memasuki sekolahan. Dia mulai sok peduli. Menggambil kursi dia duduk mengawasi di pinggir pintu gerbang. Mengangguk-angguk sok kenal setiap kali ada murid yang menegurnya. Padahal, nama mereka belum tentu dia tahu.

Akhirnya satpam itu tersenyum cerah. Pekerjaannya usai seiring bel tanda masuk yang berbunyi. Siang hari rekan sesama satpamnya yang bertugas. Dia memegang pegangan pintu gerbang dan ototnya bermekaran saat dia menariknya menutup.

Tunggu, Pak!”

Sebuah suara menahannya menarik pintu lebih lanjut. Dia terdiam seperti orang bingung. Lalu tersenyum kecut atau mungkin sebel dengan orang di atas sepeda motor itu. Sudah berapa kali ya dia melihat wajah yang sering datang terlambat itu? Sekolah saja belum dua minggu dimulai. Tapi, seperti dia sudah lebih dari lima kali menahan pintu gerbang untuk murid itu.

Jerry segera memarkir motornya dan bergegas naik melalui tangga terdekat. Di sebelah halaman parkir dengan tulisan ‘tangga perempuan’. Dia laki-laki dan seharusnya naik melalui tangga dengan tulisan ‘tangga laki-laki’ di sudut bangunan yang berlawanan.

Sudah menjadi tak peraturan tertulis di sekolah ini. Murid laki-laki dan perempuan memiliki tangganya sendiri. Bisanya mereka akan ditegur atau bahkan dihukum bila ketahuan. Tapi, rupanya Jerry lagi beruntung. Atau justru sial? Sekarang dari tangga hingga sepanjang jalan menuju kelasnya sepi. Semua murid dan guru tentunya sudah bersiap memulai pelajaran pertama pagi ini.

Maaf bu, saya terlambat.”

Wanita yang baru disapa ‘bu’ masih sangat muda. Dia melihat Jerry tanpa rasa heran lagi. Senyuman yang seharusnya tampak manis untuk wajahnya yang cukup menarik, malah terlihat kecut.

Lagi? Sudah berapa kali, Jerry?.”

Satu-satunya jawaban yang bisa diberikan Jerry hanya garukan kepala sambil tersenyum malu-malu.

Guru-guru lain sudah banyak yang mengeluhkan keterlambatan kamu. Sebagai walikelas, terus terang Ibu merasa malu.”

Setelah berhenti sebentar, guru itu melanjutkan lagi, “Ibu tidak mau kamu terlambat lagi. Mengerti? dan kamu tentunya sudah tahu apa konsekuensinya bila kamu terlambat lagi …. Sekarang kamu boleh duduk.”

Kehabisan kata-kata Jerry hanya bisa tertunduk lesu menuju tempat duduknya –baris kedua dari pintu masuk dan urutan ketiga dari belakang. Murid di sekolah ini memiliki kursi sendiri-sendiri. Sedikit mirip kursi perkuliahan. Hanya saja kursi ini terbuat dari kayu. Dengan meja kayu yang bisa diturun-naikkan. Jerry mengangkat palang kayu mejanya. Kemudian menutupnya lagi setelah duduk di kursi.

Bunyi bel kembali menarik perhatian murid-murid dan guru yang berada di dalam kelas. Sekarang sudah waktu istrahat pertama.

Minggu depan kita ujian. Jangan lupa belajar!” kata Ibu Farida sebelum meninggalkan ruang kelas. Jawaban mengiyakan dari murid-muridnya terdengar cukup jelas hingga di luar kelas.

Beberapa murid segera menghambur keluar sementara beberapa lagi tetap berada di dalam kelas. Suara-suara memanggil nama orang terdengar beberapa kali. Ada juga murid yang tetap berdiam di tempat duduk masing-masing. Mengerjakan tugas dan mengulang pelajaran.

Tiga murid perempuan yang kemudian masuk ke dalam kelas cukup menarik perhatian. Mereka dari kelas sebelah. Tapi sikap mereka sedikit angkuh dan sering membuat orang jengah

Eh, sudah tahu belum? Hari Senin ada murid baru,” kata salah satu dari mereka.

Oh ya? Laki-laki atau perempuan?” tanya murid yang lain.

Perempuan!”

Wah! Cantik?”

Lihat saja sendiri. Dia tadi ada di kantor kepala sekolah. Mungkin mengurus kepindahan,” kata Vera.

Beberapa murid laki-laki segera keluar. Kemudian beberapa lagi mengekor dari belakang. Mereka berbondong-bondong turun ke bawah. Lalu mengintip ke dalam salah satu ruang di sebelah gedung sekolah mereka. Tapi saat itu juga seorang guru laki-laki berjenggot jarang lewat.

Kalian sedang apa?” semprot guru itu.

Eh, tidak apa-apa, Pak.”

Terus apa yang kalian intip?”

Mau melihat murid baru.”

Hari Senin dia baru masuk. Sudah, sana bubar!”

Mereka tidak membantah. Hanya saja mereka enggan meninggalkan tempat itu. Dalam hati mereka tetap penasaran.

Sementara beberapa murid tetap berada di dalam kelas atau turun ke bawah, beberapa murid lain cukup senang berdiri memandang ke arah laut. Angin yang kencang akan menerpa wajah mereka dan membelai rambut. Meniup aroma laut yang khas bersamanya. Di bawah ada lapangan terbuka. Satu lapangan dua kegunaan. Di tengah-tengah lapangan bola basket, dua buah lubang yang bisa ditancapkan tiang untuk membentangkan jaring bola volley tidak begitu kelihatan dari lantai tiga tempat Jerry kini berdiri. Beberapa murid tampak berjalan menuju ke arah kantin di samping lapangan – juga tepat berada di sebelah tembok pembatas yang memisahkan laut. Bayangan mereka tampak begitu jelas terkena matahari pagi.

Suara-suara berisik mulai mendominasi. Rupanya antrian menuju wc. Sesekali murid perempuan terdengar mengomeli murid laki-laki yang masuk ke dalam wc. Papan di atas pintu bertuliskan wc perempuan sudah tampak memudar. Tapi, tentu saja bukan karena itu sebabnya murid laki-laki tetap bandel menggunakan wc di lantai ini.

Jerry berjalan menjauhi tempat itu. Dia melewati kelasnya beberapa langkah lalu berjalan menurun pada tangga di samping kelasnya. Begitu sampai di lantai dasar, dia melihat ke arah gerbang yang memang berada tepat di depan tangga yang bertuliskan “tangga laki-laki”. Ada beberapa orang di depan pintu gerbang. Tampak seperti sebuah keluarga. Ah, dia tidak mengenal satu pun wajah itu. Mungkin ..., ya gadis itu. Gadis yang rambutnya dicat pirang itu mungkin calon murid baru yang tadi didengarnya. Cantik juga. Tapi dari raut wajahnya dia tampak tak bahagia. Tapi tak tahu juga. Matanya sendiri sudah rabun. Dia tidak yakin dengan apa pun yang dilihatnya untuk jarak pandang sejauh itu.

Hal pertama yang didengarnya saat tiba di kantin adalah suara celoteh beberapa murid. Tapi dia tak ingin tahu apa yang mereka sedang bicarakan. Lebih-lebih saat melirik ke arah meja kantin dan tak melihat seorang pun yang perlu disapanya. Suara gaduh piring-piring dibereskan membentuk harmoni yang beriringan dengan suara benturan ombak di tembok pembatas.

Jerry mendesah menahan kesal hatinya. Toples transparan itu tampak kosong. Dia sebenarnya ingin membeli permen karet. Tangan kirinya meraih toples yang lain, memutar terbuka tutupnya. Dan menunjukkan jumlah yang diambilnya pada penjaga kantin yang sibuk melayani pembeli selain dirinya.

Beberapa murid sudah mulai naik ke atas. Jerry berjalan menyusul barisan yang semakin lama semakin tampak memanjang. Mengangguk saat berpapasan dengan murid yang dikenalnya. Sekali lagi dia secara posisional melihat ke arah pintu gerbang. Sepi. Sudah tak ada seorang pun di sana.

Kakinya menjejak di lantai kelasnya tepat saat bunyi bel tanda istrahat berakhir. Aroma baru yang bercampur aduk tercium di sekitarnya. Ceceran makanan di dalam kelas, keringat teman-temannya hingga pewangi badan dengan aneka aroma. Tak lama muncul seorang guru pria. Pendek gemuk dengan rambut tataan khas “angkatan babe gue”.

Jerry mengeluarkan permen dari kantongnya dengan gerakan sekecil dan sehalus mungkin. Beberapa temannya melakukan gerakan yang kurang lebih sama dengannya. Setelah berhasil mengeluarkan permen dari pembungkusnya, dengan gerakan seperti mengelus hidung dia memasukkan permen itu ke dalam mulutnya. Nyaris tidak terlihat mata. Beberapa temannya menunggu hingga guru berbalik arah lalu dengan kecepatan yang sulit ditangkap mata, permen itu masuk ke dalam mulut mereka. Hal selanjutnya yang perlu dilakukankan hanyalah berpura-pura tidak ada apa-apa. Gerakan otot wajah menghisap sari manis dari permen dilakukan sehalus mungkin. Kalau terlalu bernafsu, sudah pasti ditegur guru. Terkadang malah ditambah hukuman. Tapi ya, hanya itu saja yang bisa dilakukan para guru. Paling jauh mereka akan mengadakan razia di kelas. Dan hal itu hanya efektif dua tiga hari saja. Setelah itu, kebiasaan makan di kelas akan muncul kembali seperti penyakit mewabah.

Sebenarnya, bagi beberapa guru makan-makan di kelas tidaklah masalah. Asalkan murid-murid sopan dan dalam batas wajar. Mereka tentu paham betul saat masih menjadi murid. Harus diam mendengarkan guru menerangkan terkadang teramat membosankan. Membangkitkan rasa kantuk yang ditahan-tahan. Jadi, makan permen akan efektif mengalihkan, rasa jenuh dan kantuk pun bisa hilang.

****

Matahari selalu tampak tidak ramah di kota ini. Terutama siang hari. Panasnya yang terik akan membakar kulit seketika. Murid-murid sekolah ini hanya terlindung saat berada dalam gedung. Begitu keluar gedung, wajah mereka gelisah dan terburu-buru. Gerbang yang tidak seberapa besar segera penuh padat. Sebagian murid yang membawa kendaraan berteriak-teriak agar mereka yang berjalan kaki dan menghalangi jalan segera minggir. Suara klakson motor yang dibunyikan berkali-kali terdengar paling dominan di antara suara-suara lain.

Jerry menepikan motornya beberapa meter dari pusat keramaian. Di sana dia menunggu temannya yang selalu pulang bersamanya. Namanya Adrian. Mereka pertama kenal sewaktu kelas satu SLTP. Mereka jarang satu kelas, kecuali tahun lalu, sewaktu mereka baru masuk SMU. Dan itu pun hanya beberapa bulan saja.

Thanks, Jer. Aku ke rumah kau nanti. Mungkin jam tiga.”

Oh, datang saja.”

Di deretan rumah-rumah dengan jalan kecil dan berujung buntu, Jerry memelankan laju motornya. Dia berhenti di depan rumah berpagar putih. Motornya diparkir di samping pintu masuk. Gagang pintu diputar, tapi tidak terbuka. Dia meronggoh saku celananya. Menancapkan kunci di pintu, lalu memutarnya terbuka.

Tasnya dilemparkan di atas kursi begitu dia masuk ke dalam rumah. Kedua kaos kakinya terlihat kucel saat terlepas dari sepatunya. Dia menendang sepatunya ke arah sekumpulan alas kaki lainnya. Kaos kakinya terjatuh tapi dia membiarkannya.

Rumahnya pada jam-jam begini selalu sepi. Mungkin kalau jam sepuluh pagi pembantu yang mengurus rumah ini masih ada. Pembantunya hanya membersihkan rumah dan mencuci baju saja. Jadi pulangnya juga cepat. Sekarang Ibunya masih berada di toko. Hanya terkadang saja Ibunya ada di rumah saat dia pulang sekolah. Adiknya sepertinya sedang pergi les. Dia berjalan ke arah dapur dan membuka tudung nasi. Ada tumpukan piring bersih di sisi meja tempatnya berdiri. Sepiring kangkung menarik perhatiannya.

***

Suara motor terdengar mendekat saat Jerry sedang asyik membolak-balik halaman komik. Buku yang masih terbuka itu segera diletakkan telungkup. Sebelum Adrian sempat mengetuk pintu pagar, Jerry sudah membuka pintu. Senyum khas yang ditunjukkan Adrian tampak seperti rasa lega. Kepalanya yang tidak berhelm menampilkan rambut kaku bermodel cepak. Rambut yang sama seperti Jerry. Juga sama dengan hampir seluruh murid di sekolahnya. Pangkas ABRI. Begitu orang biasa menyebutnya. Dan hanya satu sekolah yang mengharuskan murid-murid laki-lakinya berpangkas seperti itu. Sekolah yang bertetangga dengan laut. Dan sekolah dengan disiplin paling banyak dibandingkan sekolah lainnya.

Suara bunyi anak tangga yang terbuat dari kayu terdengar cukup keras saat mereka naik ke atas. Langsung menuju ruang keluarga. Adrian menyamankan diri duduk di samping Jerry. Kemudian Jerry menekan tombol remote dan muncul gambar di layar kaca. Mereka sama-sama menoleh ke sana. Jerry mengambil joystick dari atas meja. Lalu dia menyerahkan satu lagi pada Adrian sambil menggeser posisi duduknya.

Sebetulnya mereka sudah sering memainkan game ini. Tapi tetap tak ada bosan-bosannya. Akan lebih seru lagi kalau ada teman-teman lainnya. Terkadang tangan mereka sampai melepuh karena terlalu asyik memainkan game yang bernama Winning Eleven ini. Game yang wajib ada bagi penggila sepak bola.

Skor pertandingan tertera di sudut kanan atas layar televisi. 4 untuk Manchester United dan 3 untuk Juventus. Ketidakpuasan menyelimuti wajah Adrian. Dia menyandarkan badannya di atas empuknya sandaran sofa.

Lagi?”

Hmm ....”

Saat mereka asyik bermain, jam dinding secara diam-diam telah mengganti posisinya. Adrian untuk pertama kalinya sejak berada di ruangan itu menoleh ke arah jam dinding. Jarum pendek sudah melewati batas pertengahan lima dan enam. Sementara jarum panjang sedikit lagi menyentuh titik pusat angka sembilan. Joystick yang sedari tadi dipegangnya kini diletakkan di atas meja. Derakan tulang leher terdengar saat dia melirekskan otot-otot lehernya yang sedari tadi kaku dan tegang. Pegal. Dan tampak capek sekali. Jerry menyandarkan diri di sofa sambil matanya tertuju pada layar televisi.

Eh, hari Senin ada murid baru ya?”

Hmm. Tau dari mana?”

Lini. Vera juga. Dia berisik betul tadi siang.”

Hah! Dia lagi. Dia juga yang kasih kabar di kelas kami.

Katanya perempuan.”

Ya. Rambut panjang. ... dicat pirang.”

Oh! Kau sudah lihat?”

Sekilas. Aku lihat di dekat pintu gerbang.”

Tapi, rambut pirang ....”

Kenapa?

Tidak. Hanya saja, sekolah kita kan tak boleh cat rambut. Berarti hari Senin dia seharusnya sudah cat hitam lagi.”

Ehm, mungkin. Kenapa?”

Kasihan. Kebanyakan perempuan suka mencat rambutnya. Bagi mereka itu cantik.”

Entahlah. Mungkin .... Tapi aku kurang suka lihat orang mencat rambutnya.”

Sama. Tapi terkadang ada yang memang terlihat bagus.”

Hanya beberapa.”

Terus, dia cantik?”

Cuma lihat sekilas. Jadi tak bisa memastikan.”

Adrian tak bertanya lagi. Perlahan mereka beranjak dari sofa dan berjalan menuju ke bawah. Suara anak tangga yang diinjak ternyata menarik perhatian Ibu Jerry yang sedang memasak.

Halo tante!” sapa Adrian ramah

Halo juga. Sudah mau pulang?”

Iya, tante. Sudah malam.”

Hati-hati ya.”

Berdua mereka berjalan hingga ke halaman. Dua motor masih terparkir di sana. Adrian memutar posisi motornya dan mendorongnya melewati pintu pagar yang baru dibuka Jerry. Seorang remaja yang kira-kira masih SLTP berjalan mendekat.

Halo, Rian!”

Halo Willy!”

Remaja itu masuk melewati Jerry dan langsung menuju ke dalam rumah. Wajahnya mirip dengan Jerry meski tampak lebih gemuk. Salah satu ciri tak terbantahkan kalau mereka bersaudara tentu saja saat mereka tersenyum. Senyum yang hanya kalah pesonanya dari kakak mereka, Mitha, yang kecantikannya telah dikenal banyak remaja di kota ini.

Jerry menunggu hingga sahabatnya menghilang di tikungan, baru pintu pagar kembali ditutupnya. Di ruang tamu, Ibunya menghampiri saat dia akan duduk bersantai menonton tv.

Jerry, kau mandi dulu. Antar Mama ke rumah teman.”

Di mana?”

Imam Bonjol”

Jam berapa?”

Sebentar lagi. Makanya kau mandi sekarang.”

Jerry bangkit berdiri dari kursinya dan berpapasan dengan Willy yang baru datang dari arah dapur.

Kenapa, Ma?”

Mama mau pergi.”

Ke mana?”

Ke rumah teman Mama. Mereka baru pindah dua minggu yang lalu.”

Lampu di kamar berkedip beberapa kali sebelum menyala terang. Luas kamarnya masih cukup besar untuk berdua. Warna tembok kuning cerah berkesan feminim tampak tidak cocok untuk dirinya. Sebelumnya kamar ini di tempati kakaknya hingga satu setengah bulan lalu. Jadi dia belum terlalu lama menguasai kamar ini dan belum sempat mengwarnai temboknya dengan warna biru muda kesukaannya.

Jerry memasuki kamar mandi kurang lebih saat jarum panjang menyentuh angka lima. Saat keluar dari kamar mandi, jarum panjang sudah lebih dulu menyentuh garis angka sembilan. Semerbak wangi sabun dan shampoo menyelubungi tubuhnya yang masih lembab. Rambutnya yang cepak berdiri tegak seperti rambut landak. Tak heran kakaknya, Mitha, sering memanggilnya “rambut landak”.

Bunyi tangga kembali terdengar. Aroma segar sabun mandinya sedikit menebar di lorong menuju kamar ibunya.

Ma, sudah belum?

Sebentar….”

Tadi katanya cepat...”

Iya, ya….”

Ibunya dengan sisir di tangan memperhatikan Jerry dari ujung kepala hingga ujung kaki. Jerry hanya pakai kaos oblong dan celana pendek.

Kau cuma pakai itu? Tak ikut sampai acara selesai?”

Iya. Habis antar Mama, aku langsung balik.”

Terus Mama balik naik apa?”

Nanti kujemput lagi.”

Rumahnya otomatis sepi begitu motornya bergerak meninggalkan Willy seorang diri. Langit masih terang. Dengan jam yang baru menunjukkan pukul 19.15 WIB. Orang-orang yang pernah pergi ke pulau Jawa, sekembalinya dari sana sering berkata, “di Jawa, langit lebih cepat terang dan lebih cepat gelap”. Sebagian berkata begitu karena tidak paham kenapa bisa begitu. Sebagian lagi, meski tahu penyebabnya, tetap menggunakan kata seperti itu karena telah menjadi kebiasaan yang diterima.

Jerry memelankan laju motornya setelah mendapat arahan jari telunjuk Ibunya yang duduk di boncengan. Sudah begitu banyak orang yang datang. Halaman rumah sibuk dengan tamu yang hilir mudik. Jerry menyadari keberadaan teman-teman sekolahnya. Karena itu dia terburu-buru ingin segera pergi.

Mama mau pulang jam berapa?”

Belum sempat Ibunya menjawab, seorang temannya sudah menyela terlebih dahulu. Jerry mengarahkan pandangannya ke arah lain. Siapa itu? Tanyanya tiba-tiba. Rasa-rasanya .... kok dia belum pernah melihatnya? Ya, tentu saja, ini pertama kali dia melihatnya. Cantik kelihatannya. Dia memicingkan matanya menjadi sipit. Tetap saja dia tak bisa menangkap sosok itu dengan detail.

Satu jam lagi kamu jemput mama,” ujar Ibunya memecah perhatiannya.

Oh ...! Ya sudah.”

Ibunya segera masuk ke dalam. Jerry mencoba melihat lagi ke tempat gadis itu tadi berada. Tidak ada. Ke mana dia ya? Dia menyalakan motornya sambil matanya terus terpaku pada tempat sebelum gadis itu menghilang.

Belum terlalu gelap. Jerry membawa motornya setara dengan kecepatan para pe-jogging. Arah motornya tidak membelok ke kanan langsung ke rumahnya, tapi lurus. Rumah makan yang jaraknya terpisah-pisah menebarkan aroma masakan di sana sini. Tanpa sadar motornya membelok ke jalan menuju rumah Adrian. Tapi dia terus saja melalui rumah itu. Dia memang hanya ingin keliling-keliling saja. Di jalan berikutnya sepi. Siang hari bengkel motor yang berjejar di hampir sepanjang jalan selalu tampak penuh. Jerry menambah kecepatan motornya. Membelok ke kiri dan lurus terus hingga sampai di sebuah jalan kecil dengan ujung buntu.

***

Waktu berlalu dan sudah hampir sejam Jerry duduk bermalas-malasan di atas sofa membaca komik. Sesekali dia memperhatikan Willy yang sedang main game. Dia tentunya lupa menjemput Ibunya tepat waktu kalau Willy tidak mengingatkannya.

Langit telah hitam sepenuhnya kini. Dengan hamparan bintang-bintang yang berbinar di sisi rembulan yang tidak benderang. Suara motor Jerry terdengar begitu jelas sepanjang jalan kecil itu. Begitu dia membelok ke kiri, suara motornya perlahan ikut menghilang.

Cahaya-cahaya redup lampu jalanan tampak lesu karena tak ada keramaian di bawah naungannya. Kendaraan pun hanya lewat sesekali.

Begitu tempat tujuannya terlihat jelas, sifat usilnya keluar. Dia semakin menambah laju motornya. Lalu mengeremnya hingga terdengar suara pasir tersapu kibasan ban motornya. Dia memang ahlinya. Motornya berhenti tepat di depan pintu pagar rumah itu. Tiba-tiba senyum kemenangannya tampak bodoh. Dia baru menyadari ada orang di sana.

Cantiknya! Ujar Jerry dalam hati. Matanya terpaku pada wajah gadis itu. Perlahan tapi pasti, wajah gadis itu bersemu merah. Sama merahnya seperti wajah Jerry yang kini tampak salah tingkah – masih di atas motornya.

Hening. Masing-masing tidak tahu harus berbuat apa. Bibir mereka masih terkatup rapat. Gadis itu dengan sapu di tangannya. Dan Jerry yang lupa mematikan mesin motornya. Cahaya redup dari lampu memantulkan pesona dari diri mereka. Tak tahu harus bicara apa, mereka saling mengagumi untuk waktu yang cukup lama. Suara beberapa orang dewasa yang keluar mengalihkan perhatian mereka. Salah satunya Ibu Jerry yang lantas menghampirinya.

Jerry sudah datang. Aku pulang duluan!”

Ya. Hati-hati!” sahut yang lain.

Sebelum Ibu Jerry naik ke boncengan, dia terlebih dahulu menghampiri gadis itu.

Tante pulang dulu ya.”

Ya, tante.”

Ya ampun! Merdu dan halus sekali! Rongga dada Jerry membesar seiring suara itu masuk ke dalam lubang telingganya. Menggetarkan genderang telinga dan menghebohkan rumah siput. Jerry melirik ke arah gadis itu. Dibalas tatapan yang sama. DUG! DUG! DUG! debar jantungnya semakin tidak konstan.

Jerry diam sepanjang perjalanan menuju rumahnya. Ada rasa dihatinya yang tak mampu dilukiskan para pelukis. Kata-kata yang tak cukup dituliskan para penyair.

***

Kenapa perasaannya tidak karuan begini? tanya Jerry dalam hati. Sejak pulang dari menjemput Ibunya, pikirannya dipenuhi berbagai fantasi. Gadis itu cantik. Cantik sekali malah. Tapi, rasa tertariknya bukan pada kecantikannya. Apa ya? Mungkin tatapannya? Suaranya? Ah, mungkin ketenangannya. Dia berbaring terlentang dan langit-langit kamarnya dipenuhi wajah gadis yang bahkan namanya belum dia ketahui. Dia menoleh ke dinding kamar, tapi wajah gadis itu masih ada. Dia jadi bingung, sebenarnya wajah gadis itu ada di dinding kamarnya, langit-langit atau justru dalam matanya sendiri? Tidak! Gadis itu memenuhi semua relung pikirannya. Ada di sela-sela hati.

Suara detak jam dinding beriringan dengan bunyi AC. Setaunya, malam sudah sangat larut. Begitu dia menoleh ke arah jam dinding, ternyata sudah jam satu lebih. Hilang ke mana rasa kantuknya? Harusnya dia sudah tak sadarkan diri sedari tadi. Dia memaksakan matanya terpejam. Lagi-lagi. Wajah cantik itu muncul lagi. Entah berapa lama dia sadar dengan mata terpejam. Wajah itu tetap enggan pergi. Akhirnya setelah beberapa lama, dia masuk ke alam mimpi. Wajahnya tampak berseri.

Lama pertanyaan ini muncul,

Apa sesungguhnya perasaan cinta?

Di mana menemukannya?

Siapa pemiliknya dan bagaimana rasanya?

Perasaan itu ternyata bersembunyi rapat sekali,

Dalam di sela-sela hati,

Tak terjamah dan tak dimengerti,

Terutama bila terus menutup diri

Ketika ada celah untuk menyusup

Dia akan menguarkan semacam aroma pembius

Yang akan membuat orang mabuk kepayang

Siang dan malam penuh khayalan

Cinta itu begitu ambigu

Penuh balutan persepsi pribadi

Yang muncul karena mengalami pahit getirnya hidup ini

Serta manis syahdunya berpadu kasih

Bersambung ke: Gadis Cantik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun